Senin, 31 Oktober 2011
Randayan, Pesona Biru Pulau Pribadi
Air laut yang biru, hamparan awan dan pasir putih, semilir angin pantai, dan pulau pribadi! Menu komplit yang tidak ingin Anda lewatkan, bukan? Sensasi yang bisa Anda dapatkan di pulau pribadi bernama Randayan. Sensasi tersendiri saat menikmati suguhan keindahan panorama pulau yang teduh dan tenang, yang membuat Anda merasa sebagai pemiliknya.Kapal motor berayun di atas gelombang air laut yang biru, Sabtu (6/8). Putaran kipas mesinnya meninggalkan jejak berupa buih di bagian buritan. Buih seperti air sabun untuk bermain gelembung udara, yang sesekali dilintasi serombongan ikan laut berwarna-warni yang berenang di permukaan air.
Angin dengan aroma yang khas menjadi teman perjalanan membelah laut sekitar 1,5 jam atau 38 kilometer dari dermaga Teluk Suak, serta melewati dua pulau, Penata dan Lemukutan. Bila angin laut bersahabat, penduduk pulau yang rata-rata bermatapencaharian sebagai nelayan akan mencari ikan atau menuju bagan untuk mempersiapkan jala. Bagan-bagan itu dibangun para nelayan di pesisir pantai.
Bagan adalah pondok kecil beratap daun yang dibangun dari batang kayu Nibung. Pondok ini digunakan nelayan untuk menjala ikan, yang biasanya dilakukan di malam hari dengan bantuan penerangan sinar lampu templok atau senter. Dari dalam bagan, nelayan mengulurkan jala yang diikat seutas tali di setiap sisinya. Tali-tali tersebut disimpul menjadi satu agar mudah ditarik saat jala terisi ikan.
Bila dilihat dari jauh, bagan tampak menyerupai piring terbang di atas permukaan air laut atau laba-laba air raksasa yang sedang diam dan berkelompok. Saat malam hari, lampu dari bagan tampak seperti liukan sinar yang menari tertiup angin. Suatu pemandangan menakjubkan akan lukisan nyata kehidupan khas para nelayan di kanvas alam pesisir pulau.
Para nelayan sangat ramah kepada pengunjung. Bila berpapasan dengan para nelayan, mereka melambaikan tangan dan tersenyum kepada penumpang kapal motor. Bahkan, bila hasil ikan melimpah, nelayan akan menawarkan ikan segar dengan harga murah, untuk dipanggang sambil duduk-duduk di pasir pantai.
Pasir Karang Putih
Saat tiba di Pulau Randayan yang termasuk dalam wilayah Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, Anda disambut dengan stegher kayu dan lambaian daun kelapa yang tertiup angin. Tiket masuk ke pulau dengan luas sekitar 487 hectare ini sebesar Rp 10 ribu per orang. Pulau ini dilengkapi pula dengan lima villa dan satu bangunan penginapan family yang menghadap ke laut.
Pantai di pulau Randayan memiliki pasir karang putih di sepanjang pantai. Aktivitas yang bisa dilakukan di pantai adalah snorkeling, diving, dan mengikuti irama ombak dengan canoe. Pengelola juga mengizinkan pengunjung yang ingin berkemah, dengan memasang tenda di lapangan dekat bibir pantai. Keindahan dunia bawah air Pulau Randayan sangatlah menakjubkan. Warna-warni terumbu karang dipenuhi dengan beraneka ragam jenis ikan laut yang berenang lincah dijernihnya air. Tidak heran bila pulau ini dijadikan tujuan utama para pencinta selam yang ingin menikmati kekayaan panorama bawah laut di Kalimantan Barat.
Ombak pantai yang tidak begitu keras sangat aman untuk bermain-main menggunakan canoe. Bila terasa letih, Anda bisa beristirahat sejenak di dipan santai dari kayu, di bawah pohon ketapang yang rindang. Angin pantai yang berhembus sepoi-sepoi, birunya air laut nan jernih, dan hijaunya pemandangan dari Pulau Lemukutan, dapat mengajak Anda beristirahat sejenak ke alam mimpi.
30 Menit Keliling Pulau
Bosan bermain-main di air dan ingin melakukan kegiatan seru di sepanjang pantai? Coba saja jalur trekking. Jalan batu pantai hitam mengkilap yang disemen akan menemani langkah kaki Anda mengelilingi Pulau Randayan dengan waktu tempuh sekitar 30 menit.
Tak banyak panorama indah yang bisa dinikmati di jalur trekking. Hanya tumbuhan perdu khas daerah pantai, barisan pohon kelapa, dan batu-batu besar penahan debur ombak. Karena, jalur trekking baru saja dibuat dan masih setengah jalan. Sisa jalan lain harus ditempuh dengan menyusuri bebatuan besar.
Namun, ada batu besar nan luas yang disebut batu rakit dan menjorok ke bibir pantai. Bentuk rakit pada batu merupakan bentukan alami dari hempasan ombak yang mengenai bagian tepi batu, sehingga tampak seperti rakit yang sedang ditambatkan di tepi pantai. Dinding batu membentuk lapisan-lapisan dengan jarak antaranya berkisar beberapa centimeter saja.
Walau hanya hamparan batu, lokasi ini sangat tepat untuk menikmati sunset. Terlebih saat matahari berwarna jingga keperakan dan secara perlahan menghilang di batas cakrawala. Ukuran matahari yang besar dan pantulan warna di cermin permukaan air akan membuat Anda berdecak kagum dengan penuh syukur karena telah menyaksikan kreasi Pencipta yang begitu sempurna.
Mancing, euy
Anda juga bisa melampiaskan hasrat memancing di laut biru nan luas saat traveling ke Pulau Randayan. Namun, bila Anda sudah merencanakan memancing dalam agenda traveling ke pulau pribadi ini, harus menyiapkan dana lebih untuk menyewa kapal motor yang akan mengantar Anda menuju lokasi ditemukannya banyak ikan berdasarkan pengalaman para nelayan yang diceritakan pada para nahkoda kapal.
Menyewa kapal motor untuk memancing tidak bisa mendadak dilakukan. Anda sudah harus menyewa saat pertama kali akan berangkat dari dermaga ke Pulau Randayan. Karena, kapal motor berpenumpang biasa (tidak menyewa) yang bersandar ke pulau ini tidaklah lama. Nahkoda kapal harus kembali ke dermaga untuk mengangkut penumpang dan barang yang sudah dipesan untuk diantar ke pulau setiap harinya.
Nah, tertarik untuk merasakan nikmatnya traveling di pulau pribadi? Bagaimana jika Anda datang sendiri untuk mencobanya. Siapa tahu, suatu saat Anda juga bisa memiliki satu pulau yang bisa dikelola sendiri. Selamat ber-traveling.
Selasa, 25 Oktober 2011
Jogjakarta, Keramahan Wisata Dalam Budaya
Sugeng rawuh. Tepat sekali Anda memilih Jogjakarta ke dalam daftar kunjungan untuk berwisata. Kota pelajar dengan luas 3.185,80 Km2 ini, akan memukau Anda dengan pesona dan keramahannya. Masih memegang teguh budaya, Jogjakarta seakan mengajak Anda memasuki alam tradisional dalam kumparan dunia modern.Adat istiadat nya masih sangat kental dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, yang tetap menjaga dan melestarikan budaya peninggalan ratusan tahun silam. Jogjakarta akan mengajak Anda dalam kehidupan tradisional yang back to nature. Suguhan bangunan lama yang masih terawat dengan baik, didukung dengan pemandangan keindahan alami. Awali wisata Anda untuk melihat daerah istimewa Jogjakarta dalam balutan peninggalan sejarah tradisional kerajaan. Ayunkan langkah Anda menuju Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang dibangun pada tahun 1756 M atau 1682 untuk tahun Jawa. Saat berkunjung di lingkungan The Imperial House, Anda akan melihat display pakaian tradisional, senjata, dan kereta kuda yang pernah digunakan oleh raja-raja Jogjakarta.
Biasanya, pengunjung ramai mendatangi alun-alun utara Kraton Jogjakarta untuk mencoba peruntungan berjalan di tengah dua pohon beringin besar bernama Kyai Dewandaru dan Kyai Wijayandaru. Konon, siapa yang bisa lolos berjalan melewati pohon beringin kembar itu dengan mata tertutup, permohonannya akan terkabulkan.
Anda juga bisa berkunjung keTamansari yang dibangun di masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono I, pada tahun 1758 dengan seni arsitektur Eropa yang dilengkapi makna simbolik Jawa melalui ukiran pada bangunannya. Dahulu lokasi ini adalah pesanggrahan untuk pertapaan raja Jogjakarta dan keluarga, dilengkapi dengan kolam pemandian.
Arsitektur Eropa dapat pula Anda jumpai saat berkunjung di museum Benteng Vredenburg yang didirikan pada tahun 1765, gedung Bank Indonesia, dan kantor pos Jogjakarta. Wisata ini dapat Anda lakukan dengan menumpangi andong atau becak.
Peninggalan sejarah banyak ditemukan di sekitar Kota Jogjakarta berupa candi-candi yang menakjubkan dan menjadi saksi bisu catatan sejarah yang pernah terjadi. Anda akan dibuat takjub saat menyaksikan kekokohan candi Borobudur. Candi Budha abad ke-9 yang dibangun oleh Raja Samaratungga dari kerajaan Mataram kuno keturunan Wangsa Syailendra ini memiliki 1460 relief dan 504 stupa. Saat berada di tingkat teratas candi ini, Anda akan melihat pemandangan hijau di sekeliling candi.
Ada pula candi Hindu yang dibangun oleh Raja Rakai Pikatan dan Rakai Balitung di abad ke-10, yakni candi Prambanan. Legenda terkenal dari candi ini adalah permintaan putri Roro Jonggrang kepada Bandung Bondowoso untuk membangun candi dengan 1.000 arca dalam semalam sebagai bukti lambang cinta. Saat ini, Candi Prambanan dilengkapi dengan Taman Ramayana, berupa panggung pertunjukan untuk pewayangan orang.
Menurut cerita dari mulut ke mulut, pengunjung candi yang sedang berpacaran akan putus bila berkunjung di candi ini. Betulkah? Anda mungkin bisa membuktikannya sendiri. Candi lain yang bisa dikunjungi adalah Plaosan, Sambisari, Mendut, Pawon, dan Istana Ratu Boko.
Ingin menikmati keindahan alam Jogjakarta? Silakan berkunjung ke Pantai Parangtritis yang berjarak sekitar 30 Km dari Kota Jogjakarta. Pantai dapat ditempuh menggunakan bus dengan biaya Rp. 7.500 per orang. Pasir Pantai Parangtritis yang lembut di kaki akan membuat Anda lupa waktu saat bermain bersama debur ombaknya. Pantai lain yang juga bisa Anda kunjungi adalah pantai Kukup, Krakal, Baron, Sundak, Glagah, Depok, dan Parang Kusumo.
Kota Jogjakarta juga memiliki tugu yang berada di tengah kota. Uniknya, jika ditarik garis lurus, tugu Jogjakarta berada di tengah antara Gunung Merapi dan Pantai Parangtritis. Menurut lelucon di Jogjakarta, Anda belum dikatakan berkunjung di kota ini jika belum memegang tugu.
Souvenir
Tidak lengkap rasanya bila tidak membeli sesuatu yang khas saat berkunjung ke Jogjakarta. Sebagai kota wisata, Anda bisa menemukan banyak barang kerajinan unik yang diolah dari tangan terampil dan kreatif. Batik merupakan karya kreatif yang umum ditemukan di Jogjakarta. Membeli batik tidaklah sulit. Anda bisa menyusuri sepanjang jalan Malioboro hingga pasar Beringhardjo untuk berburu batik.
Baju dan souvenir yang terbuat dari batik bisa Anda beli dengan harga yang dapat disesuaikan dengan isi dompet Anda. Ukiran dari tokoh pewayangan juga dapat menjadi alternatif lain untuk souvenir dengan kekhasan yang akan mengingatkan Anda tentang Jogjakarta.
Bagi pecinta perhiasan, silakan meluncur ke pusat kerajinan perak yang terletak di Kota Gede. Anting, kalung, cincin, dan hiasan rumah terbuat dari perak asli bisa Anda dapatkan di sini. Kisaran harga per item mulai puluhan ribu hingga jutaan Rupiah. Tergantung, jenis dan bentuk perak yang Anda pilih. Ingin belajar membuat perhiasan dari perak? Biasanya, toko perak yang memiliki tempat pembuatan untuk melayani pengunjung yang ingin memesan langsung bentuk perhiasan sesuai keinginan, akan memberikan izin.
Jogjakarta juga memiliki pusat kerajinan keramik dan gerabah yang berlokasi di Kasongan. Kerajinan ini berupa patung, lampu hias, furniture, topeng, kendi, dan perlengkapan rumah. Semuanya dibuat dari tanah liat dan tentunya, menarik.
Makanan
Apakah Anda menyiapkan dana minim untuk biaya konsumsi saat berada di Jogjakarta? Jangan kuatir. Anda bisa temukan gerobak penjual makanan dengan satu bangku panjang yang menjual nasi kucing. Nasi paket hemat berbungkus daun pisang ini dilengkapi sambal ikan teri atau tempe yang dipotong kecil-kecil dan digoreng kering. Harga per bungkus nasi kusing adalah Rp. 1.500.
Warung burjo yang menjual bubur kacang hijau dicampur ketan hitam dan sedikit santan merupakan pilihan bagi para mahasiswa luar daerah yang menuntut ilmu di Jogjakarta. Warung ini juga menjual indomi rebus dan goreng, plus cemilan berupa beberapa kue yang digoreng. Mengenyangkan dan murah meriah. Pilihan lain untuk membeli makanan dengan harga terjangkau adalah pecel lele, telur, tempe, dan ayam goreng di warung tenda pinggir jalan.
Makanan khas Jogjakarta yang tidak boleh Anda lewatkan adalah gudeg. Makanan yang terbuat dari buah gori (nangka) dan diolah dengan tambahan daging ayam atau telur, akan menggugah selera makan Anda. Perfecto delicio.
Mau mencicipi makanan yang unik? Datang saja ke warung makan Jejamuran yang menjual makanan serba jamur. Menu yang tersedia adalah sate, soup, rendang, pepes, tongseng jamur, dan sebagainya. Harga jejamuran berkisar Rp. 4.000-10.000. Makanan khas Jogjakarta juga bisa dijadikan oleh-oleh untuk keluarga atau kerabat Anda.
Silakan meluncur ke daerah sejuk Kaliurang untuk mencari jadah tempe. Makanan berupa ketan dan tempe bacem ini sangat tradisional dan cocok dijadikan teman minum the panas atau kopi. Atau, datang saja ke kawasan Pathuk, Kecamatan Ngampilan, Jogjakarta. Lokasi tersebut menjual bakpia pathuk, yakni bakpia yang berisi kacang hijau. Jajanan khas lainnya yang bisa Anda temukan di situ adalah yangko, geplak, madu mongso, dan ampyang. Silakan Anda memilih.
Sabtu, 01 Oktober 2011
Menjadi Seorang Penulis Travel Pemula
Apakah anda sering melakukan perjalanan ke tempat baru di luar tempat tinggal anda? Apakah ada hal-hal menarik bagi anda saat ke tempat baru itu? Mengapa anda tidak menuliskan apa yang anda lihat di situ dan berbagi dengan orang-orang? Siapa tahu tulisan anda sangat menarik dan menjadikan anda sebagai penulis travel.Menjadi seorang penulis travel adalah impian banyak orang. Ini seperti magnet yang menjadi daya tarik bagi orang-orang untuk ikut masuk kedalamnya. Suatu pekerjaan sekaligus untuk melepaskan penat, dua keuntungan dalam berkerja.
Ceritakan apa saja yang anda lihat saat bepergian. Buatlah cerita itu dengan sederhana, namun detil. Seperti mengenai biaya, fasilitas, transportasi, dan sebagainya. Jika ada sesuatu yang menarik perhatian anda, tulislah. Jangan terburu-buru saat menceritakan pengalaman anda lewat tulisan. Karena, saat tulisan tersebut anda tawarkan kepada penerbit, anda simpan di blog atau website, tulisan anda termasuk dalam kategori eksklusif. Karena, hanya anda saja yang merasakan dan melihat langsung tempat tersebut (walau mungkin ada orang lain yang sudah pernah menuliskannya). Asal, selalu berikan sesuatu informasi baru dalam tulisan anda.
Apakah cukup hanya tulisan saja?
Tidak. Sertakanlah juga beberapa foto yang anda ambil di tempat yang anda kunjungi itu. Melalui foto yang anda sertakan, cerita dalam tulisan anda akan semakin jelas dan bisa dibayangkan oleh pembaca anda. Foto dan tulisan akan saling dukung dan menjadikan cerita anda semakin utuh. Apalagi, satu foto bisa memiliki banyak makna. Tergantung dari sudut pandang yang melihatnya.
Bagaimana bisa membuat tulisan travel yang menarik?
Ada dua tipe pembaca tulisan travel. Pertama, pembaca yang suka mengikuti alur cerita tulisan dan membayangkan diri mereka ikut ke dalam perjalanan yang anda tuliskan. Tulisan travel untuk pembaca seperti ini haruslah detil. Karena, pembaca tersebut ingin mencari informasi yang lebih tentang lokasi wisata yang anda ceritakan. Misalnya tentang budaya, hal-hal yang menarik di tempat itu, asesoris, dan sebagainya.
Pembaca tulisan travel tipe kedua adalah pembaca yang hanya ingin mengetahui informasi umum untuk mengunjungi lokasi wisata dalam tulisan anda. Seperti informasi biaya, transportasi, lokasi paling menarik, fasilitas yang ada di tempat itu, dan apa yang harus dan tidak dilakukan di tempat itu. Tulisan travel anda tidak perlu panjang dan cukup berisikan informasi penting yang disertai dengan foto yang bagus agar pembaca tertarik berkunjung ke lokasi wisata dalam tulisan anda.
Hal paling utama untuk menjadi seorang penulis travel adalah berani untuk menghadapi tantangan tidak terduga yang mungkin saja terjadi dalam perjalanan anda. Seperti makanan yang tidak sesuai dengan selera anda, transportasi dan fasilitas yang tidak memadai, aturan-aturan yang berbeda dari daerah asal anda, dan sebagainya.
Namun, jangan khawatir. Semua kejadian menarik tersebut bisa anda tulis dan bagikan itu kepada orang-orang agar menjadi panduan mereka dalam melakukan travel ke tempat tersebut. Selamat mencoba dan bersenang-senanglah.
5 Langkah Menjadi Penulis Online
Apakah anda belum memiliki pekerjaan tetap dan senang menulis? Apakah tulisan-tulisan Anda hanya disimpan dalam lemari besi yang kuncinya hanya bisa dibuka oleh Anda sendiri? Jangan sia-siakan waktu Anda. Cobalah untuk menjadi seorang penulis online. Tulisan Anda tidak akan menjadi catatan usang, bahkan dibayar. Namun, bagaimanakah caranya untuk memulai karir sebagai penulis online?Perkembangan teknologi terutama internet menjadikan informasi memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia. Rasa penasaran dan keingintahuan manusia yang tinggi akan informasi terbaru di luar lingkungannya, membuka peluang yang besar bagi penulis online sebagai pemberi informasi yang dibutuhkan oleh orang banyak.
Sebagai seorang yang memiliki bakat menulis, segera tangkap peluang tersebut. Selain untuk mengasah kemampuan menulis, pundi-pundi uang anda pun akan terisi uang sebagai upah jerih payah Anda dalam menulis.
Berikut lima langkah dasar untuk menjadi penulis online.
1. Cari portal media yang membuka kolom untuk penulis tamu di internet Sebagai pemula yang akan memulai menjadi penulis online, cobalah untuk mencari portal media yang menyediakan kolom untuk menulis. Daftarkan diri Anda sebagai member dan sering-seringlah mengirimkan tulisan di portal media itu. Bila tulisan Anda berkualitas dan memiliki informasi baru yang diinginkan oleh banyak orang, bisa saja tulisan Anda dijadikan tulisan berita untuk portal media mereka. Selain membuka peluang sebagai penulis online, Anda juga sudah memiliki relasi dan pembaca tetap yang menyukai tulisan-tulisan Anda.
2. Miliki blog atau website Anda sendiri
Cara lain yang perlu Anda lakukan untuk menjadi seorang penulis online adalah dengan memiliki blog atau website sendiri. Buatlah tulisan dengan satu topic khusus yang mungkin dibutuhkan oleh orang banyak, dan fokuslah. Contohnya menulis tentang makanan, politik, atau catatan harian yang menarik untuk dibaca. Sebarkan blog atau website Anda, siapa tahu ada media portal yang membutuhkan materi tulisan sesuai dengan isi blog atau website Anda.
3. Jeli melihat perubahan di sekitar lingkungan Anda
Kebanyakan orang berpikir bahwa tidak ada hal menarik di lingkungan sekitarnya. Padahal, mungkin saja ada sesuatu perubahan yang terjadi dan sangat menarik untuk orang lain yang tidak mengetahuinya. Tulislah perubahan di lingkungan sekitar Anda itu dalam bentuk berita dan tawarkan ke portal media. Bila tulisan Anda berisi informasi terbaru yang dibutuhkan banyak orang dan layak untuk dipublikasikan, Anda pasti akan mendapat bayaran untuk tulisan tersebut. Siapa tahu Anda juga mendapat tawaran untuk menjadi penulis online tetap di portal media mereka.
4. Ikut lomba menulis di media online
Jangan takut untuk mengikutsertakan tulisan-tulisan Anda dalam lomba menulis di media online. Siapa tahu tulisan Anda berhasil memenangkan lomba tersebut. Biasanya, portal media melihat latar belakang penulis online yang akan mereka rekrut. Mungkin saja lomba menulis yang Anda menangkan bisa menjadi kredit point bagi Anda untuk mendapatkan pekerjaan sebagai penulis online.
5. Asah terus kemampuan menulis Anda
Sebagai seorang penulis online, Anda dituntut untuk mampu menulis semua topic seperti politik, hiburan, hukum, lingkungan, penelitian, dan sebagainya. Karena itu, teruslah mengasah kemampuan menulis Anda. Tentunya, dengan gaya tulisan Anda sendiri. Jadilah diri sendiri saat Anda menulis dan jangan sekali-sekali untuk menjiplak tulisan orang lain.
Seperti kata pepatah, di mana ada kemauan di situ ada jalan. Silakan Anda aplikasikan lima langkah tersebut untuk mewujudkan impian Anda menjadi penulis online. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi Anda dan selamat mencoba.
Selasa, 23 Agustus 2011
Bubur Pedas, Kuliner Asli Sambas Jadi Ikon Kuliner Sarawak
Kabupaten Sambas di Kalimantan Barat memiliki makanan khas yang disebut bubur pedas. Meski nama makanan khas tersebut berbanderol kata “pedas” yang akan membuat pencinta kuliner yang tidak suka rasa pedas bergidik ngeri, saat disuguhkan pasti akan minta tambah lagi. Karena, bubur pedas adalah bubur yang terbuat dari campuran sayur mayur dan saat diolah tidak ada dicampurkan bahan cabai sedikitpun.Sayuran yang digunakan sebagai bahan untuk membuat bubur pedas adalah sayuran tradisional. Seperti pakis, daun lengkuas, dan sebagainya. Campuran aneka sayuran ke dalam beras yang disangrai ini sangatlah harum dan menggugah selera. Apalagi bila ditambahkan dengan ikan teri dan kacang tanah yang digoreng. Semakin ‘nendang’ rasanya. Masyarakat Kalimantan Barat khususnya Sambas, pastilah bangga memiliki makanan khas ini. Karena, mudah membuatnya dan memiliki kandungan gizi cukup yang menyehatkan.
Namun, ada berita mengejutkan. Berdasarkan berita yang saya baca di satu koran lokal, Selasa (23/8), yang melansir berita Utusan Malaysia Jumat (19/8), bubur pedas menjadi ikon wisata kuliner Sarawak. Isi berita tersebut adalah digelarnya festival produk makanan lokal di Sarawak selama bulan Ramadan, di Kampung Melayu Pangkalan Bau. Menurut Menteri Muda Alam Sekitar Negeri Sarawak, Datuk Peter Nansian Ngusie, festival tersebut adalah komitmen pihak pemerintah Sarawak, Malaysia, untuk mempromosikan bubur pedas sebagai ikon wisata kuliner . Tampaknya, bubur pedas menjadi daftar berikutnya yang akan segera diklaim Negara tetangga sebagai makanan khas mereka.
Salahkah Negara tetangga kita tersebut bila mengakui bubur pedas sebagai ikon kuliner wisata mereka? Secara ego saya mengatakan salah besar. Namun, bila melihat kembali bagaimana kepedulian kita terhadap budaya dan kuliner yang dimiliki, saya tidak bisa berkata apa-apa. Lidah kita saat ini teramat bangga akan kuliner kebarat-baratan. Sehingga, melupakan rasa bangga akan nikmatnya kuliner yang ada dari negeri sendiri.
Contohnya selama bulan Ramadan ini iklan televisi selalu menampilkan tempat dan aneka makanan ‘luar’ yang menggiurkan untuk acara buka puasa bersama. Tidak ada saya menyaksikan produk iklan untuk mengajak masyarakat untuk berbuka puasa sekeluarga di rumah dengan kuliner asli Indonesia. Nah, apakah kita baru berteriak lagi saat budaya dan kuliner kita satu persatu ‘dicuri’ padahal kita sendiri kurang menghargai budaya dan kuliner Indonesia yang ada?
AYO KITA SEGERA INTROSPEKSI DIRI. JANGAN SAMPAI BARU BERTERIAK SAAT BUDAYA DAN KULINER KITA SUDAH DICURI!
Sabtu, 20 Agustus 2011
Nasionalisme Ala Dusun Nanga Sungai
Perjalanan darat selama 22 jam menggunakan kendaraan travel dari Pontianak menuju daerah hulu Kalimantan Barat, Selasa (28/6), sangatlah melelahkan. Lobang menjadi penghias jalan sepanjang ± 800 kilometer. Namun, bukan menjadi penghalang bagi saya untuk mengunjungi sebuah dusun bernama Nanga Sungai, Desa Saujung Giling Manik, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Kebetulan, kedatangan saya untuk menghadiri acara adat Mandaas, yakni acara adat melayat yang dilakukan oleh suku Dayak Tamambaloh.
Perjalanan tersebut merupakan pengalaman pertama saya menuju dusun yang berada di ujung Desa Benua Martinus. Dusun sepi dengan penerangan listrik yang berasal dari mesin genset. Sekitar 60 kepala keluarga menempati dusun tersebut, dengan mata pencaharian masyarakat sehari-sehari sebagai petani dan nelayan sungai.
Kehidupan masyarakat Dusun Nanga Sungai hampir sama seperti masyarakat pada umumnya. Pagi hingga siang hari, mereka menghabiskan waktu di sawah atau ladang. Pulang dari lahan pertanian, mereka akan mencari ikan dengan cara di pukat sembari menyusuri sungai Embaloh untuk kembali ke rumah.
Ada yang menarik di dusun ini. Meski berada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, ternyata suku Dayak Tamambaloh yang menetap di Dusun Nanga Sungai memiliki bendera sendiri. Bukan merah putih, namun bendera dengan aneka warna. Seperti kuning, merah, putih, hitam, dan hijau. Bentuk bendera tersebut pun unik, memanjang dengan ujung berbentuk segitiga penuh untaian kain seperti untaian janur kelapa.
Menurut tetua warga bernama Baki’ Tali (kakek Tali), 72 tahun, bendera tersebut merupakan bendera adat yang selalu digunakan oleh penduduk dari suku Dayak Tamambaloh sewaktu menggelar acara adat, dan sudah digunakan sejak dahulu kala. Bendera tersebut berbentuk motif dayak di tengahnya, membentuk gambar hewan, buah, atau tumbuhan. Suatu bentuk penghormatan manusia terhadap lingkungan sekitarnya.
Pemilihan warna yang digunakan untuk bendera tersebut bukanlah asal comot saja. Kuning menggambarkan kemakmuran akan hasil pertanian. Merah sebagai lambang keberanian. Putih sebagai lambing ketulusan dan keputusan bulat yang tidak bisa dilanggar. Hitam sebagai lambang perjuangan bersama-sama hingga titik darah penghabisan. Hijau sebagai wujud kehidupan yang seimbang dengan alam.
Baki’ Leo (69) mengatakan ada dua bendera yang dimiliki oleh suku Dayak Tamambaloh. Yakni, Tambe Laki (bendera laki-laki) dan Tambe Bainge (bendera perempuan). Perbedaan antara bendera ini adalah, Tambe Laki memiliki ukuran lebih panjang dibandingkan Tambe Bainge.
Bila mereka memiliki bendera sendiri, bagaimanakah sikap mereka terhadap bendera merah putih? Lunturkah rasa nasionalisme mereka akan Indonesia?
Ternyata, mereka masih mengedepankan rasa cinta tanah air. Meski sudah memiliki bendera yang mereka gunakan secara turun temurun sebelum masa kemerdekaan, suku Dayak Tamambaloh di Dusun Nanga Sungai tetap menghormati bendera merah putih. Hal itu saya saksikan saat melihat upacara adat Perahu Tambe (perahu hias), yakni upacara adat pernikahan di saat mempelai pria beserta keluarga di hulu Sungai Embaloh menggunakan perahu yang dihias menuju rumah mempelai wanita di hilir sungai. Bendera merah putih tetap berkibar paling tinggi dibandingkan Tambe Laki dan Tambe Bainge.
Bahkan, dalam perjalanan saya menuju Desa Lanjak, daerah dekat perbatasan Indonesia-Malaysia, Minggu (3/7). Dari bak belakang mobil yang saya tumpangi, dengan penuh haru saya melihat kibaran merah putih yang sudah tercabik di ujungnya, tetap berada di ujung tiang di beranda Betang (rumah panjang) yang berjarak sekitar 300 meter dari jalan raya, meski bukan tanggal 17 Agustus.
Minggu, 17 Juli 2011
Embaloh, Sungai Kaya Bernyawa di ‘Benua’ ke-7 (2)
Bila Anda ingin melihat permata yang melimpah, datang saja ke Sungai Embaloh. Menyelamlah di jernihnya air sungai. Saat menyelam, buka mata Anda. Lihatlah bebatuan di dasar sungai. Bias sinar matahari yang masuk ke air sungai dan mengenai bebatuan, akan membuat bebatuan tampak seperti kemilau permata yang indah dan tak terhingga.
Kabut pagi masih menyelimuti Desa Benua Martinus, Sabtu (2/7). Selimut kabut yang saya sebut ‘paradiso benua ketujuh’ dikarenakan menghasilkan pemandangan indah di desa kecil sarat sejarah. Saya menginap di rumah kayu, tepat di pinggir jalan, samping lapangan sepakbola SD 02 Benua Martinus. Menurut indu’ (ibu/bibi) Clara, bangunan SD dan lapangan sepakbola itu dulunya adalah bekas landasan pesawat pasukan tentara Indonesia saat terjadinya GPRS-Paraku.
Mandi pagi di Sungai Embaloh merupakan sebuah keharusan. Maklum, saat tiba di sini, saya langsung menuju Dusun Nanga Sungai yang berada sekitar satu setengah jam berjalan kaki atau 30 menit bila menggunakan kendaraan roda dua, dari Desa Benua Martinus, untuk acara adat Mandaas (baca tulisan selanjutnya).
Menuju Sungai Embaloh dari rumah tempat menginap tidaklah memakan waktu yang lama. Sekitar 300 meter di belakang rumah. Cukup menyusuri jalan aspal dan mengambil jalan lurus berbatu di depan Koramil, melewati padang berpagar kawat duri, hingga menapak di bebatuan sungai yang memanjang di tepian sungai. Rimbunan tumbuhan di pinggir sungai, air jernih yang mengalir di bebatuan, suara kicau burung yang terbang bebas, menjadikan mandi pagi semakin semarak. Ditambah, ‘kecupan’ kecil di bagian tubuh dari keramahan ikan Sungai Embaloh.
Kayu besar yang terhanyut dari hulu sungai, tampak terdampar di atas bebatuan. Tidak hanya satu kayu, tapi, banyak. Kayu-kayu itu merupakan hasil dari abrasi yang terjadi di daerah hulu sungai, dan terbawa oleh air sungai. Hujan mengakibatkan arus sungai mengalir deras. Sedangkan komposisi tanah di pinggir Sungai Embaloh terdiri atas sedimen yang rapuh, hasil pelapukan kayu-kayu yang terdampar. Bila arus deras menghantam tanah di pinggir sungai, air menjadi berwarna kecoklatan karena bercampur lumpur. Satu daerah yang selalu berpindah akibat terjadinya abrasi adalah Dusun Nanga Sungai. Tidak ada yang mampu melawan kekuatan alam. Bahkan, aliran air sungai Embaloh yang tenang, seperti bernyawa. Secara perlahan, air sungai mengikis daratan di sepanjang aliran sungai.
Dusun Nanga Sungai yang saya datangi merupakan pemukiman baru bagi penduduknya. Sekitar 2008, satu persatu penduduk meninggalkan lokasi dusun mereka yang lama, yang berada sekitar dua kilometer di daerah hilir sungai. Menurut Baki’ (kakek, dalam bahasa Dayak Tamambaloh) Roreng (63), lokasi rumah yang ditempati masyarakat tersebut mulanya adalah pondok saat berladang. Tiang dari lantai rumah penduduk memang dibuat tinggi, sekitar 2-5 meter. Sehingga, setiap orang harus menaiki anak tangga untuk masuk ke rumah. Alasan penduduk membuat tiang tinggi tersebut adalah untuk terhindar dari banjir. “Jika air sungai meluap, bisa naik ke rumah,” ujar Baki’ Roreng.
Perpindahan penduduk Dusun Nanga Sungai itu bukan kali pertama. Berdasarkan penuturan Baki’ Leo (72), ini merupakan perpindahan yang keempat kalinya selama ia hidup. Selain disebabkan karena abrasi, perpindahan kali ini adalah anjuran pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu agar penduduk dapat bermukim di daerah pinggir jalan. Agar memudahkan transportasi masyarakat dan jaringan listrik bisa masuk. Namun, hingga saat ini belum ada satu tiang listrik pun yang tampak. Penduduk Dusun Nanga Sungai mengandalkan mesin genset untuk penerangan di kala malam. Itupun tidak semua rumah penduduk. Saya menghitung tak lebih dari 10 rumah yang memiliki mesin genset. Sedangkan di Desa Benua Martinus, nyala listrik berlaku setengah hari. Mulai pukul 17.00 WIB hingga pukul 06.00 WIB.
Bahkan, jembatan gantung penghubung antara Desa Benua Martinus dan tiga dusun lain, yakni Nanga Sungai, Pat, dan Ulak Pauk, tampak mulai rapuh. Kayu jembatan gantung terlihat mulai lapuk. Tali kawat di kiri-kanan jembatan gantung, ada yang putus. Padahal, jembatan itulah satu-satunya sarana yang memudahkan penduduk tiga dusun untuk melintasi Sungai Tamao. Menurut penduduk Dusun Nanga Sungai M. Rayung, jembatan tersebut berumur belum genap setahun. Karena pengerjaan jembatan gantung berakhir sekitar September 2010.
Berdasarkan penuturan Rayung, jembatan tersebut dibuat dengan dana bantuan pemerintah daerah. Dari pengajuan Rp. 22 juta yang diajukan, kucuran dana yang disetujui dan diberikan ke masyarakat adalah Rp. 18 juta. “Sayang, baru setahun jembatan sudah rapuh,” sesal Rayung.
Bisa dibayangkan, bila jembatan gantung tersebut rusak dan putus, akses jalan darat penduduk dari tiga dusun bisa terganggu. Bila harus menggunakan sampan melalui jalur Sungai Embaloh, butuh tenaga super ekstra untuk melawan arus sungai menuju pusat kecamatan di Desa Benua Martinus.
Apalagi bila menggunakan perahu mesin, butuh dana besar untuk membeli bahan bakar. Seliter bensin di Benua Martinus mencapai harga Rp. 9.000.
Jumat, 15 Juli 2011
Saguer, Sambutan Khas di Tamambaloh (1)
Mobil berhenti di sebuah jembatan gantung yang hanya bisa dilewati dengan berjalan kaki, Selasa (28/6) malam. Satu persatu, langkah kaki menapak di jembatan yang melintasi Sungai Tamao dengan panjang sekitar 10 meter. Saat dilewati, jembatan bergoyang dan papan kayu berbunyi ‘kretak’. Beberapa utas kawat di kedua sisi jembatan terlihat ada yang putus. Dengan penerangan lampu senter, tertangkap tulisan ‘tahun 2010’ di sisi kiri tiang jembatan, tahun penyelesaian pembuatan jembatan gantung yang terlihat mulai rapuh itu.
Waktu menunjukkan sekitar pukul 21.15 malam. Setelah menghabiskan 22 jam perjalanan darat dari Pontianak menggunakan mobil (Pontianak-Kapuas Hulu = ± 800 km. Kapuas Hulu-Nanga Sungai = ± 175 km), masih setengah jam berjalan kaki lagi yang harus ditempuh dari jembatan gantung, agar tiba di Dusun Nanga Sungai, Desa Saujung Giling Manik, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalbar.
Bayangan pohon tinggi di kiri-kanan jalan setapak, terlihat saat tertimpa sinar senter. Jalan tanah yang ‘dibaluri’ batu sungai, berbagi tempat dengan suburnya rumput. Beruntung, setelah sekitar 10 menit menyusuri jalan, ‘rute’ jalan kaki ini dipersingkat dengan datangnya jemputan motor yang siap mengantar ke Dusun Nanga Sungai.
Dari boncengan sepeda motor, saya menangkap bunyi-bunyian tabuhan alat musik tradisional khas Dayak, mengalun dalam sunyi malam. Tak berapa jauh dari sebuah pertigaan jalan dusun, bunyi itu semakin jelas terdengar. Asalnya dari sebuah rumah kayu bertiang tinggi. Bersambung langsung dengan rumah itu, ada sebuah panggung dengan lantai papan beratap terpal biru. Tempat para penabuh alat musik tradisional dan masyarakat yang berkumpul di rumah M. Rayung, tepat di ujung jalan sisi kanan.
Turun dari boncengan motor, saya disambut oleh lima perempuan tua yang masing-masing memegang gelas plastik dan seorang pemuda yang memegang nampan berisi sebuah teko. Mereka bernyanyi sambil menghentak-hentakkan kaki kanan di lantai, pada dua kayu yang tiap ujungnya diberi penyanggah kayu kecil sehingga berbunyi ketika diinjak, mengikuti tabuhan alat musik tradisional. Nyanyian mereka semakin kencang saat kaki saya menaiki lima anak tangga.
Inyum jo olongan, ipatiling-tiling
Inyum jo olongan, ipatiling-tiling
Tawak’u ikausang jo. Inyum jo rio-rio
Inyum ilanggak-langgakan, ilanggak-langgakan
Na’an pande iteakang
Bila diartikan dalam Bahasa Indonesia, nyanyian tersebut memiliki arti : “minumlah dan tuangkan ke mulut, miringkan sedikit gelasmu. minumlah dan tuangkan ke mulut, miringkan sedikit gelasmu. Habiskanlah bagianmu. Minumlah cepat-cepat. Minumlah hingga bergelegak-gelegak, bergelegak-gelegak. Tidak boleh dimuntahkan”. Nyanyian berjudul Inyum Jo (Ipatiling-tiling) itu merupakan nyanyian masyarakat Dayak Tamambaloh untuk menyambut tamu atau keluarga yang datang di dusun mereka. (Nyanyian yang diciptakan oleh dua warga Tamambaloh, Yeremias dan Damianus, mulai dikenal luas sejak 1980-an. Sebelumnya, hanya seruan ‘hoiya..hoiya’ yang diiringi musik tradisional masyarakat Dayak Tamambaloh untuk menyambut para tamu). Nyanyian terhenti saat mereka mengelilingi saya, menyodorkan gelas ke mulut, meminum isi gelas hingga habis, dan tangan kanan mereka mengusap-usap bahu saya. Minuman berbentuk cairan putih berasa manis dan agak sedikit kelat. Menurut Rayung, minuman tersebut adalah Saguer, air pohon Enau (Arenga pinnata) yang disadap. Masyarakat luas mengenal minuman tersebut dengan sebutan tuak. Bila ditambah sedikit ragi, minuman bisa mengandung alkohol dan memabukkan.
Saguer merupakan minuman khas Dayak Tamambaloh untuk para tamu yang datang. Selain minuman, biasanya disajikan pula kue kalame kaur, kalame suman, dan lemang. Setelah sajian dinikmati, tamu akan diajak Mandaria’ (menari).
Dayak Tamambaloh
Sungai Embaloh merupakan anak Sungai Kapuas yang mengalir dari hulu pegunungan Kapuas Hulu sepanjang sekitar 168 kilometer. Di sepanjang aliran sungai ini, hidup penduduk asli suku Dayak Tamambaloh. Mereka menyebut diri dengan sebutan Banuaka’, yang berarti orang kita. Selain itu, suku dayak Tamambaloh tersebar juga di sepanjang aliran sungai Labian dan Palin.
Mata pencaharian suku Dayak Tamambaloh adalah berladang. Mereka juga sangat pandai menangkap ikan di sungai. Seperti menjala, menyelam, dan Manyarakap (mencari ikan dengan tangan di danau atau kali). Namun, jangan coba-coba untuk menangkap ikan menggunakan racun tuba. Hukuman adat akan diberikan kepada mereka yang berani meracun ikan dengan tuba. Ikan hasil tangkapan akan diolah masyarakat suku Dayak Tamambaloh menjadi ikan salai (ikan yang diasap), jukut (ikan yang difermentasi), kerupuk, dan kerupuk basah.
Sebagai pencari ikan di sungai, tidak mengherankan bila setiap warga mulai anak-anak hingga perempuan tua bisa mengayuh sampan. Karena, sampan merupakan sarana transportasi yang sering digunakan untuk mengangkut barang dari dusun ke pusat kecamatan.
Tanaman yang tumbuh mendominasi tanah di sepanjang aliran sungai Embaloh adalah Enau. Bahkan, dalam catatan harian seorang pastor dalam buku ‘Hidupku di Antara Suku Daya’ yang ditulis Herman Josef Van Hutten, masyarakat setempat sudah memanfaatkan air sadapan sebagai minuman, saat pastor asal Belanda itu tiba pertama kali di sana, sekitar 1913.
Selasa, 17 Mei 2011
Naik Dango Suku Dayak Kanayant Saat Panen Usai
Bunyi gong yang ditabuh terdengar dari speaker di sisi kiri dan kanan betang (rumah panjang) Suku Dayak yang berada di atas bukit Desa Sadaniang, Kecamatan Sadaniang, Kabupaten Pontianak, Rabu (4/5/2011). Dari bawah panggung betang bagian kanan, keluar para penari yang mengenakan baju adat Suku Dayak lengkap dengan atributnya, mengikuti irama gong.
Tanpa alas kaki, penari menggoyangkan tubuhnya dengan indah. Dua tangan direntangkan, kemudian jemarinya bergerak memutar dengan lentik. Seorang penari pria di barisan depan rombongan penari, mengayunkan Mandau ke depan. Dengan mata menatap tajam, tiba-tiba ia meloncat dan berteriak “huih” dengan nyaring.
Tarian yang disuguhkan oleh rombongan penari dari 23 Kecamatan di wilayah Kabupaten Pontianak, menjadi daya tarik pengunjung upacara adat Naik Dango ke-26 itu. Mata mereka tak melepaskan sedikitpun gerakan para penari. Sesekali, pengunjung bertepuk tangan dan bergumam “wow” dengan pelan.
Adanya Naik Dango, membuat Desa Sadaniang yang semula sepi menjadi ramai. Meski berjarak sekitar 87 kilometer dari Pontianak, acara Naik Dango tersebut mampu menyedot ramai pengunjung yang berasal dari kampung atau kecamatan lain. Panas terik tak menyurutkan langkah pengunjung menapaki jalan tanah merah untuk ikut serta dalam prosesi adat Naik Dango yang sudah menjadi agenda tahunan.
Naik Dango sendiri merupakan upacara adat yang dilakukan oleh Suku Dayak Kanayant yang ada di Kalimantan Barat. Upacara adat ini adalah ucapan syukur kepada Sang Pencipta, atas berkat melimpah yang diberikan. Hasil panen tersebut biasanya disimpan di dango (lumbung) padi, yang sebelumnya didoakan oleh panyangahant (juru doa).
Biasanya, usai menyimpan padi dalam dango yang merupakan padi pilihan untuk dipersiapkan sebagai bibit, suku Dayak akan berpesta. Pesta ini dinamakan makant nasi barahu (makan nasi baru). Setiap rumah akan menyuguhkan makanan hasil panen untuk setiap tamu yang datang. Ini merupakan wujud rasa syukur atas panen dan berbagi rezeki untuk dinikmati bersama.
Biasanya, naik dango dilaksanakan setiap 27 April. Pelaksanaannya tidak hanya dilakukan oleh masyarakat Suku Dayak yang ada di kampung-kampung. Namun juga mereka yang ada di kota dengan jadwal yang berbeda. Penduduk Kota Pontianak dari Suku Dayak melaksanakan naik dango berupa Pekan Gawai. Acara ini dilaksanakan mulai tanggal 18 - 25 Mei 2011. Silakan untuk datang dan menyaksikan sendiri acara adat ini di Betang Jl. Sutoyo Pontianak. Karena, Suku Dayak yang hadir sebagai peserta berasal dari semua kabupaten yang ada di Kalimantan Barat.
Minggu, 08 Mei 2011
Entikong, Nol Kilometer yang Diam
Masih terbersit dalam ingatan saya tentang ucapan pemandu yang menemani rombongan jurnalis di Kalimantan Barat, yang dipilih untuk meliput Keluarga Berencana di Kuching, Sarawak, Malaysia, pada 7 Juni 2007, lalu. Ketika itu, bis berhenti di depan sebuah warung di pinggir jalan Entikong, sekitar 50 meter dari border (pintu) pos lintas batas Indonesia-Malaysia, pukul 04.27 WIB.Sambil menikmati sebatang rokok untuk menunggu pintu border yang dibuka pada pukul 05.00 WIB, raungan mesin genset dari belakang warung menjadi musik penghibur. Mata saya berkeliling memperhatikan sekitar. Banyak bangunan dari kayu yang terlihat baru berdempetan tak beraturan. Ruly, pemandu rombongan, yang menjadi teman ngobrol sambil mengepulkan asap di luar bis, berkata :
"Ini masih Indonesia. Kalau sudah masuk Malaysia, seperti ruang utama dan dapur," katanya, memberikan pengandaian.
Saya ketika itu masih belum tahu arti pengandaian tersebut. Ucapan itu hanya saya jawab dengan tawa kecil. Tidak ada gambaran sedikitpun tentang daerah Entikong yang berjarak sekitar 350 km dari Pontianak. Sebagai jurnalis baru yang ditugaskan dari kantor untuk ikut rombongan jurnalis dari semua media lokal ketika itu (saya terjun ke dunia jurnalis pertama kali pada Mei 2007), perjalanan tersebut merupakan perjalanan serba pertama bagi saya. Pertama kali melihat langsung daerah perbatasan dan pertama kali menginjakkan kaki ke Negara tetangga.
Tepat pukul 05.00 WIB, orang-orang yang menunggu di dekat border tampak bergerak. Pagar besi yang masih tertutup saat kami tiba, telah terbuka. Daun pagar bergerak perlahan ke arah dalam, ditarik petugas untuk memberikan jalan lebar kepada orang yang akan melakukan pengecekan paspor di kantor imigrasi Indonesia-Malaysia. Beberapa orang terlihat tak sabar dan saling dorong.
Saat urusan pengecekan paspor selesai, bis pariwisata yang mengangkut kami merayap pelan di jalanan Tebedu yang sudah termasuk dalam kawasan Malaysia. Perjalanan tanpa hambatan yang menggilas aspal licin. Sangat berbeda sekali dengan jalan aspal yang disusuri bis rombongan sekitar 7 jam dari Pontianak-Entikong. Penuh lobang di mana-mana. Saya jadi teringat ucapan Ruly tentang 'ruang utama dan dapur'. Saya mengangguk-angukkan kepala mengamini pengandaian tersebut.
Daerah perbatasan seperti tidak ditemukan pada peta Indonesia di meja kerja para wakil rakyat dan pemerintah. Kebutuhan dasar seperti listrik dan jalan yang baik kondisinya, masih belum dinikmati sepenuhnya oleh masyarakat di daerah perbatasan. Listrik yang selalu byar pet setiap saat, seolah hidup segan mati tak mau. Menurut Alex, seorang teman waktu sekolah menengah pertama yang menetap di Entikong, raungan genset menjadi music yang seolah tak pernah berhenti.
Pada 24 Oktober 2008, saya kembali mengunjungi Entikong. Ketika itu, saya mengunjungi pasar tradisional dan rumah susun sederhana untuk di sewa (Rusunawa). Permasalahan listrik yang saya jumpai ketika itu, masih seperti lagu setahun yang sudah lewat. Pedagang di pasar tradisional hanya bisa mendengarkan radio untuk mengusir kejenuhan mereka. Suplai listrik tak ubah seperti jelangkung yang nyala tak diundang, padam seenaknya. Sehingga, televisi tak bisa menjalankan tugasnya. Lebih parah di Rusunawa. Rumah yang diperuntukkan bagi para pekerja dan masyarakat berpenghasilan rendah di Entikong, tampak gelap gulita. Bangunan twin block yang diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 9 Juli 2007, tak berpenghuni. Cat hijau pada dindingnya terlihat sudah pudar. Bangunan tingkat lima yang tiap blok berjumlah 48 pintu dengan kamar tipe 21, tinggallah bangunan kosong bernilai Rp 9,63 Milyar.
Jikapun rumah warga sudah tersambung jaringan listrik, harus rela berbagi dengan warga lain yang kurang beruntung mendapatkan sambungan listrik dari PLN. Saya bertemu Alex pada 5 September 2010 lalu, saat melakukan perjalanan sebagai backpacer ke Brunei Darussalam-Kota Kinabalu-Kuching, dan sudah tidak berkecimpung lagi di dunia jurnalis.
Ia bercerita, listrik masih menjadi barang eksklusif di Entikong. Penerangan di rumahnya di kala malam diperoleh dari hasil 'nyantol' listrik tetangga. Tidak tanggung-tanggung, Alex menjadi orang ke-enam yang numpang kabel listrik di rumah tetangga. Jika siang hari, rumahnya bergantung sepenuhnya pada penerangan sinar matahari.
Tampaknya, perubahan pembangunan dan kebutuhan dasar masyarakat di Entikong tidak pernah beranjak dari titik nol. Seperti tulisan nol kilometer pada patok batas yang terbuat dari semen, yang menjadi pembatas antar Negara di daerah perbatasan. Nol kilometer yang tak bergerak ke mana-mana. Nol kilometer yang hanya bisa memandang perkembangan zaman dengan diamnya. Nol kilometer yang terbungkam, dan dihuni oleh para anak bangsa di beranda rumah kita.
Jumat, 08 April 2011
Tut....Tut....Tut....(Keretaku Malang, Keretaku Sayang)....
Stasiun kereta api Lempuyangan, Yogyakarta, Kamis (4/3), sekitar pukul 20.00 wib, dipenuhi penumpang yang akan menuju Jakarta menggunakan kereta Gaya Baru Selatan. Kereta ekonomi untuk masyarakat kalangan bawah ini, murah. Tiketnya bertarif Rp. 26.000. Mungkin disebabkan harganya yang murah, peminat kereta ini tidaklah sedikit. Sampai-sampai, penumpang harus rela duduk di lantai.
Satu di antara penumpang yang melantai adalah saya. Sambil berusaha ramah bercakap ngarol-ngidul dengan penumpang yang duduk di samping, saya merasakan sedikit goyangan pada kereta, yang menandakan masinis mulai menyalakan mesin kereta api. Satu dari dua petugas yang berdiri dan menjaga di sisi kereta, memberi tanda berupa nyala senter kepada masinis. Tak lama, peluit dibunyikan. Ular besi itupun mulai merayap di rel, dengan bunyi mengernyit.
Kenyamanan menggunakan transportasi di Indonesia, sulit didapatkan. Contohnya, pengalaman saya bepergian menggunakan kereta api 'sejuta umat' seperti Gaya Baru Selatan. Penuh ujian kesabaran dan musti menahan amarah. Selama meliuk-liuk menempuh perjalanan ke tujuan, 'penguasa' ular besi yang terdiri atas pedagang makanan, buah-buahan, hingga asesoris, melancarkan aksinya. Jumlah mereka tidaklah sedikit. Mencapai ratusan orang, mulai perjalanan dari Yogyakarta hingga Jakarta.
Ramainya jumlah pedagang sebanding dengan keriuhan menawarkan dagangan. Sahutan seperti yang anget....yang anget....atau, mie-nya mas....atau, jahe, suhu, aqua, kopi pi kopi....atau, yang makan yang makan....nasi rames, telur, ayam....masih anget, mas....(yang entah dimana mereka 'anget'kan padahal selalu di dalam gerbong selama perjalanan), selalu memenuhi gendang telinga hingga saya susah memejamkan mata.
Belum lagi, para pedagang itu lalu lalang dari gerbong pertama menuju gerbong akhir, tanpa melihat langkah kaki mereka. Penumpang yang sudah terlelap, bisa terbangun karena terinjak atau terkena bakul dagangan. Hal seperti itu saya alami berkali-kali. Karena letak duduk saya berada di pembatas antar gerbong, baju yang saya kenakan penuh dengan cap debu sandal pedagang.
Padahal, saya membayangkan bisa menikmati perjalanan ke Jakarta menggunakan kereta ekonomi dengan santai. Gerbong hanya terisi penumpang yang bisa beristirahat tenang tanpa gangguan pedagang. Kalaupun ada yangg lapar atau haus, penumpang hanya memesan pada petugas kereta yang resmi sehingga lebih teratur. Sedapnya....(tanpa bermaksud untuk menyepelekan masalah kemiskinan di Indonesia dan susahnya mencari pekerjaan bagi masyarakat)
Hal lain yang juga mengesalkan adalah, banyaknya pedagang yang membuang sampah dengan santainya. Ketika ada penumpang yang membeli minuman kopi atau susu panas, bungkusan sachet terlihat bertebaran di dalam gerbong. Seharusnya, pedagang membawa kresek (kantong plastik) untuk menyimpan bungkus sachet yang mereka gunting. Kalau sudah tak bisa menampung bungkus sachet, kresek tersebut bisa dikumpulkan di bagian belakang gerbong, untuk selanjutnya dimusnahkan atau di daur ulang lagi. Kesadaran seperti itu harus disampaikan oleh manajemen kereta api kepada para pedagang. Agar, kereta api selalu terjaga bersih dan awet untuk digunakan. Tapi, masihkah ada kesadaran itu????....
Ah, keretaku malang, keretaku sayang....Sudah penat ia menahan beban dan tumpukan sampah. Padahal, kalau sarana transportasi kereta api kita rapi dan bersih, pasti akan sangat nyaman sekali selama perjalanan. Apalagi kalau diselingi dengan nyanyian :
naik kereta api....tut....tut....tut....
siapa hendak turut
ke bandung, surabaya
bolehlah naik dengan percuma
ayo temanku lekas naik
keretaku tak berhenti lama
cepat keretaku jalan....tut....tut....tut....
banyak penumpang turut
keretaku sudah penat
karena beban terlalu berat
di sinilah ada stasiun
penumpang semua turun
*****
Minggu, 03 April 2011
Mak, Nama Anakmu Ada di Istana Pak Beye
Satu permintaan pertemanan masuk di fesbuk saya pada 10 September 2010, lalu. Teman yang menunggu konfirmasi pertemanan itu adalah Sayli Zaturrohsyita. Ia juga menuliskan pesan pendek (saya tidak ingat sepenuhnya isi pesan tersebut karena dibaca sekilas dan tidak sengaja terhapus dari inbox) : “Salam kenal, saya sangat tersentuh dengan komentar anda tentang sepatu di buku Pak Beye dan Istananya….”. Saya tersenyum membaca isi pesan itu. Tanpa lama-lama, permintaan pertemanan tersebut saya setujui, sambil berucap dalam hati : “Ah, bercanda teman ini,”. Sepekan lebih saya melupakan tentang pesan itu.
Namun, empat hari lalu tiba-tiba saya teringat dan penasaran dengan isi pesan yang terhapus itu. Rasa penasaran membawa saya mencoba untuk menelusuri nama saya di rumah Mbah Google. Hasilnya, sekitar 4.040 temuan atas nama itu. Satu persatu temuan saya buka, hingga akhirnya mengklik http://66.7.221.114/~inibukuc/pdf/pakbeye.pdf. Saya baca perlahan baris demi baris untaian kata yang tertulis. Betapa terperanjatnya saya melihat pendahuluan halaman XXI yang ditulis Kang Pepih. Nama saya tertera di situ, lengkap dengan komentar yang menanggapi tulisan mas Wisnu Nugroho berjudul : Mencari Cesare Paccioti, yang saya torehkan 2008 lalu. Sambil senyum-senyum sendiri, tangan saya mengarahkan kursor laptop untuk mengintip kembali lapak mas Wisnu di Kompasiana. Membaca lagi komentar saya di ruang aslinya. Tanpa gambar diri, hanya siluet sesosok tubuh dalam kotak seperti pas foto. Tertera tanggal 22 November 2008 13.30, di atas komentar. Saya belum terdaftar sebagai anggota Kompasiana, ketika itu.
Tapi, benarkah isi pesan dan apa yang saya temukan di rumah Mbah Google?. Entahlah. Hingga saat ini saya belum mengelus kokohnya pahatan istana tersebut. Pak Beye juga belum mampir di rumah kebun, kontrakan saya di Tiga Desa, Bengkayang. Ah, saya masih penasaran. Tunggu saya turun ke kota, saya akan menyerbu toko buku dan mencari Pak Beye dan Istananya yang dibangun dari tangan terampil Wisnu Nugroho, yang juga sudah memaparkan politik dalam istana itu.
Jika memang benar ada nama saya di situ, saya akan pulang ke kampung halaman di Toho. Sesampainya di rumah, saya akan berteriak : “Mak, nama anakmu ada di istana Pak Beye. Belikan bukunya dong, mak. Pundi-pundi anakmu sedang kosong,”. Kwkwkwkw….
Sendratari Topeng Korea
Jangan pernah meremehkan kebudayaan!! Pesan inilah yang ingin disampaikan Negara Korea, yang membelalakkan mata negara Asia lainnya dengan menjadi tuan rumah perhelatan olah raga dunia Olimpiade tahun 1988 dan Piala Dunia 2002, bersama dengan Jepang. Negara yang berpenduduk 47.640.000 jiwa di akhir tahun 2002 ini, seakan melepaskan julukan tradisional “Kerajaan Kaum Pertapa” menjadi kerajaan yang maju dalam bidang teknologi, ekonomi, pendidikan tanpa mengesampingkan kebudayaan yang mereka miliki dan keindahan alam sebagai daya jual dalam menarik wisatawan untuk berkunjung ke negara yang berada di wilayah Asia Timur ini. Satu contoh yang unik dan menarik dalam bidang kesenian (kebudayaan) yang ada di Korea adalah tarian tradisional yang dikenal sebagai sendratari topeng.
Sejarah
Topeng dan tari topeng Korea berkembang di awal pra-sejarah, sedangkan sendratari topeng berkembang bersama masyarakat Choson (1392-1910) di bawah pimpinan Yi Song-gye yang dikenal sebagai raja T’aejo, yang memindahkan ibukota dari Song-ak (sekarang Kaesong) ke Hangyang (sekarang Seoul) pada tahun 1394. Tari tradisional Korea mengalami kemunduran selama masa kolonial Jepang, kemajuan industri dan urbanisasi rakyat Korea sampai tahun 1970-an. Di tahun 1980-an, rakyat Korea mulai menghidupkan kembali tarian ini. Dari 56 tarian asli, hanya beberapa tarian yang diketahui saat ini termasuk Cheoyongmu dari Dinasti Silla, Hakchum (tari burung bangau) dari Dinasti Goryeo dan Chunaengjeon (tari nyanyian kerajaan di musim semi) dari Dinasti Joseon.
Nama tradisional
Sendratari topeng mempunyai banyak jenis nama tradisional di Korea. Talchum, Sandae-nori, Ogwangdae-nori, Yayu dan Pyolshin-gut-nori, merupakan nama-nama sendratari topeng yang dipakai di wilayah yang berbeda. Seperti contoh, Sandae-nori adalah nama yang dipergunakan di Propinsi Kyonggi, tempat Seoul berada. Di bagian utara dari Korea dikenal Talchum. Di bagian selatan Korea orang menggunakan nama Yayu. Saat ini terdapat 14 sendratari topeng yang masih dipertunjukan.
Amilcar Cabral dalam pidato konfrensi Unesco di Paris, 3 – 7 Juli 1972 menyatakan “budaya berfungsi sebagai identitas dan kedalaman sebuah masyarakat untuk membuka persfektif-persfektif baru yang mengandung isi dan bentuk ekspresi menjadi instrumen informasi dan politik yang kuat bukan hanya untuk merebut kemerdekaan, namun juga dalam usaha yang lebih besar untuk menciptakan kemajuan”. Pernyataan di atas tercermin dalam kebudayaan Korea yang diwakili oleh sendratari topeng yang memadukan unsur musik, tari, cerita dan topeng.
Bahan topeng
Topeng sebagai ekspresi emosi, pandangan dan pemberontakan terhadap realita kehidupan mengenai status sosial dan kemerosotan akhlak masyarakat, sebagai kontradiksi antara tradisi dan modernisasi dalam melakukan refleksi diri yang mencerminkan optimisme, kreatifitas dan kebijaksanaan masyarakat Korea untuk menciptakan kehidupan harmonis dalam kehidupan sosial dan membentuk masyarakat yang kokoh dan bersatu padu dalam membangun bangsa.
Topeng yang dipergunakan dalam sendratari topeng dibuat dari kertas, kayu, kundur dan bulu binatang. Topeng dalam bahasa Korea disebut “T’al”, memiliki nama tradisonal lain seperti : Komyen, Kwangdae, Ch’orani, T’albak dan T’albagaji. Topeng tradisional terdiri atas topeng religius dan topeng artistik. Beberapa topeng religius melambangkan kesucian yang digunakan dalam sendratari topeng mengenai upacara persembahan pada kuil dan pengusiran roh-roh jahat, termasuk Pangsangshi yang sampai saat ini sering dilihat di awal prosesi pemakaman untuk mendoakan almarhum terhindar dari serangan jahat roh-roh bumi. Topeng artistik sering digunakan untuk sendratari topeng yang juga mempunyai fungsi religius.
Topeng Korea berbentuk padat, tetapi beberapa bagian dapat bergerak seperti bola mata pada topeng Pangsangshi, mulut dari topeng macan dan kedipan mata dari beberapa topeng. Topeng tidak hanya menggolongkan bagian yang diperankan tetapi juga menunjukan struktur tulang, tipe wajah Korea. Merah, hitam, putih dan warna dasar lain yang digunakan memudahkan pencirian karakter dari topeng. Warna tersebut juga menunjukkan karakter dari segi umur dan jenis kelamin. Topeng yang menampilkan orang tua adalah hitam, pria muda dengan warna merah dan wanita muda adalah putih. Secara tradisional, warna hitam sebagai simbol utara dan musim dingin, warna merah sebagai simbol selatan dan musim panas. Tari topeng dipertunjukan pada hari libur utama seperti tahun baru, hari ulang tahun Budha, Festival Tano dan Chusok juga dipertunjukan saat pesta negara, ritual memohon hujan dan ritual adat lainnya.
Tempat pertunjukkan
Secara tradisional, sendratari topeng Korea selalu dipertunjukkan di lapangan terbuka. Selama periode Koryo dan Choson, sendratari topeng dipertunjukan dengan improvisasi panggung yang dinamai Sandae atau di atas tempat yang tinggi sehingga para penonton yang duduk di bawah dapat melihat dengan jelas. Area berlayar yang digunakan sebagai ruang ganti berada di bagian kiri panggung dan para musisi duduk di sebelah kanan panggung. Tarian yang lincah diiringi oleh musik yang penuh semangat dari 3 alat gesek dan 6 alat musik tiup serta instrumen perkusi menjadi bagian utama dari sendratari topeng, yang akan terhenti melalui isyarat tangan pemain yang telah disepakati. Beberapa bagian tidak memiliki dialog tetapi dilakukan dengan pantomin. Para pemain sendratari topeng memiliki kelebihan dalam mengenakan topeng dan menyampaikan karakter mereka secara dramatis.
Seperti yang dituliskan Gustavo Gutierrez dalam bukunya : Theologie de le Liberation Perspective (1974), ‘membangun suatu masyarakat adil saat ini berarti keharusan untuk secara sadar dan aktif terlibat dalam perjuangan kelas yang terjadi nyata di depan mata kita”. Korea salah satu contoh dengan sendratari topengnya, membangun kehidupan sosial yang kokoh dengan melakukan refleksi diri sebagai ciri dan karakter dalam kehidupan tradisional maupun modern secara bersama-sama antara pemerintah dan masyarakat membangun bangsa dengan melestarikan karya seni tradisional yang berfungsi sebagai pemersatu bangsa juga aset bagi bangsa Korea untuk menarik wisatawan mancanegara berkunjung dan menikmati keindahan alam yang dimiliki Korea, sekaligus mendatangkan devisa negara untuk membantu perekonomian bangsa.
Penulis, dari berbagai sumber….Foto : wikipedia
Menanti Film Orangutan Sintang Ala National Geographic dan Microsoft
Mata dunia kembali melirik Indonesia. Kali ini giliran Kalimantan Barat, tepatnya Kabupaten Sintang, yang berhasil menarik minat dunia dengan pesona Orang utan (Pongo pygmaeus). Tak kepalang tanggung, Orang utan dari Sintang tersebut akan difilmkan oleh National Geographic yang didukung oleh Microsoft, setelah ajakan kesepakatan kerjasama oleh organisasi non profit dunia, Orang utan Outreach. Berita ini saya peroleh dari satu koran lokal di Kalimantan Barat, saat berteduh dari hujan di satu warung kopi di Kota Bengkayang (satu kabupaten di Kalbar), beberapa waktu lalu.
Jarak Kabupaten Sintang dari ibukota provinsi sekitar 395 kilometer. Lokasi pengambilan film dokumenter mengenai Orang utan tersebut dilakukan di sekitar rumah adat Dayak Sintang, Betang (Long house) Ensaid Panjang, yang berjarak sekitar 50 kilometer dari ibukota kabupaten. Kabarnya, lima orang anak dari beberapa negara di dunia, akan dipilih untuk menetap bersama masyarakat suku Dayak Sintang selama enam bulan, mulai Maret hingga September 2011. Lima anak tersebut akan melebur bersama anak-anak suku Dayak Sintang, belajar budaya setempat dan mengenali Orang utan di habitat alami yang ada di sana.
Betang Ensaid Panjang terletak di Desa yang bernama sama dengan rumah panjang tersebut, di Kecamatan Kelam Permai. Selain terdapat habitat alami Pongo pygmaeus, betang Ensaid Panjang juga terkenal dengan kerajinan kain tenun ikat Dayak yang sangat indah. Kain tenun ini dikerjakan secara manual dengan alat tenun yang masih tradisional. Bahan pewarna yang digunakan untuk kain ini ada yang alami, dari bahan pewarna tumbuh-tumbuhan di hutan sekitar Betang, dan pewarna kimia/buatan. Mengunjungi Betang Ensaid Panjang dapat dilakukan dengan mudah. Transportasi menggunakan kendaraan bermotor, dengan jalan darat yang beraspal.
Mata pencaharian utama penduduk di Ensaid Panjang adalah bertani dan menyadap karet. Menenun merupakan pekerjaan sampingan bagi perempuan Dayak setempat, yang biasanya dilakukan setelah menyelesaikan pekerjaan utama. Mereka juga membuat kerajinan tas, topi, tudung saji, tikar, berbahan rotan atau bambu.
Kealamian penduduk di Betang Ensaid Panjang, memang sangat menarik untuk diketahui. Kehidupan sosial dalam betang yang bisa menampung 100 orang, sangat rukun dan taat pada aturan adat istiadat yang berlaku. Termasuk, aturan untuk menjaga kealamian hutan di sekitar tempat tinggal mereka. Tak salah jika film dokumenter ala Microsoft dan National Geographic tersebut masuk dalam daftar film yang harus kita nantikan. Film ini rencananya akan diputar di bioskop dan masuk dalam 10 program National Geographic di televisi.
Sumber foto : dailymail.co.uk/i/pix
Kamis, 24 Maret 2011
Ophiuchus, Zodiak Baru ke-13
Bila selama ini kita hanya mengenal 12 zodiak yang melingkupi tanda kelahiran kita, maka sekarang tidak lagi. Ada rasi bintang baru yang ditambahkan dalam daftar zodiak kita, yakni Ophiuchus, yang sekaligus menambah jumlah zodiak menjadi 13.
Penambahan jumlah zodiak ini disampaikan astronom Parke Kunkle pada stasiun berita NBC, Rabu (12/1) lalu. Menurutnya, pelurusan bumi berubah dalam 3.000 tahun terakhir. Hal ini mendorong pertimbangan adanya zodiak baru yang masuk ke dalam zodiak standar.
Beberapa astronom percaya ada tanda Zodiac yang disebut Ophiuchus, yang jatuh antara Scorpio dan Sagitarius. Ophiuchus juga dikenal sebagai Serpentarius, pemegang ular atau naga.
Tanda zodiak ke-13, tidak seperti 12 tanda-tanda lain. Zodiak ini digambarkan dengan orang yang nyata. Pada abad 27 SM di Mesir Kuno tinggal seorang pria yang dikenal sebagai Imhotep. Orang Yunani kuno lebih mengenal Imphotep sebagai 'Aesclepius'. Ciri-ciri yang sama dengan nama yang berbeda.
Salah satu kemampuan Imhotep adalah penyembuhan. Berdasarkan cerita legenda, dialah yang memperkenalkan cara penyembuhan penyakit kepada umat manusia. Pengetahuannya tentang obat-obatan sangat luas. Bahkan, ia dikenal sebagai seorang yang ahli dalam meramu obat. Simbol ular yang masih digunakan hingga saat ini untuk melambangkan profesi medis, juga digunakan untuk mewakili Imhotep.
Uraian berikut ini adalah berkaitan dengan zodiak baru, Ophiuchus : banyak orang yang iri akan kesuksesan yang dicapainya sepanjang hidup, seorang pencari kebijaksanaan dan pengetahuan, dicemburui banyak orang, suka berkelana, flamboyan dalam berpakaian, menyukai warna-warna cerah, selalu diotoritaskan dalam segala hal, lebih condong berkerja sebagai arsitek besar atau pembangun, nomor 12 menandakan nomor keberuntungan orang yang dinaungi zodiak ini, kebanyakan orang yang lahir dalam zodiak ini memiliki keluarga besar, tapi meninggalkan rumah pada usia dini.
Berdasarkan zodiak yang sudah direvisi, tanggal beserta zodiak berikut akan berlaku:
Capricorn (Januari. 20 - Februari. 16)
Aquarius (Februari. 16 - Maret 11)
Pisces (Maret 11- April 18)
Aries (April 18- Mei 13)
Taurus (Mei 13- Juni 21)
Gemini (Juni 21- Juli 20)
Cancer (Juli 20- Agustus 10)
Leo (Agustus. 10- September. 16)
Virgo (September. 16- Oktober. 30)
Libra (Oktober. 30- November. 23)
Scorpio (November. 23- November. 29)
Ophiuchus (November. 29- Desember. 17)
Sagitarius (Desember. 17- Januari. 20)
Nah, apakah zodiak Anda saat ini????
Sumber foto : optcorp.com
Refreshing? ke Pasar Malam Saja
Semua orang, baik di pedesaan maupun di perkotaan, butuh hiburan untuk melepas penat dan kejenuhan akan rutinitas kerja sehari-hari. Apapun hiburannya, pasti akan membantu melemaskan syaraf-syaraf yang tegang akibat lelah. Tergantung bagaimana setiap individu menikmati hiburan tersebut.
Bagi masyarakat yang tinggal di perkotaan, mungkin banyak pilihan untuk memilih hiburan. Asal, menyiapkan banyak dana di dompet. Namun, bagi masyarakat di pedesaan, tak banyak hiburan yang bisa dipilih. Nongkrong di warung kopi, nonton panggung hiburan dangdutan acara pernikahan, atau berbondong-bondong ke pasar malam yang tak terjadwalkan.
Nah, hiburan yang bisa saya nikmati sebagai warga desa di Bengkayang pada Sabtu (15/1) malam, adalah pasar malam. Bersama tiga orang teman dan dana yang terbatas, hiburan rakyat itu dinikmati dengan sekantong gorengan dan kamera pocket pinjaman. Pasar malam yang dihelat di halaman kompi 641 Bengkayang, berisi bermacam permainan dan stan yang menjual aneka pernak-pernik. Permainan andalan yang ditawarkan penyelenggara pasar malam antara lain tong edan, rumah hantu, komedi putar, dan kereta api naga.
Rumah hantu menjadi incaran kami untuk menguji nyali. Suara mengerikan berupa ringkikan tawa yang biasanya diperdengarkan mahluk halus, sudah menggema dari corong pengeras suara. Antrean panjang pengunjung yang ingin menikmati kengerian di rumah hantu, sudah tampak di pintu masuk. Robekan karcis seharga 5.000 di tangan petugas jaga pintu masuk, menertibkan pengunjung dalam bentuk barisan memanjang. Dag dig dug jantung semakin kencang saat mendengar teriakan ngeri para pengunjung yang sedang berada di dalam rumah hantu. Bunyi-bunyian seng dan kawat yang dipukul, semakin memacu adrenalin untuk segera mengetahui seseram apakah hantu yang ada di dalam rumah buatan itu.
Giliran kamipun tiba. Usai melewati pintu masuk, kami harus menaiki anak tangga kayu dengan cahaya seadanya. Dinding triplek, susunan seng tak beraturan, lampu yang remang-remang, alunan musik yang menyeramkan, dan teriakan histeris kaget pengunjung, menjadi back sound musik melangkahkan kaki memasuki rumah hantu. Setelah menuruni anak tangga di ujung koridor ruangan, suasana semakin mencekam. Gelap mendominasi ruangan. Sesosok tubuh tampak berdiri di dinding triplek dalam gelap. Dalam hati sudah bertanya, apakah sosok itu hantu?.... Perlahan, kami melangkahkan kaki. Kamera pocket di tangan saya, sudah dalam kondisi siap dijepret, mengabadikan momen ngeri di rumah hantu. Langkah semakin dekat pada sosok itu. Kepala sosok bertubuh kurus tampak sedikit bergerak kea rah kami. Dan....jepret, lampu kamera menyala di ruang gelap. Sosok berdiri terlihat wujudnya. Ternyata, bukan sosok itu hantunya. Ia memberitahu arah yang harus kami tuju selanjutnya. Sialan, kami sudah bergidik ngeri, eh, ternyata bukan hantu.
Perasaan takut akhirnya harus ditahan sejenak. Lorong gelap itu buntu dan berbelok ke kiri. Sosok yang kami temui tadi mengatakan hantu berada di dalam ruangan gelap tepat saat kami belok kiri. Detak jantung semakin kencang. Bunyi jendela dari kawat berbunyi keras. Dinding triplek juga terdengar dipukul tangan. Perlahan, saat kaki sudah di depan ruangan yang diberitahukan, kami mengarahkan kepala ke samping kiri. Ada sesosok tubuh berbungkus kain putih. Sosok yang menyerupai pocong. Nafas kami tertahan. Sosok itu mendekat perlahan. Kami merasakan ketakutan. Suasana ngeri dengan ruangan penuh teriakan. Dan...."foto.... foto....," anak yang menjadi tokoh hantu dalam rumah itu, minta difoto. Saya dan teman, terdiam. Kami terheran dan geleng-geleng kepala dalam cahaya remang. Niat hati merasakan kengerian godaan mahluk halus, tak tercapai. Ternyata, anak yang menjadi tokoh hantu itu banci foto. Bahkan, tokoh hantu di ruang lain juga terkontaminasi minta difoto juga. Setelah kilau jepretan kamera menerangi ruangan, wajah tokoh hantu tidak mengerikan sama sekali.
Meski tak bisa merasakan sensasi kengerian yang amat sangat di rumah hantu, kami menikmati suasana pasar malam. Permainan lempar gelang menjadi incaran berikutnya. Modal 1.000 perak, kami bisa mencoba peruntungan empat gelang untuk dilemparkan pada kaleng minuman. Setelah lima kali menukar uang dengan gelang rotan, kami mencoba melempar satu persatu. Setelah dicoba, akhirnya ada satu gelang yang tertambat pada kaleng minuman. Lumayanlah, daripada tidak dapat apa-apa. Setelah berkeliling pasar malam, kamipun memutuskan pulang. Perut lapar dan rencana nungkrung di warung kopi sudah tertera dalam agenda mengisi hiburan kami. Meski sederhana dan murah meriah, acara hiburan ini bisa menghilangkan sedikit stress yang mendera. Oh iya, pasar malamnya masih berlangsung. Silakan datang untuk mencobanya. Siapa tahu Anda bisa rileks dan kembali segar untuk menjalani rutinitas Anda.
Rabu, 23 Maret 2011
Lelong dan Pembinaan Jalan Di Hadapan
Wilayah perbatasan. Entah mengapa, selalu menarik untuk dikunjungi. Selama ini ada dua wilayah perbatasan di Kalimantan Barat yang sudah pernah saya jajal. Yakni, pintu lintas batas di Entikong yang ada di Kabupaten Sanggau, dan gerbang Aruk-Sajingan yang ada di Kabupaten Sambas. Kali ini, saya bersama Fero, saudara sepupu, berencana menjajal perjalanan darat ke wilayah perbatasan Republik Indonesia-Malaysia di Jagoi Babang di Kabupaten Bengkayang, menggunakan sepeda motor.
Jagoi Babang merupakan daerah Indonesia yang berbatasan langsung dengan Serikin, Malaysia. Desa ini terletak di Kecamatan Seluas. Jarak tempuh dari Seluas menuju Jagoi Babang sekitar 20 kilometer. Bila kita melanjutkan perjalanan sekitar lima kilometer lagi, akan sampai di Serikin. Berdasarkan informasi yang saya dengar dari teman yang pernah pergi ke sana, banyak orang sekitar Bengkayang-Sambas yang mengangkut hasil kebunnya untuk dijual ke Serikin.
Penasaran akan kabar itu dan ingin melihat secara langsung, kami tancap gas usai sepupu saya pulang dari kantor, sekitar pukul 11.00 WIB. Kondisi jalan yang ditempuh bisa dikatakan dalam kondisi bagus. Selama perjalanan, beberapa kali kami singgah di warung kopi sekadar mampir melepas lelah. Mengingat rute perjalanan yang harus kami tempuh adalah Bengkayang-Ledo-Sanggau Ledo-Seluas-Jagoi Babang-Serikin. Semua jarak tempuh menghabiskan waktu sekitar 4 jam.
Tiba di Sanggau Ledo, kami mampir di satu tempat yang menjual lelong (baju bekas yang berasal dari Malaysia, Singapura, Cina, dan Korea). Kebetulan, Fero mencari jaket kulit. Meski lelong, jika kita teliti dan sabar dalam memilih, biasanya akan menemukan baju atau celana dengan merk terkenal seperti Levi's atau Nike. Tentunya, dengan harga yang amat sangat miring. Kisaran harga untuk lelong sekitar 10 ribu hingga 30 ribu. Jika kualitas A (masih terlihat baru dan bagus), paling mahal berkisar 50 ribu sampai 100 ribu.
Menurut Ibu Sri, penjual lelong, ia sudah membuka usahanya ditempat itu selama 15 tahun. Barang-barang ia beli per karung dari rekan bisnisnya yang ada di Serikin. Berapa rupiah yang dikeluarkan untuk mendapatkan baju lelong sebanyak satu karung, Bu Sri enggan memberitahu. Rahasia bisnis, ujarnya. Cuaca tiba-tiba hujan. Kami semakin giat mencari baju. Sepupu saya bilang "Intan biasanya ditemukan di antara kotoran", yang berarti, pasti ada baju yang bagus dari tumpukan baju bekas yang menggunung.
Puas mengubek-ubek kotak lelong, sepupu saya akhirnya mendapatkan kaos bertuliskan Reebok seharga 10 ribu. Tak dapat jaket, baju kaos pun jadi. Sedangkan saya, tidak dapat satupun. Mengingat hanya mengantarkan sepupu yang bernafsu mencari jaket kulit. Meski pencarian lelong sudah selesai, hujan masih belum reda. Rintik memang, tapi bisa mandi hujan. Padahal, jarak tempuh masih sekitar 1,5 jam lagi dan waktu sudah pukul 15.00 WIB. Kami berembug, tetap melanjutkan perjalanan dan hanya sampai Seluas saja. Karena, kami harus kembali lagi ke Bengkayang.
Aspal yang basah dan pemandangan hijau di sepanjang jalan, membuat kami berdecak kagum akan indahnya Indonesia. Gambar diri diabadikan menggunakan kamera yang sudah disiapkan. Namun, sekitar empat kilometer memasuki pasar Seluas, ada pemandangan yang menarik perhatian kami. Pemandangan berupa tulisan pada papan di pinggir jalan rusak yang diperbaiki. Tulisan berukuran besar yang bisa dibaca setiap pengguna jalan yang lewat. "PEMBINAAN JALAN DI HADAPAN".
Berdasarkan pengetahuan saya, tulisan peringatan tersebut menggunakan ejaan Malaysia yang berarti "Ada perbaikan jalan di depan". Benak saya penuh pertanyaan membaca tulisan itu.
1. Wilayah Malaysia masih sekitar sembilan kilometer lagi. Tapi, kok, ada warning bertuliskan ejaan Malaysia di tanah yang masih termasuk dalam kawasan Indonesia?
2. Apakah pemborong yang dapat kontrak tersebut orang Malaysia? Atau pekerja yang memperbaiki jalannya yang diambil dari Malaysia?
3. Jika pertanyaan kedua memang benar, apakah tidak ada pemborong dan pekerja asal Indonesia yang bisa menyelesaikan kerusakan jalan di 'rumahnya' sendiri?
4. Jika pertanyaan kedua dan ketiga benar, berapa duit yang dihabiskan untuk perbaikan jalan itu jika menggunakan Ringgit dalam membeli semen, batu, dan membayar pekerja jalan?
Waduh, kalau sudah begitu, alamat bahaya. Bisa-bisa, Malaysia kembali mengklaim daerah Seluas sebagai bagian dari daerahnya. Pekan ini saja, tersiar kabar jika Malaysia mengklaim Pulau Sumatera. Mau jadi apa Indonesia jika 'beranda rumahnya' secara perlahan mulai 'dicengkeram' oleh negara tetangga?
Selasa, 22 Maret 2011
Hari Seorang Lelaki
04.00 WIB
Ia terusik dari tidurnya, bangun. Mengucek mata perlahan, beranjak dari peraduannya menuju dapur. Secentong air diusapkan mencuci wajahnya. Setelah itu, ia mengasah pisau torehnya.
04.10 WIB
Kokok ayam mengiringi langkah. Tubuhnya tanpa jaket, menggigil. Menahan tamparan dingin angin. Kakinya berirama cepat menuju kebun karet.
04.30 WIB
Orang-orang masih terlelap, saat pisau menggores pohon karet pertamanya. Tangannya seolah mengukir karya indah berbentuk melingkar, di kulit luar pohon itu. Hasil karyanya seputih susu, ia tampung dengan cepat. Tapaknya berpindah dari satu pohon ke pohon lain. Hanya diam dan kabut pagi, menjadi temannya.
08.00 WIB
Sang istri mematut diri di depan cermin. Memoles bedak di pipi dan menyaput gincu di bibir. Rambutnya tersisir rapi. Tubuhnya penuh aroma parfum, pewangi diri.
Ia menuju rumah, dengan sekeping cetakan karet di pundak.
08.30 WIB
Istrinya mengambil sandal bagus yang tersimpan di lemari.
Ia menghapus keringat dengan baju seperti kain perca.
Istrinya menyeruput kopi dan roti kudapannya.
Ia mempercepat langkah, menahan lapar dan dahaga.
09.00 WIB
Istrinya tersenyum senang melihat suami datang.
Ia terdiam memandang istri sudah cantik jelita.
Penuh bahagia istri menunggu angkutan umum. Ke pasar, menjual karet hasil kebun mereka.
Ia menyeruput kopi yang dibuatnya. Merebus mi, mengisi perutnya.
Angkutan berhenti di depan rumah. Mengangkut karet dan istri tercinta.
Ia mengambil cangkul dan merelakan pundaknya. Bergegas, menuju sawah yang sudah menantinya.
10.40 WIB
Segepok duit di tangan istri. Belanja sekarang inginnya. Baju, tas, sandal, sepatu, menjadi incarannya.
Ayunan cangkulnya menghujam tanah. Diintip terik penuh amarah, cucuran peluh, dan wajah memerah.
13.30 WIB
Istri tiba di rumah. Membongkar belanja bawaannya, mengisi lemari bajunya. Setelah selesai, istri masak menu makan siangnya. Dihibur gosip murahan, istri menyantap makanan dengan lahapnya. Usai makan siangnya, istri rebah memanja mata.
Ia masih mencangkul sawahnya.
18.20 WIB
Istri menonton sinetron dengan anaknya.
Ia tiba di rumah penuh lelah.
Istri menyambut dingin kedatangan suaminya. Mengambil roti camilan nontonnya dan berkata : aku tak membeli apa-apa.
Ia diam. Membersihkan diri dan menghapus laparnya.
19.05
Istri tertawa ceria menonton program hiburan televisi.
Ia menyeret langkah dengan pelan menuju tempat tidur, melepas penatnya.
Senin, 21 Maret 2011
Ibu
Aku memandangnya
Wajah lelah, senyum pasrah, terbaring lunglai di alas tidurnya. Kedua tangannya mengapit sebuah Injil di dada. Berharap kekuatan menjalani sisa hidupnya. Keriput kulitnya dimakan tua. Menonjolkan urat-urat di sekujur tubuhnya.
Ruangan itu sunyi, hanya embusan nafas yang bermain di sana
Tangan kanannya bergerak ke samping, jatuh di alas kasur putih, dekat besi tepian ranjang. Kulirik wajahnya. Matanya terpejam dengan alunan nafas kedamaian.
Air putih di gelas dengan tutup dan alas sewarna, di atas meja, samping tempat tidurnya
Kini rambutnya memutih, seputih hatinya, polos tanpa dosa. Nyamuk kecil mengusik tidurnya, yang kutepis tanpa suara.
Piring kosong bekas makan malamnya, menemani gelas di atas meja
Kugenggam tangan kanannya, pelan. Menyalurkan kasih yang selalu diberinya. Kuusap tangan itu dengan pipiku, merasakan lembut cintanya. Kucium punggung tangan itu, menghirup aroma sayang yang dicurahkan seumur hidupnya.
Kantung infus menggantung di samping kiri tempat tidurnya
“Jangan menyerah, nak,” ujarnya selalu, saat aku sedang rapuh dan kecewa. Tangannya lalu merengkuhku dalam dekapan dadanya. Perlahan ia mengusap rambutku dan menghapus sisa air mata dengan tangannya.
Rangkaian bunga turut menyemarakkan meja
Sembilan bulan sepuluh hari aku berbagi nyawa dengannya. Makan apa yang dimakannya. Minum apa yang diminumnya. Ia tak pernah mengeluh, meski aku menjadi parasitnya. Bahkan, aku selalu dijaganya dan memberikan apa yang selalu kupinta.
Kalung dengan bandul salib menghiasi lehernya
Ia bertaruh dengan nyawa, saat aku meminta keluar dengan paksa. Ia kehabisan tenaga, saat aku menghirup aroma dunia. Peluh menjadi air mandinya, saat tangisku menunjukkan aku ada.
Cairan infus mengalir pelan ke jarum yang menyatu dengan lengannya
Mulutku berada di buah dadanya. Menghisap dengan rakus air tubuhnya. Mengambil sari kelenjar mamae, sambil dipeluknya. Tak pernah terlontar kata jera, walau mengering tubuhnya. “Cepat besar, nak,” ujarnya, penuh hangat dan cinta.
Aku masih memandanginya
Duduk di bangku kayu, persis di samping pembaringannya. Berjaga, agar tak ada yang mengusik tidurnya. Setetes kristal bening, menyapa tangannya. “Aku anakmu, ibu,” mulutku berkata, berharap ia tak lupa. Dan malam, menangis sedih di luar sana.
Dia Melamarku
Pukul 02.10 WIB.
Mataku terpejam.
Lampu ruangan nan temaram bertambah romantis dengan iringan lagu "if you're not the one" Daniel Bedingfield.
Meja bulat dengan aroma wangi bunga mawar dari vas bunga di tengah meja, berjejer dengan gelas piala berkaki jenjang.
Perlahan, tangan Darl meraih kedua tanganku.
Mengenggam dan mengelus lembut ibu jarinya di punggung tanganku.
Dengan mata tertutup, aku merasa mata Darl menatap ke arahku, seraya tersenyum manis.
Dadaku semakin bergemuruh penuh debar.
"Ren, maukah kau menikah denganku?" suara Darl terdengar sedikit bergetar.
Kata yang diucapkan Darl seakan menyentrum tubuhku dengan tegangan ribuan volt.
Aku membuka mataku dan terisak.
Aku meraih tas hitam yang tergolek dipangkuan.
Membuka kancingnya dan merogoh telepon genggam.
Tangisku mengalir semakin deras.
Jariku memencet tombol memanggil, setelah layarnya menampilkan nama Dara.
Nada panggilan itu diangkat.
"Hallo,"
"Ra, dia melamarku. Dia melamarku. Dia melamarku!" aku berseru sambil berurai air mata.
"Ren. Tenang, Ren. Tenang."
"Darl baru saja melamarku. Dia mau aku menjadi pendamping hidupnya,"
"Tapi...."
"Aku tak mau menolaknya, Ra. Aku mau. Aku mau!" ujarku dengan nada tinggi.
"Jangan siksa dirimu seperti itu, Ren. Tak usah lagi kau harapkan Darl. Buka saja lembaran baru," Dara terdengar ikut terisak.
"Tidak, Ra. Tidak. Aku tak mau melupakan Darl. Sedikitpun tidak, Ra. Tidak! Tidak!!!!"
Prang.
Pecahan kaca terdengar, saat Rena melemparkan telepon genggamnya dan beradu tepat dengan gelas piala.
Ia berdiri.
Kedua tangannya menyapu semua benda di atas meja.
Telapak tangan kanannya berdarah, teriris pecahan kaca.
Tanpa ia perdulikan, Rena menjatuhkan separuh tubuhnya terkulai di atas meja.
Ia menangis sejadi-jadinya.
*****
Dara meletakkan teleponnya saat bunyi nada 'Tut' berkepanjangan. Tubuhnya bersandar di dinding dan jatuh terduduk. Matanya yang berkaca, menatap lekat sebuah foto berbingkai kaca bertuliskan "best friend forever", di lemari buku. Foto bergambar tiga manusia yang tertawa bahagia, dengan seorang pria yang kedua pundaknya direbahi kepala wanita. Tiga manusia bernama Dara, Darl, dan Rena.
"Kau tega menyakiti hati Rena, Darl," ujar Dara berucap lirih sambil menundukkan kepala.
*****
Tumbuhan rindang menaungi taman sepi. Daun yang kering jatuh tertiup angin. DARL LEONNEL. 14 FEBRUARI 1980. 1 MARET 2011,Tertulis pada sebuah pancang kayu kecil bertanah merah yang masih basah, dalam taman sepi itu.
Langganan:
Postingan
(
Atom
)