Minggu, 08 Mei 2011
Entikong, Nol Kilometer yang Diam
Masih terbersit dalam ingatan saya tentang ucapan pemandu yang menemani rombongan jurnalis di Kalimantan Barat, yang dipilih untuk meliput Keluarga Berencana di Kuching, Sarawak, Malaysia, pada 7 Juni 2007, lalu. Ketika itu, bis berhenti di depan sebuah warung di pinggir jalan Entikong, sekitar 50 meter dari border (pintu) pos lintas batas Indonesia-Malaysia, pukul 04.27 WIB.Sambil menikmati sebatang rokok untuk menunggu pintu border yang dibuka pada pukul 05.00 WIB, raungan mesin genset dari belakang warung menjadi musik penghibur. Mata saya berkeliling memperhatikan sekitar. Banyak bangunan dari kayu yang terlihat baru berdempetan tak beraturan. Ruly, pemandu rombongan, yang menjadi teman ngobrol sambil mengepulkan asap di luar bis, berkata :
"Ini masih Indonesia. Kalau sudah masuk Malaysia, seperti ruang utama dan dapur," katanya, memberikan pengandaian.
Saya ketika itu masih belum tahu arti pengandaian tersebut. Ucapan itu hanya saya jawab dengan tawa kecil. Tidak ada gambaran sedikitpun tentang daerah Entikong yang berjarak sekitar 350 km dari Pontianak. Sebagai jurnalis baru yang ditugaskan dari kantor untuk ikut rombongan jurnalis dari semua media lokal ketika itu (saya terjun ke dunia jurnalis pertama kali pada Mei 2007), perjalanan tersebut merupakan perjalanan serba pertama bagi saya. Pertama kali melihat langsung daerah perbatasan dan pertama kali menginjakkan kaki ke Negara tetangga.
Tepat pukul 05.00 WIB, orang-orang yang menunggu di dekat border tampak bergerak. Pagar besi yang masih tertutup saat kami tiba, telah terbuka. Daun pagar bergerak perlahan ke arah dalam, ditarik petugas untuk memberikan jalan lebar kepada orang yang akan melakukan pengecekan paspor di kantor imigrasi Indonesia-Malaysia. Beberapa orang terlihat tak sabar dan saling dorong.
Saat urusan pengecekan paspor selesai, bis pariwisata yang mengangkut kami merayap pelan di jalanan Tebedu yang sudah termasuk dalam kawasan Malaysia. Perjalanan tanpa hambatan yang menggilas aspal licin. Sangat berbeda sekali dengan jalan aspal yang disusuri bis rombongan sekitar 7 jam dari Pontianak-Entikong. Penuh lobang di mana-mana. Saya jadi teringat ucapan Ruly tentang 'ruang utama dan dapur'. Saya mengangguk-angukkan kepala mengamini pengandaian tersebut.
Daerah perbatasan seperti tidak ditemukan pada peta Indonesia di meja kerja para wakil rakyat dan pemerintah. Kebutuhan dasar seperti listrik dan jalan yang baik kondisinya, masih belum dinikmati sepenuhnya oleh masyarakat di daerah perbatasan. Listrik yang selalu byar pet setiap saat, seolah hidup segan mati tak mau. Menurut Alex, seorang teman waktu sekolah menengah pertama yang menetap di Entikong, raungan genset menjadi music yang seolah tak pernah berhenti.
Pada 24 Oktober 2008, saya kembali mengunjungi Entikong. Ketika itu, saya mengunjungi pasar tradisional dan rumah susun sederhana untuk di sewa (Rusunawa). Permasalahan listrik yang saya jumpai ketika itu, masih seperti lagu setahun yang sudah lewat. Pedagang di pasar tradisional hanya bisa mendengarkan radio untuk mengusir kejenuhan mereka. Suplai listrik tak ubah seperti jelangkung yang nyala tak diundang, padam seenaknya. Sehingga, televisi tak bisa menjalankan tugasnya. Lebih parah di Rusunawa. Rumah yang diperuntukkan bagi para pekerja dan masyarakat berpenghasilan rendah di Entikong, tampak gelap gulita. Bangunan twin block yang diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 9 Juli 2007, tak berpenghuni. Cat hijau pada dindingnya terlihat sudah pudar. Bangunan tingkat lima yang tiap blok berjumlah 48 pintu dengan kamar tipe 21, tinggallah bangunan kosong bernilai Rp 9,63 Milyar.
Jikapun rumah warga sudah tersambung jaringan listrik, harus rela berbagi dengan warga lain yang kurang beruntung mendapatkan sambungan listrik dari PLN. Saya bertemu Alex pada 5 September 2010 lalu, saat melakukan perjalanan sebagai backpacer ke Brunei Darussalam-Kota Kinabalu-Kuching, dan sudah tidak berkecimpung lagi di dunia jurnalis.
Ia bercerita, listrik masih menjadi barang eksklusif di Entikong. Penerangan di rumahnya di kala malam diperoleh dari hasil 'nyantol' listrik tetangga. Tidak tanggung-tanggung, Alex menjadi orang ke-enam yang numpang kabel listrik di rumah tetangga. Jika siang hari, rumahnya bergantung sepenuhnya pada penerangan sinar matahari.
Tampaknya, perubahan pembangunan dan kebutuhan dasar masyarakat di Entikong tidak pernah beranjak dari titik nol. Seperti tulisan nol kilometer pada patok batas yang terbuat dari semen, yang menjadi pembatas antar Negara di daerah perbatasan. Nol kilometer yang tak bergerak ke mana-mana. Nol kilometer yang hanya bisa memandang perkembangan zaman dengan diamnya. Nol kilometer yang terbungkam, dan dihuni oleh para anak bangsa di beranda rumah kita.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar