Senin, 21 Maret 2011
Ibu
Aku memandangnya
Wajah lelah, senyum pasrah, terbaring lunglai di alas tidurnya. Kedua tangannya mengapit sebuah Injil di dada. Berharap kekuatan menjalani sisa hidupnya. Keriput kulitnya dimakan tua. Menonjolkan urat-urat di sekujur tubuhnya.
Ruangan itu sunyi, hanya embusan nafas yang bermain di sana
Tangan kanannya bergerak ke samping, jatuh di alas kasur putih, dekat besi tepian ranjang. Kulirik wajahnya. Matanya terpejam dengan alunan nafas kedamaian.
Air putih di gelas dengan tutup dan alas sewarna, di atas meja, samping tempat tidurnya
Kini rambutnya memutih, seputih hatinya, polos tanpa dosa. Nyamuk kecil mengusik tidurnya, yang kutepis tanpa suara.
Piring kosong bekas makan malamnya, menemani gelas di atas meja
Kugenggam tangan kanannya, pelan. Menyalurkan kasih yang selalu diberinya. Kuusap tangan itu dengan pipiku, merasakan lembut cintanya. Kucium punggung tangan itu, menghirup aroma sayang yang dicurahkan seumur hidupnya.
Kantung infus menggantung di samping kiri tempat tidurnya
“Jangan menyerah, nak,” ujarnya selalu, saat aku sedang rapuh dan kecewa. Tangannya lalu merengkuhku dalam dekapan dadanya. Perlahan ia mengusap rambutku dan menghapus sisa air mata dengan tangannya.
Rangkaian bunga turut menyemarakkan meja
Sembilan bulan sepuluh hari aku berbagi nyawa dengannya. Makan apa yang dimakannya. Minum apa yang diminumnya. Ia tak pernah mengeluh, meski aku menjadi parasitnya. Bahkan, aku selalu dijaganya dan memberikan apa yang selalu kupinta.
Kalung dengan bandul salib menghiasi lehernya
Ia bertaruh dengan nyawa, saat aku meminta keluar dengan paksa. Ia kehabisan tenaga, saat aku menghirup aroma dunia. Peluh menjadi air mandinya, saat tangisku menunjukkan aku ada.
Cairan infus mengalir pelan ke jarum yang menyatu dengan lengannya
Mulutku berada di buah dadanya. Menghisap dengan rakus air tubuhnya. Mengambil sari kelenjar mamae, sambil dipeluknya. Tak pernah terlontar kata jera, walau mengering tubuhnya. “Cepat besar, nak,” ujarnya, penuh hangat dan cinta.
Aku masih memandanginya
Duduk di bangku kayu, persis di samping pembaringannya. Berjaga, agar tak ada yang mengusik tidurnya. Setetes kristal bening, menyapa tangannya. “Aku anakmu, ibu,” mulutku berkata, berharap ia tak lupa. Dan malam, menangis sedih di luar sana.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar