a traveler, a backpacker, food lover

Jumat, 15 Juli 2011

Saguer, Sambutan Khas di Tamambaloh (1)

Tidak ada komentar :


Mobil berhenti di sebuah jembatan gantung yang hanya bisa dilewati dengan berjalan kaki, Selasa (28/6) malam. Satu persatu, langkah kaki menapak di jembatan yang melintasi Sungai Tamao dengan panjang sekitar 10 meter. Saat dilewati, jembatan bergoyang dan papan kayu berbunyi ‘kretak’. Beberapa utas kawat di kedua sisi jembatan terlihat ada yang putus. Dengan penerangan lampu senter, tertangkap tulisan ‘tahun 2010’ di sisi kiri tiang jembatan, tahun penyelesaian pembuatan jembatan gantung yang terlihat mulai rapuh itu.


Waktu menunjukkan sekitar pukul 21.15 malam. Setelah menghabiskan 22 jam perjalanan darat dari Pontianak menggunakan mobil (Pontianak-Kapuas Hulu = ± 800 km. Kapuas Hulu-Nanga Sungai = ± 175 km), masih setengah jam berjalan kaki lagi yang harus ditempuh dari jembatan gantung, agar tiba di Dusun Nanga Sungai, Desa Saujung Giling Manik, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalbar.



Bayangan pohon tinggi di kiri-kanan jalan setapak, terlihat saat tertimpa sinar senter. Jalan tanah yang ‘dibaluri’ batu sungai, berbagi tempat dengan suburnya rumput. Beruntung, setelah sekitar 10 menit menyusuri jalan, ‘rute’ jalan kaki ini dipersingkat dengan datangnya jemputan motor yang siap mengantar ke Dusun Nanga Sungai.

Dari boncengan sepeda motor, saya menangkap bunyi-bunyian tabuhan alat musik tradisional khas Dayak, mengalun dalam sunyi malam. Tak berapa jauh dari sebuah pertigaan jalan dusun, bunyi itu semakin jelas terdengar. Asalnya dari sebuah rumah kayu bertiang tinggi. Bersambung langsung dengan rumah itu, ada sebuah panggung dengan lantai papan beratap terpal biru. Tempat para penabuh alat musik tradisional dan masyarakat yang berkumpul di rumah M. Rayung, tepat di ujung jalan sisi kanan.

Turun dari boncengan motor, saya disambut oleh lima perempuan tua yang masing-masing memegang gelas plastik dan seorang pemuda yang memegang nampan berisi sebuah teko. Mereka bernyanyi sambil menghentak-hentakkan kaki kanan di lantai, pada dua kayu yang tiap ujungnya diberi penyanggah kayu kecil sehingga berbunyi ketika diinjak, mengikuti tabuhan alat musik tradisional. Nyanyian mereka semakin kencang saat kaki saya menaiki lima anak tangga.

Inyum jo olongan, ipatiling-tiling

Inyum jo olongan, ipatiling-tiling

Tawak’u ikausang jo. Inyum jo rio-rio

Inyum ilanggak-langgakan, ilanggak-langgakan

Na’an pande iteakang


Bila diartikan dalam Bahasa Indonesia, nyanyian tersebut memiliki arti : “minumlah dan tuangkan ke mulut, miringkan sedikit gelasmu. minumlah dan tuangkan ke mulut, miringkan sedikit gelasmu. Habiskanlah bagianmu. Minumlah cepat-cepat. Minumlah hingga bergelegak-gelegak, bergelegak-gelegak. Tidak boleh dimuntahkan”. Nyanyian berjudul Inyum Jo (Ipatiling-tiling) itu merupakan nyanyian masyarakat Dayak Tamambaloh untuk menyambut tamu atau keluarga yang datang di dusun mereka. (Nyanyian yang diciptakan oleh dua warga Tamambaloh, Yeremias dan Damianus, mulai dikenal luas sejak 1980-an. Sebelumnya, hanya seruan ‘hoiya..hoiya’ yang diiringi musik tradisional masyarakat Dayak Tamambaloh untuk menyambut para tamu). Nyanyian terhenti saat mereka mengelilingi saya, menyodorkan gelas ke mulut, meminum isi gelas hingga habis, dan tangan kanan mereka mengusap-usap bahu saya. Minuman berbentuk cairan putih berasa manis dan agak sedikit kelat. Menurut Rayung, minuman tersebut adalah Saguer, air pohon Enau (Arenga pinnata) yang disadap. Masyarakat luas mengenal minuman tersebut dengan sebutan tuak. Bila ditambah sedikit ragi, minuman bisa mengandung alkohol dan memabukkan.

Saguer merupakan minuman khas Dayak Tamambaloh untuk para tamu yang datang. Selain minuman, biasanya disajikan pula kue kalame kaur, kalame suman, dan lemang. Setelah sajian dinikmati, tamu akan diajak Mandaria’ (menari).

Dayak Tamambaloh

Sungai Embaloh merupakan anak Sungai Kapuas yang mengalir dari hulu pegunungan Kapuas Hulu sepanjang sekitar 168 kilometer. Di sepanjang aliran sungai ini, hidup penduduk asli suku Dayak Tamambaloh. Mereka menyebut diri dengan sebutan Banuaka’, yang berarti orang kita. Selain itu, suku dayak Tamambaloh tersebar juga di sepanjang aliran sungai Labian dan Palin.

Mata pencaharian suku Dayak Tamambaloh adalah berladang. Mereka juga sangat pandai menangkap ikan di sungai. Seperti menjala, menyelam, dan Manyarakap (mencari ikan dengan tangan di danau atau kali). Namun, jangan coba-coba untuk menangkap ikan menggunakan racun tuba. Hukuman adat akan diberikan kepada mereka yang berani meracun ikan dengan tuba. Ikan hasil tangkapan akan diolah masyarakat suku Dayak Tamambaloh menjadi ikan salai (ikan yang diasap), jukut (ikan yang difermentasi), kerupuk, dan kerupuk basah.

Sebagai pencari ikan di sungai, tidak mengherankan bila setiap warga mulai anak-anak hingga perempuan tua bisa mengayuh sampan. Karena, sampan merupakan sarana transportasi yang sering digunakan untuk mengangkut barang dari dusun ke pusat kecamatan.

Tanaman yang tumbuh mendominasi tanah di sepanjang aliran sungai Embaloh adalah Enau. Bahkan, dalam catatan harian seorang pastor dalam buku ‘Hidupku di Antara Suku Daya’ yang ditulis Herman Josef Van Hutten, masyarakat setempat sudah memanfaatkan air sadapan sebagai minuman, saat pastor asal Belanda itu tiba pertama kali di sana, sekitar 1913.

Tidak ada komentar :