Jumat, 22 Juni 2007
Menikmati Makanan ala Hongkong
Borneo Tribune, Pontianak
Bila ingin menikmati makanan Hongkong, Anda tidak perlu terbang jauh sampai ke negara yang menjadi salah satu tujuan bagi pencari kerja dari Indonesia ini. Arahkan saja kendaraan Anda menuju Jalan Hijas No. 8-10, Pontianak. Sebuah bangunan sisi kanan dari Jalan Gajahmada, yang tak seberapa jauh dari Jalan Tanjungpura, akan Anda temukan tulisan Warung Dim Sum pada spanduk putih di bagian depan bangunan.
Warung yang dibuka mulai 26 April 2007 ini, mempunyai menu pilihan yang siap menggoyang lidah Anda dengan harga terjangkau. Menurut Titin Agustina, Akuntan dan Administrasi warung Dim Sum, huruf S, M, L, dan XL yang tertera pada nota pemesanan, merupakan harga makanan yang di pesan. Harga ini berurutan adalah Rp. 6.900, Rp. 7.900, Rp. 8.900, dan Rp. 10.900. “Kami menerapkan sistem harga seperti di Singapura,” ujar Titin.
Warung Dim Sum juga halal, karena daging yang digunakan adalah daging udang dan ayam. Selain itu, setiap masakan yang dibuat tidak menggunakan vetcin. Setiap Minggunya, warung ini menawarkan menu baru berdasarkan permintaan dari customer.
Menurut Djaoe Sudiarto, Manajer Operasional, warung Dim Sum dibuka pukul 06.00 hingga 14.00 setiap harinya. Berdasarkan asalnya, makanan ini merupakan menu untuk sarapan.
Menu yang dipesan juga disajikan dengan anyaman bambu yang dibentuk bulat, dan disteam (dikukus-Red) pada steamer yang terletak di tengah ruangan. Bambu tersebut, ujar Titin, dipesan khusus dari Jakarta, karena belum ada pengerajin di Pontianak yang membuatnya.
Warung ini, menurut Djaoe, banyak didatangi oleh keluarga, terutama pada Minggu. Selain itu, pasangan muda-mudi dan para pebisnis, sering melakukan temu janji seraya menikmati santap siang. “Pernah pula dijadikan tempat untuk kumpul dan sekedar ngemil sebelum arisan.” ujar Djaoe memberitahu.
Menurut Agus Siswanto, Kepala Dapur, bakpau ayam merupakan menu yang paling lama pembuatannya. Hal ini dikarenakan bahan yang digunakan untuk pembungkus isi, mendapatkan perlakuan khusus. “Adonannya harus di simpan selama 20 jam, agar mengembang,” ujar Agus memberitahu. Bahan yang digunakan untuk mengolah makanan yang tertera di menu, sebagian berasal dari luar negeri. “Kualitas dan rasa makanan berbeda bila menggunakan bahan dari Indonesia.” Ujar Agus seraya tersenyum.
Agus merupakan salah satu dari 19 karyawan yang bekerja di warung Dim Sum. Keahlian untuk mengolah makanan Dim Sum ini, dipelajari Agus dari seorang shifu (ahli-Red) dari Singapura.
Menu yang dapat Anda nikmati di tempat ini adalah cheong fun udang. Makanan ini berbentuk mirip dengan resoles. Bedanya, cheong fun udang tidak digoreng, melainkan dikukus. Cheong fun udang disajikan dengan taburkan bawang goreng di atasnya, dan sedikit kuah sebagai saos. Kulit luar cheong fun udang yang terbuat dari tepung terasa manis di lidah dan lembut. Daging udang yang menjadi isi, tidak diberi bumbu apapun. Walaupun terasa tawar tanpa bumbu, Anda dapat merasakan sedapnya daging udang alami yang terasa empuk. Biaya yang Anda keluarkan untuk menu ini, cukup dengan Rp. 8.900.
Hakau juga dapat menjadi menu kesukaan anda. Bentuk visual dari makanan ini, bundar. Warna kulit pembungkus isi serupa dengan cheong fun udang. Rasa kulit luar tersebut manis. Daging udang sebagai isi hakau, berpadu dengan manisnya bengkoang yang dipotong kecil dengan bentuk dadu. Hakau dapat anda nikmati dengan harga yang sama seperti cheong fun udang.
Bakpau ayam ditawarkan warung Dim Sum, seharga Rp.7.900. Kulit luarnya yang berwarna putih, terasa lembut di mulut. Rasa manisnya juga dapat membuat Anda ketagihan untuk memesan lagi. Isi bakpau yang dibuat dari daging ayam, terasa lunak dan manis. Kombinasi rasa yang sempurna dari garam dan gula yang dicampur dengan daging saat perebusan awalnya, terasa sekali saat daging bertemu dengan lidah Anda.
Siomay terlihat berminyak di luar kulitnya. Lemak ayam yang menjadi isi siomay, meluber dan menembus kulit siomay saat dikukus. Kulit siomay dipesan khusus dengan bentuk yang sudah ditentukan sebelumnya. Pesanan ini, dibeli di salah satu toko di Pontianak. Kulit luar itu terasa kenyal, tetapi manis. Daging ayam sangat empuk, dan menjadi isi yang nikmat. Pemanis makanan, berupa mutiara berwarna merah di atasnya.
Stim beras ketan berharga Rp.10.900. Makanan ini, dibungkus dengan daun teratai yang diimpor langsung dari Malaysia. Daun teratai akan memberikan tambahan rasa nikmat dan gurih pada stim beras ketan. Daging ayam yang menjadi isi, bercampur dengan telur asin yang diambil kuningnya saja.
Cakar ayam dapat menjadi nikmat bila diolah dengan bumbu dan racikan yang sempurna. Cakar ayam yang sebelumnya direbus minimal selama sejam dengan kayu manis, akan meresapkan rasa kayu manis pada cakar ayam tersebut. Makanan berkuah dengan warna merah, dibuat dari beras ketan.
Semua makanan Dim Sum, di kukus selama tiga menit, dengan suhu yang telah di atur. Silahkan mencoba, dan Anda tak perlu membeli tiket ke Hongkong. *
Artis, RTM, Keramik
Laporan dari Kuching (5)
Lobi hotel merdeka sudah sepi pukul 01.30 waktu Malaysia pada Sabtu (9/6). hanya Azrip, Rasya, dan Amri, pelajar sekolah menengah asal Miri, menempati sofa empuk dekat hotel shop. seorang berkepala plontos, masuk ke hotel. Sosok Joe Flyzoo, pemusik rap asal Malaysia, menuju lift. “Too Phat?.” tanya saya pada Azrip dan rekannya, yang disambut dengan anggukan kepala. kesempatan ini saya gunakan untuk berfoto bersama dengan salah satu personil Too Phat itu. “Maliq tak ikot,” jawab Zoo, saat saya tanya rekannya.
Zoo tergesa dan tak mempunyai waktu untuk wawancara. “Nak hangout,” ujarnya memberi alasan. Langkahnya menuju lift. rasa kantuk saya tertahan lagi, saat Azrip mengatakan ada pemusik lagi yang menginap di hotel yang sama.
Tak berapa lama, personil Gerhan Ska Cinta, tampak masuk ke hotel. “abes show di AB theatre,” ujar Eddy, sang vokalis. Grup musik ini telah mengeluarkan 2 album, Boss-Sound, The New Otentik, dengan mengandalkan musik dan lirik. “satu lagi indipendent album,” Eddy memberitahu. perbincangan dengan Eddy terputus, saat mereka dijemput untuk private party setelah show. Saya pun, menuju kamar hotel untuk beristirahat.
Pukul 08.00 waktu Malaysia, menikmati sarapan pagi di Aurora Court Hotel Merdeka, dengan menu segelas kopi yang ditambah sedikit cream, bihun goreng, daging ayam yang dimasak dengan bumbu kari, dan salad dengan guyuran mayonais. Ruang makan bebas merokok, menjadi tempat pilihan untuk menikmati santapan tersebut. Selesai menikmati sarapan, saya mengambil tas di kamar, karena bis tour travel telah menunggu di pinggir jalan, depan hotel.
Tempat kunjungan yang dilakukan rombongan IPKB adalah Radio dan Televisyen Malaysia (RTM) yang berada di Jalan P. Ramlee 93614 Kuching, Sarawak. Sesuai dengan nama jalannya, kantor RTM dipenuhi pula dengan foto-foto dari film yang pernah diperankan oleh aktor yang menjadi legenda di Malaysia. Suasana di RTM sepi, karena hari Sabtu dan Minggu, merupakan hari libur. “harap maaf bile name-name tak dikenali. Sudah biase kat sini?.” ujar Muksin, Pengarah Taklimat RTM, dengan ramah saat rombongan berkumpul di ruang studio RTM. Jawaban yang diberikan pun beragam, banyak yang baru sekali.
RTM merupakan perubahan nama yang ketiga, setelah Radio Sarawak dan Radio Malaysia Sarawak. Perubahan ini dilakukan pada 31 Agustus 1975, sekaligus memperkenalkan siaran televisi hitam-putih, di Sarawak. Saat ini, RTM mempunyai siaran secara nasional, provinsi, dan kota provinsi. Terdapat beberapa bahasa yang digunakan dalam siaran RTM, antara lain Inggris, Cina, Iban, Bidayuh, Kenyan, Bisaya, Lun Bawang, Melayu.
Menurut Hajah Siam Aji Ali, Pengarah Jabatan Penyiaran Kawasan RTM, pernah ada kerjasama yang dilakukan dengan Indonesia. Akan tetapi, terputus pada 2004. Kerjasama ini meliputi kerjasama program acara gendang berpantun yang dilakukan melalui radio. “Diharapkan kerjasama ini dapat dilakukan lagi secepatnya.” lanjutnya.
Direksi Radio dan Televisyen yang berada di bawah naungan RTM, berada di kantor yang sama, tetapi terpisahkan ruangannya. “Walaupun sebumbung, tapi tak sebilik,” ujar Siam Aji Ali memberitahu.
Acara dilanjutkan dengan melihat ruang siaran langsung untuk televisi dan radio. siaran secara langsung juga dilakukan di Sarawak FM, oleh Sudirman Bonaparte, Ketua Radio Republik Indonesia, Fauzan, Kepala BKKBN, dan Kasmiati, BKKBN pusat.
Pukul 11.00 waktu Malaysia, rombongan IPKB meninggalkan kantor RTM, dan melanjutkan perjalanan ke tempat pengerajin keramik.
Yong Huat Heng Easternware Factory, merupakan perusahaan keluarga yang telah dijalankan secara turun temurun. Perusahaan ini bergerak dalam bidang pembuatan pasu (keramik-red). Menurut Ang Yoen Teck, pemilik perusahaan, kerajinan ini mulai dijalankan pada 1962. Saat ini, perusahaan mempekerjakan 13 orang.
Setiap harinya, menurut Ang, pekerja dapat menghasilkan 40 keramik dalam berbagai bentuk. Penjualan hasil keramik Yong Huat Heng telah di ekspor ke Eropa. Sebanyak 8 hingga 20 kontainer keramik yang diekspor setiap bulannya. Penghasilan yang diperoleh dari hasil ekspor ini, mencapai 30.000 RM.
Ang juga menunjukkan proses pembuatan keramik mulai dari pemisahan tanah, pengepresan, pembentukan tabung, pembentukan, pengukiran, pewarnaan dan pemanasan keramik.
kunjungan berakhir dengan pemberian potongan sebesar 50% untuk setiap keramik yang dibeli oleh rombongan IPKB. Acara kunjungan dari perjalanan rombongan IPKB, berakhir dan kembali ke Pontianak. (habis) □
Lobi hotel merdeka sudah sepi pukul 01.30 waktu Malaysia pada Sabtu (9/6). hanya Azrip, Rasya, dan Amri, pelajar sekolah menengah asal Miri, menempati sofa empuk dekat hotel shop. seorang berkepala plontos, masuk ke hotel. Sosok Joe Flyzoo, pemusik rap asal Malaysia, menuju lift. “Too Phat?.” tanya saya pada Azrip dan rekannya, yang disambut dengan anggukan kepala. kesempatan ini saya gunakan untuk berfoto bersama dengan salah satu personil Too Phat itu. “Maliq tak ikot,” jawab Zoo, saat saya tanya rekannya.
Zoo tergesa dan tak mempunyai waktu untuk wawancara. “Nak hangout,” ujarnya memberi alasan. Langkahnya menuju lift. rasa kantuk saya tertahan lagi, saat Azrip mengatakan ada pemusik lagi yang menginap di hotel yang sama.
Tak berapa lama, personil Gerhan Ska Cinta, tampak masuk ke hotel. “abes show di AB theatre,” ujar Eddy, sang vokalis. Grup musik ini telah mengeluarkan 2 album, Boss-Sound, The New Otentik, dengan mengandalkan musik dan lirik. “satu lagi indipendent album,” Eddy memberitahu. perbincangan dengan Eddy terputus, saat mereka dijemput untuk private party setelah show. Saya pun, menuju kamar hotel untuk beristirahat.
Pukul 08.00 waktu Malaysia, menikmati sarapan pagi di Aurora Court Hotel Merdeka, dengan menu segelas kopi yang ditambah sedikit cream, bihun goreng, daging ayam yang dimasak dengan bumbu kari, dan salad dengan guyuran mayonais. Ruang makan bebas merokok, menjadi tempat pilihan untuk menikmati santapan tersebut. Selesai menikmati sarapan, saya mengambil tas di kamar, karena bis tour travel telah menunggu di pinggir jalan, depan hotel.
Tempat kunjungan yang dilakukan rombongan IPKB adalah Radio dan Televisyen Malaysia (RTM) yang berada di Jalan P. Ramlee 93614 Kuching, Sarawak. Sesuai dengan nama jalannya, kantor RTM dipenuhi pula dengan foto-foto dari film yang pernah diperankan oleh aktor yang menjadi legenda di Malaysia. Suasana di RTM sepi, karena hari Sabtu dan Minggu, merupakan hari libur. “harap maaf bile name-name tak dikenali. Sudah biase kat sini?.” ujar Muksin, Pengarah Taklimat RTM, dengan ramah saat rombongan berkumpul di ruang studio RTM. Jawaban yang diberikan pun beragam, banyak yang baru sekali.
RTM merupakan perubahan nama yang ketiga, setelah Radio Sarawak dan Radio Malaysia Sarawak. Perubahan ini dilakukan pada 31 Agustus 1975, sekaligus memperkenalkan siaran televisi hitam-putih, di Sarawak. Saat ini, RTM mempunyai siaran secara nasional, provinsi, dan kota provinsi. Terdapat beberapa bahasa yang digunakan dalam siaran RTM, antara lain Inggris, Cina, Iban, Bidayuh, Kenyan, Bisaya, Lun Bawang, Melayu.
Menurut Hajah Siam Aji Ali, Pengarah Jabatan Penyiaran Kawasan RTM, pernah ada kerjasama yang dilakukan dengan Indonesia. Akan tetapi, terputus pada 2004. Kerjasama ini meliputi kerjasama program acara gendang berpantun yang dilakukan melalui radio. “Diharapkan kerjasama ini dapat dilakukan lagi secepatnya.” lanjutnya.
Direksi Radio dan Televisyen yang berada di bawah naungan RTM, berada di kantor yang sama, tetapi terpisahkan ruangannya. “Walaupun sebumbung, tapi tak sebilik,” ujar Siam Aji Ali memberitahu.
Acara dilanjutkan dengan melihat ruang siaran langsung untuk televisi dan radio. siaran secara langsung juga dilakukan di Sarawak FM, oleh Sudirman Bonaparte, Ketua Radio Republik Indonesia, Fauzan, Kepala BKKBN, dan Kasmiati, BKKBN pusat.
Pukul 11.00 waktu Malaysia, rombongan IPKB meninggalkan kantor RTM, dan melanjutkan perjalanan ke tempat pengerajin keramik.
Yong Huat Heng Easternware Factory, merupakan perusahaan keluarga yang telah dijalankan secara turun temurun. Perusahaan ini bergerak dalam bidang pembuatan pasu (keramik-red). Menurut Ang Yoen Teck, pemilik perusahaan, kerajinan ini mulai dijalankan pada 1962. Saat ini, perusahaan mempekerjakan 13 orang.
Setiap harinya, menurut Ang, pekerja dapat menghasilkan 40 keramik dalam berbagai bentuk. Penjualan hasil keramik Yong Huat Heng telah di ekspor ke Eropa. Sebanyak 8 hingga 20 kontainer keramik yang diekspor setiap bulannya. Penghasilan yang diperoleh dari hasil ekspor ini, mencapai 30.000 RM.
Ang juga menunjukkan proses pembuatan keramik mulai dari pemisahan tanah, pengepresan, pembentukan tabung, pembentukan, pengukiran, pewarnaan dan pemanasan keramik.
kunjungan berakhir dengan pemberian potongan sebesar 50% untuk setiap keramik yang dibeli oleh rombongan IPKB. Acara kunjungan dari perjalanan rombongan IPKB, berakhir dan kembali ke Pontianak. (habis) □
Serenti, Rehabilitasi Para Pecandu di Sarawak
catatan perjalanan (4)
Perjalanan rombongan Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) ke pusat rehabilitasi narkoba Serenti, salah tujuan. Bis berhenti di Kantor Agensi Dadah Kebangsaan Negeri Sarawak Kementrian Dalam Negeri, Lot 123, Jalan Sri Ong Kee Hui, 93300 Kuching.
“Kat sini hanye office pejabat induk. Rawatan dan pemulihan antidadah di Serenti,” ujar Michael Nyelang, Penolong Pengarah 1 yang menerima rombongan di bilik mesyuarat (ruang pertemuan, red).
Kebingungan tampak dari wajah pegawai pejabat induk. Ketidaksiapan menyambut kedatangan rombongan IPKB yang tiba-tiba, sedikit membuat mereka sibuk. “Kami tak ade buat apapun persiapan,” ujarnya lagi.
Pegawai agensi yang ada di kantor tersebut berjumlah 52 orang. “Sebanyak 70 perseratusnye, sukarela.” Michael memberitahu. “Tapi baeknye, pergi kat Serenti sahaje,” ujar Michael lagi. Rombongan IPKB melanjutkan perjalanan, setelah melewati gerbang yang bertuliskan ‘bersama membasmi dadah’ dan menuruni enam anak tangga.
30 menit perjalanan dari kantor agensi, bus yang ditumpangi tiba di Pusat Serenti Kuching. Tempat agensi antidadah kebangsaan Malaysia, Kementrian Keselamatan Dalam Negeri, Km.10, Jalan Penrissen, 93250 Kuching, Sarawak. Tempat rehabilitasi bagi para pecandu ini, merupakan tempat isolasi dan tertutup. “Parents bise datang liat pun,” ujar Mohammad Noor, Komandan Pusat Serenti.
Konsep pemulihan yang dilakukan di tempat ini merupakan pemulihan secara komuniti. Pemulihan ini merupakan peran serta seluruh penghuni Serenti, yang saling membantu satu dengan yang lain memberikan semangat untuk sembuh. Program yang diterapkan merupakan program yang diadopsi dari Federal Amerika, tetapi dipakai dengan situasi dan kondisi yang ada di Malaysia.
Para penghuni yang menetap di Serenti, lanjut Noor, merupakan para pecandu yang ditangkap oleh PDRM, aduan dari pihak keluarga. “Dadah is number one enemy in Malaysia,” ujar Noor. (Dadah adalah musuh nomor satu di Malaysia).
Menurut Meslina Haji Ishak, Ketua Penolong Pegawai Antidadah, Sarawak masih terkawal dibandingkan Semenanjung Malaka. Sabu merupakan candu paling tinggi yang digunakan oleh para remaja Malaysia. Berturut-turut di bawahnya adalah ganja dan obat batuk. Obat batuk yang dilarang penggunaannya, lanjut Meslina, adalah obat batuk yang mengandung codin, yang efeknya menyamai opium. Tren yang terjadi di Malaysia untuk kasus ini adalah pada 1996 dan 1997. Kasus penggunaan narkoba di Sarawak tahun 2006, sebanyak 712 kasus. “This year, from January to March, two hundred and ten case,” Meslina memberitahu. (Tahun ini, dari Januari sampai Maret, 210 kasus).
Pencandu narkoba di Sarawak 80 persen berada di bawah umur 20 tahun. Biaya rehabilitasi bagi para penghuninya, seluruhnya ditanggung oleh kerajaan Malaysia selama dua tahun.
Ketika ditanya mengenai ada atau tidak pecandu yang ditangkap lagi, Meslina berujar bahwa hal tersebut tidak pernah terjadi. Para penghuni, lanjutnya, akan jera dan tidak akan mencandu lagi. “Bile we jumpe lagi, tahan kat polis.” lanjutnya.
Zabit Bin Supining (24), sudah 3 bulan menjadi terapis di Serenti. Menurutnya, terapi yang dilakukan berupa konseling. Konseling ini terbagi menjadi konseling kelompok, keluarga dan individu. (bersambung) □
Perjalanan rombongan Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) ke pusat rehabilitasi narkoba Serenti, salah tujuan. Bis berhenti di Kantor Agensi Dadah Kebangsaan Negeri Sarawak Kementrian Dalam Negeri, Lot 123, Jalan Sri Ong Kee Hui, 93300 Kuching.
“Kat sini hanye office pejabat induk. Rawatan dan pemulihan antidadah di Serenti,” ujar Michael Nyelang, Penolong Pengarah 1 yang menerima rombongan di bilik mesyuarat (ruang pertemuan, red).
Kebingungan tampak dari wajah pegawai pejabat induk. Ketidaksiapan menyambut kedatangan rombongan IPKB yang tiba-tiba, sedikit membuat mereka sibuk. “Kami tak ade buat apapun persiapan,” ujarnya lagi.
Pegawai agensi yang ada di kantor tersebut berjumlah 52 orang. “Sebanyak 70 perseratusnye, sukarela.” Michael memberitahu. “Tapi baeknye, pergi kat Serenti sahaje,” ujar Michael lagi. Rombongan IPKB melanjutkan perjalanan, setelah melewati gerbang yang bertuliskan ‘bersama membasmi dadah’ dan menuruni enam anak tangga.
30 menit perjalanan dari kantor agensi, bus yang ditumpangi tiba di Pusat Serenti Kuching. Tempat agensi antidadah kebangsaan Malaysia, Kementrian Keselamatan Dalam Negeri, Km.10, Jalan Penrissen, 93250 Kuching, Sarawak. Tempat rehabilitasi bagi para pecandu ini, merupakan tempat isolasi dan tertutup. “Parents bise datang liat pun,” ujar Mohammad Noor, Komandan Pusat Serenti.
Konsep pemulihan yang dilakukan di tempat ini merupakan pemulihan secara komuniti. Pemulihan ini merupakan peran serta seluruh penghuni Serenti, yang saling membantu satu dengan yang lain memberikan semangat untuk sembuh. Program yang diterapkan merupakan program yang diadopsi dari Federal Amerika, tetapi dipakai dengan situasi dan kondisi yang ada di Malaysia.
Para penghuni yang menetap di Serenti, lanjut Noor, merupakan para pecandu yang ditangkap oleh PDRM, aduan dari pihak keluarga. “Dadah is number one enemy in Malaysia,” ujar Noor. (Dadah adalah musuh nomor satu di Malaysia).
Menurut Meslina Haji Ishak, Ketua Penolong Pegawai Antidadah, Sarawak masih terkawal dibandingkan Semenanjung Malaka. Sabu merupakan candu paling tinggi yang digunakan oleh para remaja Malaysia. Berturut-turut di bawahnya adalah ganja dan obat batuk. Obat batuk yang dilarang penggunaannya, lanjut Meslina, adalah obat batuk yang mengandung codin, yang efeknya menyamai opium. Tren yang terjadi di Malaysia untuk kasus ini adalah pada 1996 dan 1997. Kasus penggunaan narkoba di Sarawak tahun 2006, sebanyak 712 kasus. “This year, from January to March, two hundred and ten case,” Meslina memberitahu. (Tahun ini, dari Januari sampai Maret, 210 kasus).
Pencandu narkoba di Sarawak 80 persen berada di bawah umur 20 tahun. Biaya rehabilitasi bagi para penghuninya, seluruhnya ditanggung oleh kerajaan Malaysia selama dua tahun.
Ketika ditanya mengenai ada atau tidak pecandu yang ditangkap lagi, Meslina berujar bahwa hal tersebut tidak pernah terjadi. Para penghuni, lanjutnya, akan jera dan tidak akan mencandu lagi. “Bile we jumpe lagi, tahan kat polis.” lanjutnya.
Zabit Bin Supining (24), sudah 3 bulan menjadi terapis di Serenti. Menurutnya, terapi yang dilakukan berupa konseling. Konseling ini terbagi menjadi konseling kelompok, keluarga dan individu. (bersambung) □
Cat Muzium Rahasia Kuching
catatan perjalanan (3)
Unicatay travel and tour SDN.BHD bernomor kendaraan QKV 2929 mengantarkan rombongan untuk check in di Merdeka Hotel, Jalan Tun Abang Haji Openg, 93000 Kuching setelah bertemu dengan konsulat RI.
“Berkumpul di lobby hotel jam dua setengah petang,” ujar Then Kim Hin, tour guide selama perjalanan sebelum rombongan Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) berhamburan keluar menuju meja resepsionis.
Pukul 12.05 waktu Malaysia rombongan mengantre untuk mendapatkan pembagian kunci kamar yang diatur oleh ketua rombongan. Saat nama peserta dipanggil satu persatu meninggalkan lobby menuju kamarnya masing-masing.
Kunci kamar hotel menyerupai kartu elektronik dengan sistem gesek. Kunci tersebut juga digunakan dalam lift yang digunakan untuk mencapai lantai kamar yang telah ditentukan. Kamar 412 merupakan tempat peraduan saya selama dua hari di Kuching. Kamar itu berukuran 6x4 meter. Dua dipan single bad dibatasi dengan sebuah meja kecil dengan sambungan radio pada lacinya yang akan hidup otomatis bersama dengan nyala lampu. Sebuah telepon, jam weker, dan buku daftar pengguna telepon di Kuching berada di atas meja tersebut.
1x1 meter dari ruangan kamar sisi kanan digunakan untuk lemari pakaian dari kayu furniture. Di samping lemari bersandar sebuah meja kayu dengan tinggi setengah meter, yang digunakan untuk menempatkan sebuah televisi 17 inch. Di belakang televisi, bagian tengah dinding kamar berwarna krem tergantung dua buah foto berpigura yang disusun bertingkat. Rukshaw 1950 merupakan foto angkutan lama seperti becak dua roda yang ditarik menggunakan tangan yang diletakkan di bagian atas. Main Bazaar 1948, merupakan foto pasar lama, tepat di bawah foto Rukshaw.
Sebuah foto lainnya, terletak di bagian tengah dinding kamar sisi kiri. Gambar sebuah jalan dengan bangunan tua, berjudul Khoo Hun Yeang Street pada bawah foto. Di sudut ruangan terdapat sebuah lampu duduk semeter. Di sampingnya, sebuah meja dengan alas karpet, sama seperti karpet lantai.
Pintu pembatas antara kamar dan kamar mandi menempel sebuah kaca panjang. Kamar mandi dengan shower dalam ruang berukuran 1x1 meter dengan pintu yang terbuat dari bahan kaca.
Waktu selama dua jam, saya gunakan untuk membersihkan diri dan beristirahat sejenak. Kepenatan sangat terasa, karena perjalanan lebih dari 12 jam berada di bis. Pukul 14.00 waktu Malaysia, saya berada di lobby hotel menunggu rombongan IPKB lainnya.
Pukul 14.30 perjalanan rombongan IPKB selanjutnya menuju Cat Muzium yang berlokasi tepat di lantai bawah dewan Bandaraya Kuching Utara, Bukit Siol, Jalan Semariang, Petra Jaya. Perjalanan ke museum dari hotel melewati jembatan panjang yang menghubungkan daerah Petra Jaya dan Kuching Selatan. Kedua daerah ini dibatasi oleh sungai Sarawak sepanjang 130 km yang bagian hilirnya langsung menuju Laut Cina Selatan. “Bangunan dengan atap seperti kubah di sane merupakan dewan bandaraya Kuching Utare,” ujar Then dengan logat khas Malaysia memberitahu rombongan saat melewati jembatan.
30 menit perjalanan dihabiskan untuk menuju tempat tersebut. Lokasi yang berada di atas bukit menampilkan pemandangan indah kota Kuching dari atas.
Cat muzium terdiri atas empat bagian galeri. Galeri A menampilkan patung kuching aneka bentuk yang dibuat dari bahan keramik. Galeri B gambar dan keterangan macam-macam kucing. Galeri C berisi cerita kucing dari etnis Melayu, Cina, dan Jepang. Galeri D berisi rak-rak yang berisi macam-macam kucing yang telah diawetkan. Galeri kucing menurut Shareena Mohammad Sallen, pengurus Cat Muzium pertama kali dibangun di Sarawak pada 1987. “This muzium dipindahkan kat sini in nineteen ninety three.” ujar Shareen memberitahu.
Menurut Shareen, galeri kucing yang dipamerkan sebagian berasal dari galeri yang lama. Lagipula, museum ini merupakan satu-satunya museum kucing terlengkap di dunia. Koleksi yang ada merupakan awetan asli kucing yang menghuni pulau Borneo. “Tak jual lah,” ujarnya.
Banyak negara yang tertarik untuk memiliki koleksi tersebut dengan cara membeli. “This one, nak dibeli UK beberape ratos ribu pound, two year ago.” Shareen menerangkan sambil menunjuk awetan kucing merah (Bay cat) yang saat ini keberadaannya hampir punah.
Sejarah mengenai kota Kuching juga tertulis dan dipamerkan di sisi kiri bangunan.
Rombongan selanjutnya diajak menuju lantai atas bangunan menggunakan lift. Lantai ketujuh dari bangunan tersebut sebelumnya melewati kantor Walikota Kuching Utara yang ruangannya tidak dapat dilihat di lantai empat.
Ruangan bulat di lantai tujuh itu biasanya digunakan untuk acara resmi walikota dan pihak kerajaan. Langit-langit ruangan dihiasi dengan kain berwarna kuning, hitam, dan merah, yang disusun berselang-seling. Dari lantai tujuh ini pula, gunung Sentubong dan gunung Sejinjang makin terlihat indah, dengan pulau kera yang berada di tengahnya. (bersambung)
Unicatay travel and tour SDN.BHD bernomor kendaraan QKV 2929 mengantarkan rombongan untuk check in di Merdeka Hotel, Jalan Tun Abang Haji Openg, 93000 Kuching setelah bertemu dengan konsulat RI.
“Berkumpul di lobby hotel jam dua setengah petang,” ujar Then Kim Hin, tour guide selama perjalanan sebelum rombongan Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) berhamburan keluar menuju meja resepsionis.
Pukul 12.05 waktu Malaysia rombongan mengantre untuk mendapatkan pembagian kunci kamar yang diatur oleh ketua rombongan. Saat nama peserta dipanggil satu persatu meninggalkan lobby menuju kamarnya masing-masing.
Kunci kamar hotel menyerupai kartu elektronik dengan sistem gesek. Kunci tersebut juga digunakan dalam lift yang digunakan untuk mencapai lantai kamar yang telah ditentukan. Kamar 412 merupakan tempat peraduan saya selama dua hari di Kuching. Kamar itu berukuran 6x4 meter. Dua dipan single bad dibatasi dengan sebuah meja kecil dengan sambungan radio pada lacinya yang akan hidup otomatis bersama dengan nyala lampu. Sebuah telepon, jam weker, dan buku daftar pengguna telepon di Kuching berada di atas meja tersebut.
1x1 meter dari ruangan kamar sisi kanan digunakan untuk lemari pakaian dari kayu furniture. Di samping lemari bersandar sebuah meja kayu dengan tinggi setengah meter, yang digunakan untuk menempatkan sebuah televisi 17 inch. Di belakang televisi, bagian tengah dinding kamar berwarna krem tergantung dua buah foto berpigura yang disusun bertingkat. Rukshaw 1950 merupakan foto angkutan lama seperti becak dua roda yang ditarik menggunakan tangan yang diletakkan di bagian atas. Main Bazaar 1948, merupakan foto pasar lama, tepat di bawah foto Rukshaw.
Sebuah foto lainnya, terletak di bagian tengah dinding kamar sisi kiri. Gambar sebuah jalan dengan bangunan tua, berjudul Khoo Hun Yeang Street pada bawah foto. Di sudut ruangan terdapat sebuah lampu duduk semeter. Di sampingnya, sebuah meja dengan alas karpet, sama seperti karpet lantai.
Pintu pembatas antara kamar dan kamar mandi menempel sebuah kaca panjang. Kamar mandi dengan shower dalam ruang berukuran 1x1 meter dengan pintu yang terbuat dari bahan kaca.
Waktu selama dua jam, saya gunakan untuk membersihkan diri dan beristirahat sejenak. Kepenatan sangat terasa, karena perjalanan lebih dari 12 jam berada di bis. Pukul 14.00 waktu Malaysia, saya berada di lobby hotel menunggu rombongan IPKB lainnya.
Pukul 14.30 perjalanan rombongan IPKB selanjutnya menuju Cat Muzium yang berlokasi tepat di lantai bawah dewan Bandaraya Kuching Utara, Bukit Siol, Jalan Semariang, Petra Jaya. Perjalanan ke museum dari hotel melewati jembatan panjang yang menghubungkan daerah Petra Jaya dan Kuching Selatan. Kedua daerah ini dibatasi oleh sungai Sarawak sepanjang 130 km yang bagian hilirnya langsung menuju Laut Cina Selatan. “Bangunan dengan atap seperti kubah di sane merupakan dewan bandaraya Kuching Utare,” ujar Then dengan logat khas Malaysia memberitahu rombongan saat melewati jembatan.
30 menit perjalanan dihabiskan untuk menuju tempat tersebut. Lokasi yang berada di atas bukit menampilkan pemandangan indah kota Kuching dari atas.
Cat muzium terdiri atas empat bagian galeri. Galeri A menampilkan patung kuching aneka bentuk yang dibuat dari bahan keramik. Galeri B gambar dan keterangan macam-macam kucing. Galeri C berisi cerita kucing dari etnis Melayu, Cina, dan Jepang. Galeri D berisi rak-rak yang berisi macam-macam kucing yang telah diawetkan. Galeri kucing menurut Shareena Mohammad Sallen, pengurus Cat Muzium pertama kali dibangun di Sarawak pada 1987. “This muzium dipindahkan kat sini in nineteen ninety three.” ujar Shareen memberitahu.
Menurut Shareen, galeri kucing yang dipamerkan sebagian berasal dari galeri yang lama. Lagipula, museum ini merupakan satu-satunya museum kucing terlengkap di dunia. Koleksi yang ada merupakan awetan asli kucing yang menghuni pulau Borneo. “Tak jual lah,” ujarnya.
Banyak negara yang tertarik untuk memiliki koleksi tersebut dengan cara membeli. “This one, nak dibeli UK beberape ratos ribu pound, two year ago.” Shareen menerangkan sambil menunjuk awetan kucing merah (Bay cat) yang saat ini keberadaannya hampir punah.
Sejarah mengenai kota Kuching juga tertulis dan dipamerkan di sisi kiri bangunan.
Rombongan selanjutnya diajak menuju lantai atas bangunan menggunakan lift. Lantai ketujuh dari bangunan tersebut sebelumnya melewati kantor Walikota Kuching Utara yang ruangannya tidak dapat dilihat di lantai empat.
Ruangan bulat di lantai tujuh itu biasanya digunakan untuk acara resmi walikota dan pihak kerajaan. Langit-langit ruangan dihiasi dengan kain berwarna kuning, hitam, dan merah, yang disusun berselang-seling. Dari lantai tujuh ini pula, gunung Sentubong dan gunung Sejinjang makin terlihat indah, dengan pulau kera yang berada di tengahnya. (bersambung)
2020 Malaysia Setara dengan Amerika
Laporan Perjalanan dari Kuching (2)
Pemeriksaan keimigrasian wilayah Malaysia di perbatasan, dibagi kedalam dua barisan memanjang. Satu-persatu, orang yang mengadakan perjalanan ke Malaysia, melakukan pemeriksaan paspor.
Moli, berasal dari Kecamatan Sebangkih, Pahauman, berdiri di depan saya. “ramai orang,” ujarnya menyapa. Moli merupakan salah seorang TKI. Pekerjaannya sebagai supir toko di Kuching, sudah dijalaninya selama 19 tahun. “Saya pernah ditangkap Polis Di Raja Malaysia (PDRM), bersama 4 teman dari Indonesia, karena tidak memiliki paspor,” ujar Moli memberitahu. Selama ditahanan, lanjutnya, kami hanya makan sekali. “Itupun segini,” Moli berkata sambil memperagakan telapak tangan kanannya membentuk setengah menutup.
Kebebasan Moli di tebus oleh Bos tempatnya bekerja di Malaysia. “Seorang 250 RM.” Dua adik Moli lainnya turut mengikuti jejak Moli. “Bos kami berbeda,” ujar Moli sambil tersenyum.
Alin, seorang rekan pers yang mengantre di barisan lain tak mendapatkan penandaan dari petugas keimigrasian Malaysia. Petugas tersebut meminta untuk memanggil ketua rombongan. Setelah ketua rombongan menghadap, barulah penandaan paspor untuk rekan pers tersebut diberikan petugas. Setelah pemeriksaan, perjalanan dilanjutkan kembali pukul 06.19 WIB.
Jarak dari Entikong ke Kuching sejauh 84 kilometer tertera pada papan penunjuk jalan yang berada di sisi kiri jalan. Selama perjalanan, hanya satu-dua kendaraan yang berpapasan.
Secara geografis, wilayah Malaysia hampir sama dengan Indonesia. Tanaman paku-pakuan, alang-alang, dan tanaman perdu lainnya terhampar di sepanjang jalan. Di Tebedu, dekat Chatholic Church bis dihentikan oleh seorang PDRM. Kembali penumpang dan rombongan menjalani pemeriksaan paspor. Di luar, dua PDRM yang lain berteduh menggunakan tenda berwarna hijau. Mereka mengitari meja bulat, dengan beberapa gelas berisi kopi. Sebungkus rokok Surya, tergeletak di mejanya.
Selama perjalanan, terhitung tiga kali pergantian operator yang tertera pada handphone saya. Maxim, My Celcom, dan Digi. Jarak waktu pergantian operator itupun hanya sejam.
Dua jam setengah perjalanan bis sampai di Terminal Batu Tiga Setengah, Kuching Selatan. Rombongan pindah ke bis tour yang sudah menunggu. Menurut agen bis terminal, seluruh bis express dari Indonesia dan Brunai, berhenti di terminal ini. “Kita rapi-rapi di toilet, karena kita akan ke kantor Konsulat RI di Kuching.” ujar Jasmin, ketua rombongan. Peserta pun setuju, untuk rapi-rapi.
Konsulat RI di Kuching
Pukul 10.00 waktu Malaysia, rombongan Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) Kalimantan Barat yang melakukan tour ke Kuching tiba di Konsulat Jenderal Republik Indonesia, Jalan Padungan, Bangunan Binamas, lantai 6, Kuching, Jumat (8/6).
Peserta diterima Atik, seorang staf konsulat di pintu masuk lantai dasar. “Sile ke sixth floor.” Ramah Atik mempersilahkan rombongan untuk menaiki lift.
Atik mendampingi rombongan menuju ruang pertemuan. Pintu ke empat sisi kanan bangunan dari lift. “Saye belom pernah ke Indon, dan asli Malay,” ujarnya ramah memberitahu sambil tersenyum.
Perempuan muda cantik yang mengenakan kerudung itu hanya mengantarkan hingga di depan pintu ruang pertemuan. “Bapak Rafael dan Bapak Dekiwarto,” Atik memperkenalkan dua orang staf konsulat jenderal, yang berdiri di bagian dalam kedua pintu ruang pertemuan.
Ruangan itu luas, dengan dinding yang dicat putih. Beberapa bangunan tinggi dari luar jendela bertirai putih yang ditarik, tampak jelas dari ruangan itu. Kursi berwarna hitam, disusun memanjang beberapa baris sesuai dengan jumlah rombongan dan tiga staf konsulat jenderal. Suguhan roti, coffemix, minuman kemasan gelas, dan teh sachet tertata rapi di atas meja panjang beralaskan taplak meja berwarna putih. Menemani perbincangan singkat dengan staf konsulat.
Bambang Prionggo, Kepala Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Kuching tiba di ruangan sepuluh menit kemudian. “Minggu lalu, saya juga menerima rombongan tamu para anggota DPRD dan Bupati dari Kalimantan Barat,” ujarnya ramah.
Selesai menikmati sajian yang dihidangkan, pertemuan dan diskusi antara rombongan IPKB dan Konsulat Jenderal RI dimulai.
Dra. Kasmiati, M.Sc, Kepala Pusat Litbang Keluarga Berencana dan Kesehatan Produksi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, yang mewakili rombongan, duduk di depan, bersama Bambang. “Kami ingin bersilaturahmi dan belajar mengenai penanganan Keluarga Berencana yang dilakukan di Malaysia,” ujar Kasmiati, memberitahukan mengenai tujuan kedatangan rombongan. Selain itu, lanjut Kasmiati, kami juga ingin mengetahui sejauh mana perkembangan program-program Keluarga Berencana di sini.
Rombongan yang terdiri dari 12 pers media yang ada di Pontianak dan 9 anggota BKKBN Kalimantan Barat, diperkenalkan dengan staf konsulat oleh Bambang. Staf tersebut adalah Rafael Walangitan sebagai kepala konsuler dan ekonomi, yang menangani bidang kerja kantor, staf, keuangan, dan pejabat fungsional ekonomi. Dekiwarto sebagai staf pelaksana fungsi imigrasi, yang menangani pembuatan paspor baru bagi 220 ribu warga negara RI di Malaysia, dari Kuching hingga ujung Miri. Abdullah Jafar sebagai staf pelaksana fungsional hubungan sosial dan kontrol budaya. Didik Zulhadi sebagai staf konsuler untuk perlindungan dan bantuan hukum bagi para pekerja Indonesia di Malaysia.
Menurut Bambang, mereka bertugas untuk melindungi para pekerja Indonesia tanpa melihat suku, kepentingan politik, orang kaya, atau orang miskin. “Semua kita tangani sampai hal-hal yang sederhana,” ujar Bambang.
Penanganan keluarga berencana di Malaysia, menurut Bambang, berbeda dengan yang ada di Indonesia. “Di sini tidak ada batasan untuk memiliki anak,” ujar Bambang sambil tersenyum.
Kuching sendiri dipimpin oleh dua pemerintahan yang dibagi berdasarkan wilayah, utara dan selatan. Kuching utara, merupakan daerah dengan penduduk mayoritas beretnis Cina, dan dipimpin oleh walikota beretnis Cina. Kuching selatan, daerah dengan penduduk yang beragam, Melayu, Dayak, India, dan dipimpin oleh Walikota beretnis campuran.
Target pemerintah Malaysia terhadap jumlah penduduknya adalah 70 juta. “Tapi sekarang, hanya ada 20 juta penduduk saja.” Bahkan, penduduk Kuching yang memiliki tiga atau empat anak, akan mendapatkan tunjangan dari pemerintah.”Di sini (Kuching Utara, ed) hanya dua ratus ribu penduduk. Tidak ada yang repot,” ujar Bambang.
Meskipun Malaysia tidak membatasi jumlah anak dalam keluarga, Malaysia lebih menekankan pada bidang pendidikan. “Anak-anak di sini mendapatkan bantuan biaya pendidikan hingga mereka menamatkan pendidikannya sampai sarjana. Bantuan tersebut dapat mereka ganti dengan cara mencicil, apabila mereka sudah bekerja.” ujar Bambang menerangkan. Pendidikan anak di Malaysia, wajib mulai dari Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi. Hal ini, lanjut Bambang, menghasilkan para intelektual yang handal.
Dukungan pemerintah Malaysia dalam bidang pendidikan, merupakan persiapan Sumber Daya Manusia yang memasuki pelita kesembilan. Target Malaysia pada 2020 adalah kemajuan seluruh masyarakat Malaysia dalam hal kemampuan dan keterampilan yang mampu bersaing dengan Amerika. “Di sini, internet sudah masuk sampai pelosok,” ujar Bambang. Pendidikan yang diterapkan Malaysia, merupakan pendidikan yang mengarah pada teknologi berbasis high-tech.
Pembangunan di Malaysia, sudah sangat maju dibandingkan Indonesia. Masyarakat Malaysia juga sangat menjaga kebersihan. “Kebersihan sangat ditekankan oleh pemerintah Malaysia. Tak heran, sampah di jalanan Malaysia tidak ada.” ujar Bambang memberitahu.
Menurut Kasmiati, program Keluarga Berencana di Indonesia harus tetap dilaksanakan. Penduduk Indonesia, lanjutnya, sudah terlalu padat. Lapangan pekerjaan yang ada juga sangat sedikit, sehingga kompetisi yang terjadipun semakin sulit. “Padahal, yang paling utama adalah lapangan kerja,” ujar Kasmiati.
Kurangnya lapangan pekerjaan di Indonesia, menyebabkan meningkatnya jumlah pengangguran. Dampak yang kemudian akan mencul adalah terjadinya peningkatan angka tindak kejahatan.
Bila di Malaysia, banyaknya anak ditanggung oleh pemerintah, tidak sama halnya dengan Indonesia. “Pemerintah hanya menanggung dua anak. Tanggungan itu diberikan hingga anak kuliah. Itupun hanya dua persen dari gaji yang diperoleh.” ujar Kasmiati.
Diskusi berhenti saat makan siang, pukul 11.30. Setelah menyelesaikan santapan, dilakukan penyerahan kenang-kenangan dari rombongan IPKB untuk Konsulat Jenderal RI. (Bersambung)
Pemeriksaan keimigrasian wilayah Malaysia di perbatasan, dibagi kedalam dua barisan memanjang. Satu-persatu, orang yang mengadakan perjalanan ke Malaysia, melakukan pemeriksaan paspor.
Moli, berasal dari Kecamatan Sebangkih, Pahauman, berdiri di depan saya. “ramai orang,” ujarnya menyapa. Moli merupakan salah seorang TKI. Pekerjaannya sebagai supir toko di Kuching, sudah dijalaninya selama 19 tahun. “Saya pernah ditangkap Polis Di Raja Malaysia (PDRM), bersama 4 teman dari Indonesia, karena tidak memiliki paspor,” ujar Moli memberitahu. Selama ditahanan, lanjutnya, kami hanya makan sekali. “Itupun segini,” Moli berkata sambil memperagakan telapak tangan kanannya membentuk setengah menutup.
Kebebasan Moli di tebus oleh Bos tempatnya bekerja di Malaysia. “Seorang 250 RM.” Dua adik Moli lainnya turut mengikuti jejak Moli. “Bos kami berbeda,” ujar Moli sambil tersenyum.
Alin, seorang rekan pers yang mengantre di barisan lain tak mendapatkan penandaan dari petugas keimigrasian Malaysia. Petugas tersebut meminta untuk memanggil ketua rombongan. Setelah ketua rombongan menghadap, barulah penandaan paspor untuk rekan pers tersebut diberikan petugas. Setelah pemeriksaan, perjalanan dilanjutkan kembali pukul 06.19 WIB.
Jarak dari Entikong ke Kuching sejauh 84 kilometer tertera pada papan penunjuk jalan yang berada di sisi kiri jalan. Selama perjalanan, hanya satu-dua kendaraan yang berpapasan.
Secara geografis, wilayah Malaysia hampir sama dengan Indonesia. Tanaman paku-pakuan, alang-alang, dan tanaman perdu lainnya terhampar di sepanjang jalan. Di Tebedu, dekat Chatholic Church bis dihentikan oleh seorang PDRM. Kembali penumpang dan rombongan menjalani pemeriksaan paspor. Di luar, dua PDRM yang lain berteduh menggunakan tenda berwarna hijau. Mereka mengitari meja bulat, dengan beberapa gelas berisi kopi. Sebungkus rokok Surya, tergeletak di mejanya.
Selama perjalanan, terhitung tiga kali pergantian operator yang tertera pada handphone saya. Maxim, My Celcom, dan Digi. Jarak waktu pergantian operator itupun hanya sejam.
Dua jam setengah perjalanan bis sampai di Terminal Batu Tiga Setengah, Kuching Selatan. Rombongan pindah ke bis tour yang sudah menunggu. Menurut agen bis terminal, seluruh bis express dari Indonesia dan Brunai, berhenti di terminal ini. “Kita rapi-rapi di toilet, karena kita akan ke kantor Konsulat RI di Kuching.” ujar Jasmin, ketua rombongan. Peserta pun setuju, untuk rapi-rapi.
Konsulat RI di Kuching
Pukul 10.00 waktu Malaysia, rombongan Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) Kalimantan Barat yang melakukan tour ke Kuching tiba di Konsulat Jenderal Republik Indonesia, Jalan Padungan, Bangunan Binamas, lantai 6, Kuching, Jumat (8/6).
Peserta diterima Atik, seorang staf konsulat di pintu masuk lantai dasar. “Sile ke sixth floor.” Ramah Atik mempersilahkan rombongan untuk menaiki lift.
Atik mendampingi rombongan menuju ruang pertemuan. Pintu ke empat sisi kanan bangunan dari lift. “Saye belom pernah ke Indon, dan asli Malay,” ujarnya ramah memberitahu sambil tersenyum.
Perempuan muda cantik yang mengenakan kerudung itu hanya mengantarkan hingga di depan pintu ruang pertemuan. “Bapak Rafael dan Bapak Dekiwarto,” Atik memperkenalkan dua orang staf konsulat jenderal, yang berdiri di bagian dalam kedua pintu ruang pertemuan.
Ruangan itu luas, dengan dinding yang dicat putih. Beberapa bangunan tinggi dari luar jendela bertirai putih yang ditarik, tampak jelas dari ruangan itu. Kursi berwarna hitam, disusun memanjang beberapa baris sesuai dengan jumlah rombongan dan tiga staf konsulat jenderal. Suguhan roti, coffemix, minuman kemasan gelas, dan teh sachet tertata rapi di atas meja panjang beralaskan taplak meja berwarna putih. Menemani perbincangan singkat dengan staf konsulat.
Bambang Prionggo, Kepala Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Kuching tiba di ruangan sepuluh menit kemudian. “Minggu lalu, saya juga menerima rombongan tamu para anggota DPRD dan Bupati dari Kalimantan Barat,” ujarnya ramah.
Selesai menikmati sajian yang dihidangkan, pertemuan dan diskusi antara rombongan IPKB dan Konsulat Jenderal RI dimulai.
Dra. Kasmiati, M.Sc, Kepala Pusat Litbang Keluarga Berencana dan Kesehatan Produksi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, yang mewakili rombongan, duduk di depan, bersama Bambang. “Kami ingin bersilaturahmi dan belajar mengenai penanganan Keluarga Berencana yang dilakukan di Malaysia,” ujar Kasmiati, memberitahukan mengenai tujuan kedatangan rombongan. Selain itu, lanjut Kasmiati, kami juga ingin mengetahui sejauh mana perkembangan program-program Keluarga Berencana di sini.
Rombongan yang terdiri dari 12 pers media yang ada di Pontianak dan 9 anggota BKKBN Kalimantan Barat, diperkenalkan dengan staf konsulat oleh Bambang. Staf tersebut adalah Rafael Walangitan sebagai kepala konsuler dan ekonomi, yang menangani bidang kerja kantor, staf, keuangan, dan pejabat fungsional ekonomi. Dekiwarto sebagai staf pelaksana fungsi imigrasi, yang menangani pembuatan paspor baru bagi 220 ribu warga negara RI di Malaysia, dari Kuching hingga ujung Miri. Abdullah Jafar sebagai staf pelaksana fungsional hubungan sosial dan kontrol budaya. Didik Zulhadi sebagai staf konsuler untuk perlindungan dan bantuan hukum bagi para pekerja Indonesia di Malaysia.
Menurut Bambang, mereka bertugas untuk melindungi para pekerja Indonesia tanpa melihat suku, kepentingan politik, orang kaya, atau orang miskin. “Semua kita tangani sampai hal-hal yang sederhana,” ujar Bambang.
Penanganan keluarga berencana di Malaysia, menurut Bambang, berbeda dengan yang ada di Indonesia. “Di sini tidak ada batasan untuk memiliki anak,” ujar Bambang sambil tersenyum.
Kuching sendiri dipimpin oleh dua pemerintahan yang dibagi berdasarkan wilayah, utara dan selatan. Kuching utara, merupakan daerah dengan penduduk mayoritas beretnis Cina, dan dipimpin oleh walikota beretnis Cina. Kuching selatan, daerah dengan penduduk yang beragam, Melayu, Dayak, India, dan dipimpin oleh Walikota beretnis campuran.
Target pemerintah Malaysia terhadap jumlah penduduknya adalah 70 juta. “Tapi sekarang, hanya ada 20 juta penduduk saja.” Bahkan, penduduk Kuching yang memiliki tiga atau empat anak, akan mendapatkan tunjangan dari pemerintah.”Di sini (Kuching Utara, ed) hanya dua ratus ribu penduduk. Tidak ada yang repot,” ujar Bambang.
Meskipun Malaysia tidak membatasi jumlah anak dalam keluarga, Malaysia lebih menekankan pada bidang pendidikan. “Anak-anak di sini mendapatkan bantuan biaya pendidikan hingga mereka menamatkan pendidikannya sampai sarjana. Bantuan tersebut dapat mereka ganti dengan cara mencicil, apabila mereka sudah bekerja.” ujar Bambang menerangkan. Pendidikan anak di Malaysia, wajib mulai dari Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi. Hal ini, lanjut Bambang, menghasilkan para intelektual yang handal.
Dukungan pemerintah Malaysia dalam bidang pendidikan, merupakan persiapan Sumber Daya Manusia yang memasuki pelita kesembilan. Target Malaysia pada 2020 adalah kemajuan seluruh masyarakat Malaysia dalam hal kemampuan dan keterampilan yang mampu bersaing dengan Amerika. “Di sini, internet sudah masuk sampai pelosok,” ujar Bambang. Pendidikan yang diterapkan Malaysia, merupakan pendidikan yang mengarah pada teknologi berbasis high-tech.
Pembangunan di Malaysia, sudah sangat maju dibandingkan Indonesia. Masyarakat Malaysia juga sangat menjaga kebersihan. “Kebersihan sangat ditekankan oleh pemerintah Malaysia. Tak heran, sampah di jalanan Malaysia tidak ada.” ujar Bambang memberitahu.
Menurut Kasmiati, program Keluarga Berencana di Indonesia harus tetap dilaksanakan. Penduduk Indonesia, lanjutnya, sudah terlalu padat. Lapangan pekerjaan yang ada juga sangat sedikit, sehingga kompetisi yang terjadipun semakin sulit. “Padahal, yang paling utama adalah lapangan kerja,” ujar Kasmiati.
Kurangnya lapangan pekerjaan di Indonesia, menyebabkan meningkatnya jumlah pengangguran. Dampak yang kemudian akan mencul adalah terjadinya peningkatan angka tindak kejahatan.
Bila di Malaysia, banyaknya anak ditanggung oleh pemerintah, tidak sama halnya dengan Indonesia. “Pemerintah hanya menanggung dua anak. Tanggungan itu diberikan hingga anak kuliah. Itupun hanya dua persen dari gaji yang diperoleh.” ujar Kasmiati.
Diskusi berhenti saat makan siang, pukul 11.30. Setelah menyelesaikan santapan, dilakukan penyerahan kenang-kenangan dari rombongan IPKB untuk Konsulat Jenderal RI. (Bersambung)
Pintu Border Belum Dibuka
Laporan Perjalanan dari Kuching (1)
Kamis (7/6), rombongan IPKB (Ikatan Penulis Keluarga Berencana) yang terdiri dari pers, pembina wilayah dari BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional) Kalimantan Barat, dan seorang pembina BKKBN Pusat melakukan tour ke Kuching.
Rombongan berkumpul di Jalan Sisingamangaraja No. 155 Pontianak, pukul 20.30 untuk melakukan pengisian identitas dan tempat tujuan, salah satu pelengkap keimigrasian untuk melewati wilayah perbatasan di Entikong.
Mesin kendaraan dinyalakan oleh supir bis dan menyuruh para penumpang untuk menempati nomor kursi yang tertera di tiket bis. Sisi kiri bis, dengan nomor kursi 4B, menjadi bilik peraduan saya selama perjalanan. Maklum, malam.
Setelah penumpang menempati kursinya masing-masing, bis berjalan. Tepat pukul 21.00.
Pukul 21.23, perjalanan terhenti di Pertamina, pertigaan jalan 28 Oktober, menaikkan sepasang suami istri separuh baya. Dua menit kemudian, bis mulai berjalan kembali.
Seorang lelaki berjaket jeans, menghentikan laju bis setelah memberitahukan tempat pemberhentiannya. Pintu bis terbuka, lelaki itu turun, di depan komplek tentara Batulayang.
Gambaran saya mengenai perjalanan, hilang bersama kantuk yang menyerang. Kelelahan mengurus paspor dari pagi hingga memperoleh paspor pukul 17.00, menyatu dengan dinginnya air conditioner (AC) yang berada tepat di atas kursiku. Aku terlena untuk beristirahat.
Saya terbangun di daerah Sosok, karena bis melewati jalan rusak. Rem mendadak oleh supir, menghilangkan rasa kantuk karena tubuh terdorong ke depan ke belakang. Oleng.
Beberapa rumah dengan jarak yang tidak berdekatan, terlihat di luar jendela dari sisi kiri. Kebanyakan, hanya satu lampu teras yang menjadi penerang dari rumah itu. Warung yang hanya diterangi dengan sebuah pelita, kadang dilewati. Minat pengunjung yang besar, terlihat dari jumlah motor yang terparkir, lebih dari lima buah. Kehidupan malam remang di pedesaan, dari orang-orang yang haus hiburan.
Bis mulai mengurangi lajunya. Sopir mengarahkan bis ke kanan, memasuki pelataran sebuah warung di daerah sosok.
Pukul 02.02 saat itu, ketika bis berhenti di rumah makan Citra Minang Sosok. “Capuccino panas,” ujarku kepada penjaga warung, yang langsung disediakan dalam cangkir coklat.
Nikmatnya cappucino, saya nikmati di sebuah meja dari porselin putih, dengan 4 bangku dari bahan semen yang dibentuk menyerupai batang pohon berwarna coklat. Letak tempat duduk saya, hanya sekitar semeter dari televisi yang menempel di dinding dan disanggah dengan besi berbentuk kotak, yang dipaku kuat ke dinding.
Tayangan musik dari saluran MTV, menambah suasana hangat di pekatnya malam. “Ini jadwal acara tour kita,” ujar Yasmin Umar, ketua rombongan IPKB, yang berkeliling membagikan jadwal pada kertas putih ke seluruh rombongan.
Rekan IPKB lain, terlihat menikmati santapan mereka. Dinginnya malam, membuat ‘kampung tengah’ berunjuk rasa. Dengan lahap, santapan dihabiskan, diiringi dengan diskusi kecil dan humor. Empat puluh enam menit, waktu yang dihabiskan di warung itu. Setelah selesai melakukan pembayaran, perjalanan dilanjutkan kembali.
Pukul 04.27, bis sampai di Entikong. Tepat di depan warung tengah, dari 3 warung yang terbuka. Kesempatan ini, saya gunakan untuk merokok. Turun dari bis, sebatang rokok disulut, dan asapnya terbang bersama embun.
Beberapa orang yang jadi calo tukar uang, menawarkan jasa. Mereka mondar-mandir, berharap ada penumpang yang memanggil. Tawaran yang mereka ajukan, selalu ditanggapi dengan gelengan kepala. “Ini masih Indonesia,” ujar Ruly, dari agen perjalanan, yang menjadi teman merokok. “Kalau sudah masuk Malaysia, seperti ruang utama dan dapur,” lanjutnya, memberikan pengandaian.
Banyak bis yang berhenti. Beberapa orang yang berkelompok di samping saya, bercerita dan berkata, “Pintu gerbang belum dibuka.”
Instruksi untuk masuk ke bis, terdengar dari ketua rombongan. Mesin bis menyala, kemudian berjalan maju, beberapa meter. Mesin dimatikan kembali, rombongan diingatkan untuk menyiapkan paspornya masing-masing, dan berkumpul di depan pintu gerbang.
Pukul 05.00, pintu gerbang dibuka. Rombongan dan orang-orang yang menuju ke Malaysia, berjalan sekitar 50 meter, membentuk dua barisan panjang. Tempat untuk mengantri cap pengesahan di imigrasi perbatasan, melewati dua ruangan di samping kanan. Di atas pintu ruangan, tertulis kantor perhubungan darat, bea dan cukai. Seorang petugas dengan seragam warna abu-abu gelap, bersandar di pintu kantor perhubungan darat. Penerangan ruangan tersebut, dari lampu neon panjang yang berjumlah dua buah.
“Lanjut,” ujar petugas yang berjaga di sisi kiri. Ia menyuruh baris berikutnya untuk maju. Petugas tersebut, seperti teman yang berasal dari kampungku. Alex, namanya.
Dugaanku tepat, saat dia menoleh ketika namanya saya panggil.
Rombongan memisahkan diri dari barisan, dan mengumpulkan paspor agar proses pemberian cap selesai dengan cepat. Tak lama, rombongan melanjutkan pemeriksaan di keimigrasian Malaysia, setelah terhenti beberapa saat karena ditahan Polis Di Raja Malaysia, yang mengecek tempat tujuan menginap selama berada di Malaysia. (bersambung)
Kamis (7/6), rombongan IPKB (Ikatan Penulis Keluarga Berencana) yang terdiri dari pers, pembina wilayah dari BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional) Kalimantan Barat, dan seorang pembina BKKBN Pusat melakukan tour ke Kuching.
Rombongan berkumpul di Jalan Sisingamangaraja No. 155 Pontianak, pukul 20.30 untuk melakukan pengisian identitas dan tempat tujuan, salah satu pelengkap keimigrasian untuk melewati wilayah perbatasan di Entikong.
Mesin kendaraan dinyalakan oleh supir bis dan menyuruh para penumpang untuk menempati nomor kursi yang tertera di tiket bis. Sisi kiri bis, dengan nomor kursi 4B, menjadi bilik peraduan saya selama perjalanan. Maklum, malam.
Setelah penumpang menempati kursinya masing-masing, bis berjalan. Tepat pukul 21.00.
Pukul 21.23, perjalanan terhenti di Pertamina, pertigaan jalan 28 Oktober, menaikkan sepasang suami istri separuh baya. Dua menit kemudian, bis mulai berjalan kembali.
Seorang lelaki berjaket jeans, menghentikan laju bis setelah memberitahukan tempat pemberhentiannya. Pintu bis terbuka, lelaki itu turun, di depan komplek tentara Batulayang.
Gambaran saya mengenai perjalanan, hilang bersama kantuk yang menyerang. Kelelahan mengurus paspor dari pagi hingga memperoleh paspor pukul 17.00, menyatu dengan dinginnya air conditioner (AC) yang berada tepat di atas kursiku. Aku terlena untuk beristirahat.
Saya terbangun di daerah Sosok, karena bis melewati jalan rusak. Rem mendadak oleh supir, menghilangkan rasa kantuk karena tubuh terdorong ke depan ke belakang. Oleng.
Beberapa rumah dengan jarak yang tidak berdekatan, terlihat di luar jendela dari sisi kiri. Kebanyakan, hanya satu lampu teras yang menjadi penerang dari rumah itu. Warung yang hanya diterangi dengan sebuah pelita, kadang dilewati. Minat pengunjung yang besar, terlihat dari jumlah motor yang terparkir, lebih dari lima buah. Kehidupan malam remang di pedesaan, dari orang-orang yang haus hiburan.
Bis mulai mengurangi lajunya. Sopir mengarahkan bis ke kanan, memasuki pelataran sebuah warung di daerah sosok.
Pukul 02.02 saat itu, ketika bis berhenti di rumah makan Citra Minang Sosok. “Capuccino panas,” ujarku kepada penjaga warung, yang langsung disediakan dalam cangkir coklat.
Nikmatnya cappucino, saya nikmati di sebuah meja dari porselin putih, dengan 4 bangku dari bahan semen yang dibentuk menyerupai batang pohon berwarna coklat. Letak tempat duduk saya, hanya sekitar semeter dari televisi yang menempel di dinding dan disanggah dengan besi berbentuk kotak, yang dipaku kuat ke dinding.
Tayangan musik dari saluran MTV, menambah suasana hangat di pekatnya malam. “Ini jadwal acara tour kita,” ujar Yasmin Umar, ketua rombongan IPKB, yang berkeliling membagikan jadwal pada kertas putih ke seluruh rombongan.
Rekan IPKB lain, terlihat menikmati santapan mereka. Dinginnya malam, membuat ‘kampung tengah’ berunjuk rasa. Dengan lahap, santapan dihabiskan, diiringi dengan diskusi kecil dan humor. Empat puluh enam menit, waktu yang dihabiskan di warung itu. Setelah selesai melakukan pembayaran, perjalanan dilanjutkan kembali.
Pukul 04.27, bis sampai di Entikong. Tepat di depan warung tengah, dari 3 warung yang terbuka. Kesempatan ini, saya gunakan untuk merokok. Turun dari bis, sebatang rokok disulut, dan asapnya terbang bersama embun.
Beberapa orang yang jadi calo tukar uang, menawarkan jasa. Mereka mondar-mandir, berharap ada penumpang yang memanggil. Tawaran yang mereka ajukan, selalu ditanggapi dengan gelengan kepala. “Ini masih Indonesia,” ujar Ruly, dari agen perjalanan, yang menjadi teman merokok. “Kalau sudah masuk Malaysia, seperti ruang utama dan dapur,” lanjutnya, memberikan pengandaian.
Banyak bis yang berhenti. Beberapa orang yang berkelompok di samping saya, bercerita dan berkata, “Pintu gerbang belum dibuka.”
Instruksi untuk masuk ke bis, terdengar dari ketua rombongan. Mesin bis menyala, kemudian berjalan maju, beberapa meter. Mesin dimatikan kembali, rombongan diingatkan untuk menyiapkan paspornya masing-masing, dan berkumpul di depan pintu gerbang.
Pukul 05.00, pintu gerbang dibuka. Rombongan dan orang-orang yang menuju ke Malaysia, berjalan sekitar 50 meter, membentuk dua barisan panjang. Tempat untuk mengantri cap pengesahan di imigrasi perbatasan, melewati dua ruangan di samping kanan. Di atas pintu ruangan, tertulis kantor perhubungan darat, bea dan cukai. Seorang petugas dengan seragam warna abu-abu gelap, bersandar di pintu kantor perhubungan darat. Penerangan ruangan tersebut, dari lampu neon panjang yang berjumlah dua buah.
“Lanjut,” ujar petugas yang berjaga di sisi kiri. Ia menyuruh baris berikutnya untuk maju. Petugas tersebut, seperti teman yang berasal dari kampungku. Alex, namanya.
Dugaanku tepat, saat dia menoleh ketika namanya saya panggil.
Rombongan memisahkan diri dari barisan, dan mengumpulkan paspor agar proses pemberian cap selesai dengan cepat. Tak lama, rombongan melanjutkan pemeriksaan di keimigrasian Malaysia, setelah terhenti beberapa saat karena ditahan Polis Di Raja Malaysia, yang mengecek tempat tujuan menginap selama berada di Malaysia. (bersambung)
Pelaksanaan adat Ngampar bide di betang
Borneo Tribune, Pontianak
Berbagai persiapan menyambut kegiatan gawai Dayak se Kalimantan telah dipersiapkan panitia. Betang yang terletak di Jalan Sutoyo tampak mulai ramai dan semarak dihias berbagai pernik yang indah. Umbul-umbul juga dipasang disana.
Jumat (18/05), acara ngampar (hampar) bide pertanda gawai akan dilaksanakan telah dipersiapkan cukup matang. Saat itu acara dipimpin panyangahatn (pembaca doa) Kasausius Kasan (57). Berbagai hasil bumi sebagai simbol panen dikeluarkan untuk didoakan.
Acara ini merupakan salah satu dari rangkaian acara adat yang akan dilaksanakan di betang, sekaligus sebagai pembuka acara adat. “Makna dari hampar bide sendiri adalah sebagai pertanda kesiapan dalam menerima tamu dalam gawai,” terang Britius Erik, panitia penyelenggara adat Ngampar bide, menjelaskan.
Secara historis, hampar bide dilaksanakan setiap tahun, setelah panen. Hal ini sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil panen yang diberikan oleh Yang Kuasa.
Menurut Martinus, pengurus adat Sungai Raya, apabila ada kekurangan dalam pelaksanaan acara tersebut, pasti ada pertanda yang menunjukkan sesuatu tidak baik. “Bahkan, panyangahatn dapat menjadi kerasukan,” ungkapnya.
Hampar bide sendiri, terdiri atas beberapa prosesi. Pertama upacara bapipis manta atau nyangahatn manta’ (doa dengan menyajikan hasil bumi, ayam, dan daging babi yang belum dimasak), nyangahatn masak (doa dengan hasil bumi, daging ayam, dan daging babi yang sudah dimasak), pantak Ne’ Ringo (doa kepada pamangka atau penunggu betang untuk keselamatan), dan bapadah ka rumah panyugu (menyerahkan hasil panen dan permisi untuk melaksanakan acara gawai).
Doa yang dipanjatkan, berdasarkan kondisi dengan tujuan yang sama, yaitu keselamatan dan berkah. Panyangahant sendiri mengucapkan doa-doa secara spontan, tanpa teks. Hal ini tidak dipelajari sebelumnya. “secara turun-temurun,” ujar Kasan.
Kasan melanjutkan, bahwa pangkaras janganlah dilupakan dalam acara ini (melalui simbol koin yang diletakkan pada beras dalam piring). Karena pangkaras menunjukkan sumangat atau jiwa kita. Diharapkan dengan doa yang dipanjatkan, semua sumangat dalam hasil panen, dapat kembali dengan berlimpah.
Acara adat lain yang akan dilakukan di betang adalah adat baliant, mamandung, nginjak tanah, mamandank, dan adat ngayau.
Langganan:
Postingan
(
Atom
)