Jumat, 22 Juni 2007
2020 Malaysia Setara dengan Amerika
Laporan Perjalanan dari Kuching (2)
Pemeriksaan keimigrasian wilayah Malaysia di perbatasan, dibagi kedalam dua barisan memanjang. Satu-persatu, orang yang mengadakan perjalanan ke Malaysia, melakukan pemeriksaan paspor.
Moli, berasal dari Kecamatan Sebangkih, Pahauman, berdiri di depan saya. “ramai orang,” ujarnya menyapa. Moli merupakan salah seorang TKI. Pekerjaannya sebagai supir toko di Kuching, sudah dijalaninya selama 19 tahun. “Saya pernah ditangkap Polis Di Raja Malaysia (PDRM), bersama 4 teman dari Indonesia, karena tidak memiliki paspor,” ujar Moli memberitahu. Selama ditahanan, lanjutnya, kami hanya makan sekali. “Itupun segini,” Moli berkata sambil memperagakan telapak tangan kanannya membentuk setengah menutup.
Kebebasan Moli di tebus oleh Bos tempatnya bekerja di Malaysia. “Seorang 250 RM.” Dua adik Moli lainnya turut mengikuti jejak Moli. “Bos kami berbeda,” ujar Moli sambil tersenyum.
Alin, seorang rekan pers yang mengantre di barisan lain tak mendapatkan penandaan dari petugas keimigrasian Malaysia. Petugas tersebut meminta untuk memanggil ketua rombongan. Setelah ketua rombongan menghadap, barulah penandaan paspor untuk rekan pers tersebut diberikan petugas. Setelah pemeriksaan, perjalanan dilanjutkan kembali pukul 06.19 WIB.
Jarak dari Entikong ke Kuching sejauh 84 kilometer tertera pada papan penunjuk jalan yang berada di sisi kiri jalan. Selama perjalanan, hanya satu-dua kendaraan yang berpapasan.
Secara geografis, wilayah Malaysia hampir sama dengan Indonesia. Tanaman paku-pakuan, alang-alang, dan tanaman perdu lainnya terhampar di sepanjang jalan. Di Tebedu, dekat Chatholic Church bis dihentikan oleh seorang PDRM. Kembali penumpang dan rombongan menjalani pemeriksaan paspor. Di luar, dua PDRM yang lain berteduh menggunakan tenda berwarna hijau. Mereka mengitari meja bulat, dengan beberapa gelas berisi kopi. Sebungkus rokok Surya, tergeletak di mejanya.
Selama perjalanan, terhitung tiga kali pergantian operator yang tertera pada handphone saya. Maxim, My Celcom, dan Digi. Jarak waktu pergantian operator itupun hanya sejam.
Dua jam setengah perjalanan bis sampai di Terminal Batu Tiga Setengah, Kuching Selatan. Rombongan pindah ke bis tour yang sudah menunggu. Menurut agen bis terminal, seluruh bis express dari Indonesia dan Brunai, berhenti di terminal ini. “Kita rapi-rapi di toilet, karena kita akan ke kantor Konsulat RI di Kuching.” ujar Jasmin, ketua rombongan. Peserta pun setuju, untuk rapi-rapi.
Konsulat RI di Kuching
Pukul 10.00 waktu Malaysia, rombongan Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) Kalimantan Barat yang melakukan tour ke Kuching tiba di Konsulat Jenderal Republik Indonesia, Jalan Padungan, Bangunan Binamas, lantai 6, Kuching, Jumat (8/6).
Peserta diterima Atik, seorang staf konsulat di pintu masuk lantai dasar. “Sile ke sixth floor.” Ramah Atik mempersilahkan rombongan untuk menaiki lift.
Atik mendampingi rombongan menuju ruang pertemuan. Pintu ke empat sisi kanan bangunan dari lift. “Saye belom pernah ke Indon, dan asli Malay,” ujarnya ramah memberitahu sambil tersenyum.
Perempuan muda cantik yang mengenakan kerudung itu hanya mengantarkan hingga di depan pintu ruang pertemuan. “Bapak Rafael dan Bapak Dekiwarto,” Atik memperkenalkan dua orang staf konsulat jenderal, yang berdiri di bagian dalam kedua pintu ruang pertemuan.
Ruangan itu luas, dengan dinding yang dicat putih. Beberapa bangunan tinggi dari luar jendela bertirai putih yang ditarik, tampak jelas dari ruangan itu. Kursi berwarna hitam, disusun memanjang beberapa baris sesuai dengan jumlah rombongan dan tiga staf konsulat jenderal. Suguhan roti, coffemix, minuman kemasan gelas, dan teh sachet tertata rapi di atas meja panjang beralaskan taplak meja berwarna putih. Menemani perbincangan singkat dengan staf konsulat.
Bambang Prionggo, Kepala Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Kuching tiba di ruangan sepuluh menit kemudian. “Minggu lalu, saya juga menerima rombongan tamu para anggota DPRD dan Bupati dari Kalimantan Barat,” ujarnya ramah.
Selesai menikmati sajian yang dihidangkan, pertemuan dan diskusi antara rombongan IPKB dan Konsulat Jenderal RI dimulai.
Dra. Kasmiati, M.Sc, Kepala Pusat Litbang Keluarga Berencana dan Kesehatan Produksi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, yang mewakili rombongan, duduk di depan, bersama Bambang. “Kami ingin bersilaturahmi dan belajar mengenai penanganan Keluarga Berencana yang dilakukan di Malaysia,” ujar Kasmiati, memberitahukan mengenai tujuan kedatangan rombongan. Selain itu, lanjut Kasmiati, kami juga ingin mengetahui sejauh mana perkembangan program-program Keluarga Berencana di sini.
Rombongan yang terdiri dari 12 pers media yang ada di Pontianak dan 9 anggota BKKBN Kalimantan Barat, diperkenalkan dengan staf konsulat oleh Bambang. Staf tersebut adalah Rafael Walangitan sebagai kepala konsuler dan ekonomi, yang menangani bidang kerja kantor, staf, keuangan, dan pejabat fungsional ekonomi. Dekiwarto sebagai staf pelaksana fungsi imigrasi, yang menangani pembuatan paspor baru bagi 220 ribu warga negara RI di Malaysia, dari Kuching hingga ujung Miri. Abdullah Jafar sebagai staf pelaksana fungsional hubungan sosial dan kontrol budaya. Didik Zulhadi sebagai staf konsuler untuk perlindungan dan bantuan hukum bagi para pekerja Indonesia di Malaysia.
Menurut Bambang, mereka bertugas untuk melindungi para pekerja Indonesia tanpa melihat suku, kepentingan politik, orang kaya, atau orang miskin. “Semua kita tangani sampai hal-hal yang sederhana,” ujar Bambang.
Penanganan keluarga berencana di Malaysia, menurut Bambang, berbeda dengan yang ada di Indonesia. “Di sini tidak ada batasan untuk memiliki anak,” ujar Bambang sambil tersenyum.
Kuching sendiri dipimpin oleh dua pemerintahan yang dibagi berdasarkan wilayah, utara dan selatan. Kuching utara, merupakan daerah dengan penduduk mayoritas beretnis Cina, dan dipimpin oleh walikota beretnis Cina. Kuching selatan, daerah dengan penduduk yang beragam, Melayu, Dayak, India, dan dipimpin oleh Walikota beretnis campuran.
Target pemerintah Malaysia terhadap jumlah penduduknya adalah 70 juta. “Tapi sekarang, hanya ada 20 juta penduduk saja.” Bahkan, penduduk Kuching yang memiliki tiga atau empat anak, akan mendapatkan tunjangan dari pemerintah.”Di sini (Kuching Utara, ed) hanya dua ratus ribu penduduk. Tidak ada yang repot,” ujar Bambang.
Meskipun Malaysia tidak membatasi jumlah anak dalam keluarga, Malaysia lebih menekankan pada bidang pendidikan. “Anak-anak di sini mendapatkan bantuan biaya pendidikan hingga mereka menamatkan pendidikannya sampai sarjana. Bantuan tersebut dapat mereka ganti dengan cara mencicil, apabila mereka sudah bekerja.” ujar Bambang menerangkan. Pendidikan anak di Malaysia, wajib mulai dari Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi. Hal ini, lanjut Bambang, menghasilkan para intelektual yang handal.
Dukungan pemerintah Malaysia dalam bidang pendidikan, merupakan persiapan Sumber Daya Manusia yang memasuki pelita kesembilan. Target Malaysia pada 2020 adalah kemajuan seluruh masyarakat Malaysia dalam hal kemampuan dan keterampilan yang mampu bersaing dengan Amerika. “Di sini, internet sudah masuk sampai pelosok,” ujar Bambang. Pendidikan yang diterapkan Malaysia, merupakan pendidikan yang mengarah pada teknologi berbasis high-tech.
Pembangunan di Malaysia, sudah sangat maju dibandingkan Indonesia. Masyarakat Malaysia juga sangat menjaga kebersihan. “Kebersihan sangat ditekankan oleh pemerintah Malaysia. Tak heran, sampah di jalanan Malaysia tidak ada.” ujar Bambang memberitahu.
Menurut Kasmiati, program Keluarga Berencana di Indonesia harus tetap dilaksanakan. Penduduk Indonesia, lanjutnya, sudah terlalu padat. Lapangan pekerjaan yang ada juga sangat sedikit, sehingga kompetisi yang terjadipun semakin sulit. “Padahal, yang paling utama adalah lapangan kerja,” ujar Kasmiati.
Kurangnya lapangan pekerjaan di Indonesia, menyebabkan meningkatnya jumlah pengangguran. Dampak yang kemudian akan mencul adalah terjadinya peningkatan angka tindak kejahatan.
Bila di Malaysia, banyaknya anak ditanggung oleh pemerintah, tidak sama halnya dengan Indonesia. “Pemerintah hanya menanggung dua anak. Tanggungan itu diberikan hingga anak kuliah. Itupun hanya dua persen dari gaji yang diperoleh.” ujar Kasmiati.
Diskusi berhenti saat makan siang, pukul 11.30. Setelah menyelesaikan santapan, dilakukan penyerahan kenang-kenangan dari rombongan IPKB untuk Konsulat Jenderal RI. (Bersambung)
Pemeriksaan keimigrasian wilayah Malaysia di perbatasan, dibagi kedalam dua barisan memanjang. Satu-persatu, orang yang mengadakan perjalanan ke Malaysia, melakukan pemeriksaan paspor.
Moli, berasal dari Kecamatan Sebangkih, Pahauman, berdiri di depan saya. “ramai orang,” ujarnya menyapa. Moli merupakan salah seorang TKI. Pekerjaannya sebagai supir toko di Kuching, sudah dijalaninya selama 19 tahun. “Saya pernah ditangkap Polis Di Raja Malaysia (PDRM), bersama 4 teman dari Indonesia, karena tidak memiliki paspor,” ujar Moli memberitahu. Selama ditahanan, lanjutnya, kami hanya makan sekali. “Itupun segini,” Moli berkata sambil memperagakan telapak tangan kanannya membentuk setengah menutup.
Kebebasan Moli di tebus oleh Bos tempatnya bekerja di Malaysia. “Seorang 250 RM.” Dua adik Moli lainnya turut mengikuti jejak Moli. “Bos kami berbeda,” ujar Moli sambil tersenyum.
Alin, seorang rekan pers yang mengantre di barisan lain tak mendapatkan penandaan dari petugas keimigrasian Malaysia. Petugas tersebut meminta untuk memanggil ketua rombongan. Setelah ketua rombongan menghadap, barulah penandaan paspor untuk rekan pers tersebut diberikan petugas. Setelah pemeriksaan, perjalanan dilanjutkan kembali pukul 06.19 WIB.
Jarak dari Entikong ke Kuching sejauh 84 kilometer tertera pada papan penunjuk jalan yang berada di sisi kiri jalan. Selama perjalanan, hanya satu-dua kendaraan yang berpapasan.
Secara geografis, wilayah Malaysia hampir sama dengan Indonesia. Tanaman paku-pakuan, alang-alang, dan tanaman perdu lainnya terhampar di sepanjang jalan. Di Tebedu, dekat Chatholic Church bis dihentikan oleh seorang PDRM. Kembali penumpang dan rombongan menjalani pemeriksaan paspor. Di luar, dua PDRM yang lain berteduh menggunakan tenda berwarna hijau. Mereka mengitari meja bulat, dengan beberapa gelas berisi kopi. Sebungkus rokok Surya, tergeletak di mejanya.
Selama perjalanan, terhitung tiga kali pergantian operator yang tertera pada handphone saya. Maxim, My Celcom, dan Digi. Jarak waktu pergantian operator itupun hanya sejam.
Dua jam setengah perjalanan bis sampai di Terminal Batu Tiga Setengah, Kuching Selatan. Rombongan pindah ke bis tour yang sudah menunggu. Menurut agen bis terminal, seluruh bis express dari Indonesia dan Brunai, berhenti di terminal ini. “Kita rapi-rapi di toilet, karena kita akan ke kantor Konsulat RI di Kuching.” ujar Jasmin, ketua rombongan. Peserta pun setuju, untuk rapi-rapi.
Konsulat RI di Kuching
Pukul 10.00 waktu Malaysia, rombongan Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) Kalimantan Barat yang melakukan tour ke Kuching tiba di Konsulat Jenderal Republik Indonesia, Jalan Padungan, Bangunan Binamas, lantai 6, Kuching, Jumat (8/6).
Peserta diterima Atik, seorang staf konsulat di pintu masuk lantai dasar. “Sile ke sixth floor.” Ramah Atik mempersilahkan rombongan untuk menaiki lift.
Atik mendampingi rombongan menuju ruang pertemuan. Pintu ke empat sisi kanan bangunan dari lift. “Saye belom pernah ke Indon, dan asli Malay,” ujarnya ramah memberitahu sambil tersenyum.
Perempuan muda cantik yang mengenakan kerudung itu hanya mengantarkan hingga di depan pintu ruang pertemuan. “Bapak Rafael dan Bapak Dekiwarto,” Atik memperkenalkan dua orang staf konsulat jenderal, yang berdiri di bagian dalam kedua pintu ruang pertemuan.
Ruangan itu luas, dengan dinding yang dicat putih. Beberapa bangunan tinggi dari luar jendela bertirai putih yang ditarik, tampak jelas dari ruangan itu. Kursi berwarna hitam, disusun memanjang beberapa baris sesuai dengan jumlah rombongan dan tiga staf konsulat jenderal. Suguhan roti, coffemix, minuman kemasan gelas, dan teh sachet tertata rapi di atas meja panjang beralaskan taplak meja berwarna putih. Menemani perbincangan singkat dengan staf konsulat.
Bambang Prionggo, Kepala Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Kuching tiba di ruangan sepuluh menit kemudian. “Minggu lalu, saya juga menerima rombongan tamu para anggota DPRD dan Bupati dari Kalimantan Barat,” ujarnya ramah.
Selesai menikmati sajian yang dihidangkan, pertemuan dan diskusi antara rombongan IPKB dan Konsulat Jenderal RI dimulai.
Dra. Kasmiati, M.Sc, Kepala Pusat Litbang Keluarga Berencana dan Kesehatan Produksi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, yang mewakili rombongan, duduk di depan, bersama Bambang. “Kami ingin bersilaturahmi dan belajar mengenai penanganan Keluarga Berencana yang dilakukan di Malaysia,” ujar Kasmiati, memberitahukan mengenai tujuan kedatangan rombongan. Selain itu, lanjut Kasmiati, kami juga ingin mengetahui sejauh mana perkembangan program-program Keluarga Berencana di sini.
Rombongan yang terdiri dari 12 pers media yang ada di Pontianak dan 9 anggota BKKBN Kalimantan Barat, diperkenalkan dengan staf konsulat oleh Bambang. Staf tersebut adalah Rafael Walangitan sebagai kepala konsuler dan ekonomi, yang menangani bidang kerja kantor, staf, keuangan, dan pejabat fungsional ekonomi. Dekiwarto sebagai staf pelaksana fungsi imigrasi, yang menangani pembuatan paspor baru bagi 220 ribu warga negara RI di Malaysia, dari Kuching hingga ujung Miri. Abdullah Jafar sebagai staf pelaksana fungsional hubungan sosial dan kontrol budaya. Didik Zulhadi sebagai staf konsuler untuk perlindungan dan bantuan hukum bagi para pekerja Indonesia di Malaysia.
Menurut Bambang, mereka bertugas untuk melindungi para pekerja Indonesia tanpa melihat suku, kepentingan politik, orang kaya, atau orang miskin. “Semua kita tangani sampai hal-hal yang sederhana,” ujar Bambang.
Penanganan keluarga berencana di Malaysia, menurut Bambang, berbeda dengan yang ada di Indonesia. “Di sini tidak ada batasan untuk memiliki anak,” ujar Bambang sambil tersenyum.
Kuching sendiri dipimpin oleh dua pemerintahan yang dibagi berdasarkan wilayah, utara dan selatan. Kuching utara, merupakan daerah dengan penduduk mayoritas beretnis Cina, dan dipimpin oleh walikota beretnis Cina. Kuching selatan, daerah dengan penduduk yang beragam, Melayu, Dayak, India, dan dipimpin oleh Walikota beretnis campuran.
Target pemerintah Malaysia terhadap jumlah penduduknya adalah 70 juta. “Tapi sekarang, hanya ada 20 juta penduduk saja.” Bahkan, penduduk Kuching yang memiliki tiga atau empat anak, akan mendapatkan tunjangan dari pemerintah.”Di sini (Kuching Utara, ed) hanya dua ratus ribu penduduk. Tidak ada yang repot,” ujar Bambang.
Meskipun Malaysia tidak membatasi jumlah anak dalam keluarga, Malaysia lebih menekankan pada bidang pendidikan. “Anak-anak di sini mendapatkan bantuan biaya pendidikan hingga mereka menamatkan pendidikannya sampai sarjana. Bantuan tersebut dapat mereka ganti dengan cara mencicil, apabila mereka sudah bekerja.” ujar Bambang menerangkan. Pendidikan anak di Malaysia, wajib mulai dari Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi. Hal ini, lanjut Bambang, menghasilkan para intelektual yang handal.
Dukungan pemerintah Malaysia dalam bidang pendidikan, merupakan persiapan Sumber Daya Manusia yang memasuki pelita kesembilan. Target Malaysia pada 2020 adalah kemajuan seluruh masyarakat Malaysia dalam hal kemampuan dan keterampilan yang mampu bersaing dengan Amerika. “Di sini, internet sudah masuk sampai pelosok,” ujar Bambang. Pendidikan yang diterapkan Malaysia, merupakan pendidikan yang mengarah pada teknologi berbasis high-tech.
Pembangunan di Malaysia, sudah sangat maju dibandingkan Indonesia. Masyarakat Malaysia juga sangat menjaga kebersihan. “Kebersihan sangat ditekankan oleh pemerintah Malaysia. Tak heran, sampah di jalanan Malaysia tidak ada.” ujar Bambang memberitahu.
Menurut Kasmiati, program Keluarga Berencana di Indonesia harus tetap dilaksanakan. Penduduk Indonesia, lanjutnya, sudah terlalu padat. Lapangan pekerjaan yang ada juga sangat sedikit, sehingga kompetisi yang terjadipun semakin sulit. “Padahal, yang paling utama adalah lapangan kerja,” ujar Kasmiati.
Kurangnya lapangan pekerjaan di Indonesia, menyebabkan meningkatnya jumlah pengangguran. Dampak yang kemudian akan mencul adalah terjadinya peningkatan angka tindak kejahatan.
Bila di Malaysia, banyaknya anak ditanggung oleh pemerintah, tidak sama halnya dengan Indonesia. “Pemerintah hanya menanggung dua anak. Tanggungan itu diberikan hingga anak kuliah. Itupun hanya dua persen dari gaji yang diperoleh.” ujar Kasmiati.
Diskusi berhenti saat makan siang, pukul 11.30. Setelah menyelesaikan santapan, dilakukan penyerahan kenang-kenangan dari rombongan IPKB untuk Konsulat Jenderal RI. (Bersambung)
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar