arthurisme

a traveler, a backpacker, food lover

Sabtu, 20 Desember 2008

Enam Ton Sekali Panen

Tidak ada komentar :

MANISNYA madu sangat disukai orang banyak. Madu juga memiliki khasiat untuk meningkatkan stamina tubuh. Satu daerah pemasok madu terbesar di Kalimantan Barat adalah Kapuas Hulu, terutama di kawasan Danau Sentarum.

Daerah paling banyak menyumbangkan madu sebagai hasil hutan alami di kawasan Danau Sentarum tersebar di tiga Kecamatan. Yakni, Selimbau, Batang Lupar, dan Badau. Bahkan, madu yang dihasilkan sudah dikemas dengan rapi dan mendapatkan sertifikasi.
Direktur Riak Bumi Kalimantan Barat Valentinus Heri, mengatakan, madu dari kawasan Danau Sentarum merupakan madu hutan pertama di Indonesia dengan sertifikat organik dari BioCert, yang merupakan satu lembaga sertifikasi organik di Indonesia.
"Masyarakat di kawasan Danau Sentarum memiliki asosiasi yang khusus menangani madu hutan (Apis dorsata). Asosiasi terbentuk sejak 2005, lalu, yang berpusat di Semangit. Asosiasi ini bernama APDS atau Asosiasi Madu Hutan Indonesia," tuturnya, Senin (15/12), lalu.
Wilayah kerja petani madu tersebut meliputi 12.363 hektar hutan pada 13.253 tikungan. Sekali panen, masyarakat bisa mendapatkan enam ton madu setiap kelompoknya. Menurut Heri, pada 2008, masyarakat dapat memanen sekitar 20 ton madu.
Sebelum terbentuknya APDS, harga jual Madu sangat rendah. Hanya Rp 6.000 per kilo. Karenanya, menjadi petani madu masih belum dilirik oleh masyarakat di wilayah Danau Sentarum.
Setelah asosiasi terbentuk, harga jual madu mulai dilirik masyarakat. Harga jual mencapai Rp 45 ribu per kilogram. Apalagi, masyarakat juga tidak perlu bersusah payah menjual madu karena ada asosiasi yang siap menampung hasil panen madu mereka.
Heri mengatakan, jumlah anggota asosiasi APDS saat ini berjumlah 157 orang di delapan Periau (wilayah kelola kelompok madu di Danau Sentarum), yang berada di enam kampung dari 33 kampung potensial.
"Madu tersebut diperoleh petani dari hutan alami. Kualitas madupun tergantung pada hutan yang ada di Danau Sentarum. Bila hutan mulai rusak, kualitas madu yang dihasilkan juga akan terpengaruh," tuturnya.
Menurut peneliti dari Center for International Forestry Research (Cifor) Elizabeth Linda Yuliani, menjaga kealamian hutan Danau Sentarum merupakan tantangan yang harus ditanggulangi bersama.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh tim Cifor, tingkat kekeruhan air Danau Sentarum jauh di atas ambang batas yang disarankan untuk kesehatan manusia dan perikanan. Terutama, di Desa Leboyan.
"Berdasarkan penuturan masyarakat, kekeruhan memburuk sejak maraknya illegal logging dan pembangunan jalan yang tidak memperhatikan pengendalian dampak lingkungan di daerah hulu," tutur Linda.
Seorang warga Desa Selimbau Abu, mengatakan, pembalakan liar marak terjadi di sekitar Danau Sentarum antara tahun 2004 hingga 2005. Hal itu membuat hutan alami di sekitar danau menjadi terganggu.
"Banyak pohon di hutan yang ditebang. Ini menyebabkan hutan gundul dan mempengaruhi hasil panen madu. Padahal, selain madu yang dipanen, sarangnyapun dapat dijual dan menambah penghasilan masyarakat," tuturnya.
Ketika Tribun dan rombongan berada di pasar Lanjak, seorang ibu yang berasal dari Desa Semangit menjual Labang Muanyi (sarang lebah) yang bisa dijadikan lauk untuk makan. Ia menjual sarang lebah tersebut Rp 15 ribu per kilogramnya.

Kamis, 18 Desember 2008

Surga Ikan Arwana

Tidak ada komentar :

SATU jenis ikan hias yang banyak diburu para kolektor adalah ikan Arwana (Scleropages formosus). Selain karena keindahan warnanya, ikan Arwana juga mempunyai keunikan, menetaskan telur di mulut pejantan.

Geliat anak ikan Arwana di akuarium milik warga Semitau Hari Sudirman (38), sangat memesona. Harga seekor ikan yang mencapai jutaan rupiah itu, menjadi kebanggaan masyarakat Kapuas Hulu. Karena, habitat alami ikan Arwana ada di danau Sentarum.
Sebagian besar masyarakat yang hidup di danau seluas 32 ribu hektar itu mengembangkan budidaya ikan Arwana. Selain cocok dengan habitat di danau, pakan yang diberikan untuk ikan hias itu juga mudah diperoleh.
"Pakan utama untuk ikan Arwana yang saya pelihara adalah katak. Bisa juga diberikan pakan jangkrik, cicak, udang, dan ikan kecil. Merawat ikan inipun tidak terlalu rumit," ujarnya ketika ditemui di rumahnya, Sabtu (13/12), lalu.
Katak diperoleh Hari dari Pontianak dengan harga Rp 11 ribu per kilogram. Katak tersebut dikirimkan dalam kondisi beku. Sehingga, pakan lebih mudah diberikan kepada ikan yang dipelihara di kolam maupun di akuarium.
Menurut Hari, permasalahan dalam merawat ikan Arwana adalah pada kualitas air yang ada. Keasaman air yang cocok untuk ikan ini berkisar pada angka 5. Perbedaan ikan Arwana yang ada di habitat alami dan kolam adalah, ikan lebih gemuk bila dikembangbiakkan di kolam.
Peneliti dari Center for International Forestry Research (Cifor) Elizabeth Linda Yuliani, mengatakan, nilai penting danau Sentarum dalam perikanan tradisional sangat tinggi. Selain itu, danau yang sebagian besar dipenuhi dengan lahan gambut ini memiliki potensi untuk lokasi UNESCO heritage.
"Semua itu tergantung pada kualitas alami danau Sentarum. Melindungi lahan gambut dan hutan alam danau Sentarum berarti melindungi simpanan dan penyerap karbon, menjaga iklim mikro, mengurangi perubahan iklim global, dan berpotensi untuk pasar karbon," tuturnya.
Linda mengatakan satu potensi perikanan di lahan gambut tersebut adalah ikan Arwana, yang bisa dibudidayakan masyarakat sekitar untuk meningkatkan taraf perekonomian masyarakat. Karena, untuk harga seekor ikan mencapai Rp 2,7 juta.
Pemilik kolam ikan Arwana di Semitau saat ini mencapai 40 orang. Pendapatan yang bisa diperoleh untuk sekali panen mencapai miliaran rupiah. Peternak ikan Arwana biasanya bisa memanen 100 ekor dalam kurun waktu satu hingga tiga bulan.

Biaya Naik Haji
Keuntungan memelihara ikan Arwana banyak dirasakan masyarakat Selimbau. Menurut Camat Selimbau Abang Sudarmo, beberapa masyarakat yang tinggal di desa Selimbau kota bisa naik haji dengan menjual ikan Arwana yang mereka kembangbiakkan.
"Tahun ini saja ada 16 orang masyarakat desa Selimbau kota yang berangkat naik haji. Mereka membiayai ongkos keberangkatan dengan menjual ikan peliharaan mereka. Setidaknya, masyarakat mengembangkan ratusan ekor ikan Arwana," tuturnya.
Peternak ikan Arwana warga Selimbau Edi, mengatakan, lima ekor ikan Arwana yang dikembangkannya pernah ditawar untuk dibeli seharga Rp 10 juta per ekor. Namun, ia enggan menjualnya.
Menurut Edi, ikan Arwana yang dikembangkannya bisa mencapai Rp 50 juta per ekor. Karena, ia menggunakan air danau Sentarum untuk tempat perkembangbiakannya di akuarium. Edi hanya menggunakan aerator dan penyaring dari kapas untuk menyaring air danau.
Keuntungan memelihara ikan Arwana juga dialami oleh warga desa Gudang hulu Dusun Gertak Baru Selimbau, Sukiman. Lima ekor sapi yang dipeliharanya dibeli dari hasil menjual dua ekor ikan Arwana.
"Harga dua ekor ikan tersebut Rp 12 juta. Sekarang ikan Arwana yang masih ada sebanyak lima ekor. Ikan tersebut dipelihara selama setahun, mulai dari anakan hingga sudah besar," tuturnya.

Anggrek Alami Sepanjang Aliran Sungai

Tidak ada komentar :

BILA Italia memiliki wisata air di kota Venezia yang bisa disusuri menggunakan gandola, Kapuas Hulu memiliki kawasan Danau Sentarum yang menyimpan keelokan Anggrek Hitam (Coelogyne pandurata) yang tumbuh alami di hutan sepanjang aliran Sungai Kapuas, dan bisa dinikmati menggunakan long boat (sampan motor).

Jenis anggrek alam di danau Sentarum yang telah teridentifikasi oleh tim peneliti Center for International Forestry Research (Cifor) dan Riak Bumi, sebanyak 135 jenis. Jumlah ini lebih tinggi dibandingkan taman nasional di Kanada yang hanya memiliki 28 jenis anggrek.
Desa yang mengembangkan wisata anggrek di lahan gambut terbesar kedua di Kalimantan Barat itu adalah Pelaik dan Selimbau. Masyarakat menjaga tanaman anggrek alami yang tumbuh parasit di pohon, dengan membentuk Kelompok Wisata Anggrek Danau Sentarum (KWADS).
Menurut peneliti anggrek dari Cifor Leon Budi Prasetyo, wilayah Pelaik memiliki sekitar 50 jenis anggrek. Sedangkan Selimbau memiliki sekitar 40 jenis anggrek. Jenis anggrek yang tumbuh alami tersebut memiliki potensi untuk dijadikan objek wisata di danau Sentarum.
Karenanya, wisata anggrek dapat menjadi pilihan utama pengunjung yang datang ke wilayah Danau Sentarum, yang sebagian besar didominasi oleh perairan. Transportasi yang digunakan masyarakat kebanyakan adalah sampan, sampan motor, ataupun motor Bandong (home boat).
Ketua kelompok KWADS Selimbau Saharman, mengatakan, sudah setahun menjaga anggrek alam yang ada di tepi aliran sungai desa. Kelompok ini beranggotakan lima orang, yang setiap hari selalu berkeliling di sepanjang aliran sungai menggunakan sampan.
"Bila ada tanaman anggrek yang jatuh ke air, kami akan meletakkan kembali ke pohon. Hal ini kami lakukan untuk menjaga kelestarian tanaman anggrek di hutan kami," tuturnya kepada Tribun, Sabtu (13/12), lalu.
Melihat tanaman anggrek yang hidup di pohon di pinggir sungai menggunakan long boat, memberikan kenikmatan tersendiri. Kicau burung Murai Batu, kelebatan burung Bangau dan Elang, menambah penyusuran sungai menjadi tidak membosankan.
Apalagi, rindangnya hutan memberikan kesan teduh kepada pengunjung. Alternatif lain bila pengunjung tidak menyukai tanaman anggrek adalah memancing. Menurut warga Selimbau bernama Abu, jenis ikan yang ada di sungai desa mereka adalah ikan Baung, Lais, Toman, dan Patik.
Selain anggrek yang tumbuh alami di sepanjang aliran sungai, KWADS Selimbau juga menjaga anggrek di daratan yang mempunyai luas sekitar tiga hektar. Ketika Tribun dan rombongan berkeliling di taman anggrek tersebut, serumpun anggrek hitam sedang mekar.
Keelokan tanaman lain yang disuguhkan taman anggrek alami Selimbau adalah berjenis tanaman Kantung Semar (Nepenthes sp). Tanaman ini tumbuh menyebar di tanah yang terbuka dan cukup matahari, serupa dengan habitat anggrek.

Rabu, 10 Desember 2008

Pernikahan Adat Dayak Kalis, Leroy Mau Bawa Pulang Pakaian Adat

2 komentar :

WARGA negara Amerika Serikat, Leroy James Bailey, tampak gagah mengenakan pakaian adat Dayak. Laksana pangeran kerajaan, ia tiba di Betang di Jalan Sutoyo Pontianak, Senin (8/12), dengan iringan tabuhan dan tarian. Ia mengendarai mobil bak belakang terbuka yang dihias menyerupai perahu Jajang.

Upacara adat yang dijalani Leroy merupakan lanjutan pernikahan resmi (catatan sipil) bersama Briggita Romanda Kaliska atau Gitta, yang dilakukan di Franklyn Courthouse Louisiana Amerika Serikat pada 27 Juli 2007. Buah cinta pernikahan tersebut adalah Gabriella Anna Marie Bailey atau Gabby yang berusia 11 bulan.
Leroy tampak selalu tersenyum. Ia menjalani prosesi perkawinan adat sub suku Dayak Urang Kalis yang berasal dari Kabupaten Kapuas Hulu. Prosesi tersebut dilaluinya setelah menikahi Gitta, perempuan yang berasal dari daerah itu.
"Upacara ini sangat unik. Ini merupakan kedatangan pertama saya ke sini (Kalimantan Barat) dan juga pengalaman pertama mengikuti upacara seperti ini," tuturnya kepada Tribun di beranda Betang, Senin (8/12), usai melakukan upacara adat.
Leroy yang menuntut ilmu di US Air Force, The Reserve Officers Training Corps (ROTC) Morgan City Los Angeles, mengaku, sedikit bingung dengan prosesi penikahan adat. Ia harus melalui 13 prosesi adat, juga upacara adat Apandaor (menurunkan anak ke tanah/sungai), untuk putrinya.
Hujan deras tak menyurutkan langkah Leroy menjalani setiap prosesi. Meskipun tidak menguasai bahasa Indonesia dan bahasa Dayak Kalis, Leroy sangat serius melalui tahapan upacara pernikahan adat, itu.
Ketika tiba di Betang, Leroy ditunggui Gitta dan Temanggong (tetua adat) yang berdiri di depan sebuah batang kayu yang melintang sebagai Ompang Panyialo (penghalang). Kayu tersebut harus dipatahkannya menggunakan Mandau.
Ada dua penghalang yang harus dipatahkan Leroy. Penghalang tersebut berada di pintu masuk dan depan tangga Betang. Penghalang tersebut merupakan simbol rintangan dalam kehidupan yang harus dilalui oleh Leroy.
"Saya sangat menyukai prosesi mematahkan penghalang. Prosesi itu unik. Karena, usai penghalang dipatahkan, saya disambut pihak keluarga perempuan dan disambut dengan segelas Geram (tuak) dan tarian," tuturnya.
Leroy juga menyukai pakaian adat yang dikenakannya. Menurut Gitta, Leroy pernah mengutarakan hal itu kepada dirinya. Pakaian berbahan manik-manik tersebut ingin dibawa pulang ke Amerika.
"Ia ingin pakaian tersebut menjadi kenang-kenangan pernikahan yang bisa disimpan di rumah. Leroy mengatakan hal itu ketika pertama kali melihat dan mengenakan pakaian adat tersebut," ujar Gitta.
Menurut mahasiswi University of Louisiana Lafayette jurusan Bisnis, itu, ia belum tahu apakah akan memenuhi keinginan Leroy atau tidak. Karena, dirinya masih terfokus pada upacara pernikahan adat terlebih dahulu.


Tentukan Nama Pakai Temu Lawak

SEBAGAI peranakan Amerika Serikat dan Indonesia, khususnya berdarah Dayak Kalis, Gabriella Anna Marie Bailey atau Gabby yang berusia 11 bulan, harus melalui prosesi adat Apandaor (anak turun ke tanah/sungai). Prosesi tersebut diakhiri dengan pemberian nama Dayak, yang ditentukan menggunakan buah Temu Lawak.
Seperti bocah kebanyakan, tingkah Gabby tampak menggemaskan. Ketika alat musik tradisional ditabuh untuk memulai prosesi Apandaor, jemari kedua tangannya berputar, menari. Ketika musik terhenti, jemari tangan kanannya bergerak membuka dan menutup.
Berada digendongan Ir Anna Veridiana I Kalis M Sc, neneknya, Gabby menjadi pusat perhatian tamu yang datang. Bocah itu juga tak rewel ketika kilatan blitz kamera mengarah kepadanya. Bahkan, ia melambaikan tangan kanannya ke arah juru foto.
Kekhawatiran terlihat dari wajah Leroy James Bailey, ayah Gabby, yang selalu mengawasi putrinya dari arah sebelah kanan mertuanya. Beberapa kali ia berbisik pada Brigitta Romanda Kaliska atau Gitta, istrinya, bila ia melihat wajah Gabby menunjukkan akan menangis.
Menurut Gitta, kekhawatiran Leroy muncul bila ada orang baru yang belum dikenal menyentuh atau mengendong putrinya. Perempuan yang menempuh pendidikan di University of Louisiana, itu, mengaku memaklumi kekhawatiran suaminya.
"Apalagi Gabby harus dimandikan sebelum dilakukan pemberian nama. Kondisi hujan dan dingin menyebabkan Leroy khawatir bila kondisi kesehatan Gabby menjadi lemah," tuturnya kepada Tribun di beranda Betang Jalan Sutoyo, Senin (8/12).
Sebuah kolam plastik hijau berdasar kuning yang berisi air dan taburan bunga, diletakkan dekat tangga beranda betang sisi kiri. Kolam itu menjadi tempat mandi Gabby untuk upacara Apandaor. Sebelumnya, air kolam tersebut didoakan oleh Temanggong (tetua adat).
Doa yang dilafalkan dalam bahasa Dayak Kalis meluncur dari mulut Temanggong, seraya mengarahkan ujung mata tombak pada air kolam. Dari gendongan neneknya, Gabby menatap lekat pada Temanggong dan ujung tombak yang mengarah ke tempat mandinya.
Selain dilakukan oleh orangtuanya, prosesi memandikan Gabby juga dilakukan oleh Barcunda Sturjaya SH MM, kakeknya. Sedangkan kakek dan neneknya dari Amerika, tidak bisa menghadiri prosesi adat tersebut.
Menurut Gitta, Louis Adam Topham dan Agnes Giroir Topham, mertuanya, sangat ingin turut serta dalam prosesi adat yang dilakukan. Namun, keinginan tersebut kandas akibat bencana badai Ike dan Gustaf.
"Rumah mertua saya ikut terkena badai tersebut. Mereka memutuskan tidak jadi ikut ke Indonesia karena harus memperbaiki rumah yang terkena badai. Mereka menitip doa buat Gabby, agar prosesi adat ini berjalan dengan lancar," tuturnya.
Usai prosesi Ipamandi (mandi) sebagai satu bagian adat Apandaor, tahapan selanjutnya adalah Yan Tasang (pemberian nama Dayak Kalis). Tiga nama sudah disiapkan untuk Gabby, yang harus dipilih secara berurutan. Yakni Bunga Lita, Indang, dan Kabang.
Uniknya, pemberian nama dilakukan oleh Temanggong dengan bantuan buah temu lawak yang sudah dikupas kulit luarnya. Buah tersebut dibelah menjadi dua bagian sama besar. Menurut Temanggong, pemilihan nama bisa digunakan Gabby, berdasarkan tanda dari buah temu lawak.
"Kalau buah menutup dan membuka, maka nama sudah direstui oleh Yang Kuasa melalui tanda tersebut. Kalau buah tersebut tidak terbuka dan menutup sampai tiga kali, nama pertama yang dipilih dibatalkan dan dilakukan pemilihan nama kedua yang sudah disiapkan. Begitu seterusnya," tuturnya.
Usai melafalkan doa, Temanggong melakukan lemparan pertama buah temu lawak ke udara. Para tamu yang menanti hasil pemilihan nama terlihat tenang. Ketika tiba ke lantai, dua bagian buah tersebut jatuh menutup dan harus diulangi. Nama Bunga Lita untuk Gabby baru diperoleh dalam lemparan yang kedua, setelah buah jatuh dalam posisi berlawanan.
Menurut Anna, nama tersebut sama seperti nama Dayak Kalis yang dimilikinya. Anna mengharapkan keindahan nama Bunga Lita tersebut dapat terpancar dalam sikap dan perilaku Gabby nantinya.

Foto by Ishaq

Minggu, 16 November 2008

Asal Muasal Kerajaan Mempawah

Tidak ada komentar :
Berawal Dari Bangkule Rajank

Kerajaan Mempawah banyak dikenal orang karena pemerintahan raja Opu Daeng Menambon pada 1737-1761. Namun, kerajaan ini sebelumnya sudah ada jauh sebelumnya, sekitar 1380.

Pusat pemerintahan Kerajaan Mempawah pertama kali berdiri di pegunungan Sadaniang. Kerajaan yang terkenal pada saat itu adalah kerajaan suku Dayak, yang dipimpin oleh Raja Patih Gumantar.

Nama kerajaannya adalah Bangkule Rajank, dengan ibukota yang ditetapkan di Sadaniang. Kerajaan tersebut lebih terkenal dengan nama kerajaan Sadaniang, yang menjadi pusat pemerintahan pada saat itu.

Kejayaan kerajaan Bangkule Rajank membuat Kerajaan Suku Biaju (Bidayuh) di Sungkung ingin menguasainya. Perangpun timbul untuk merebut kekuasaan dari tangan Patih Gumantar.

Peperangan kala itu dilakukan dengan cara Kayau (memenggal kepala manusia). Serangan yang tiba-tiba dari kerajaan Bidayuh, membuat Patih Gumantar mengalami kekalahan. Raja yang terkenal gagah berani itu, meninggal akibat terkayau oleh lawannya.

Sejak kematian Patih Gumantar, perlahan-lahan kerajaan Bangkule Rajank mengalami kehancuran. Namun, kerajan ini bangkit kembali sekitar 1610 di bawah pimpinan Raja Kudong.

Kerajaan yang baru terisi oleh Raja Kudong setelah terjadinya perang Kayau, merupakan kepemimpinan baru yang bukan berasal dari keturunan Patih Gumantar. Ia memindahkan pusat pemerintahan kerajaan ke Pekana (sekarang dinamakan Karangan).

Pengganti Raja Kudong adalah Raja Senggaok yang lebih dikenal sebagai Panembahan Senggaok. Pusat pemerintahanpun berpindah lagi ke Senggaok (hulu sungai Mempawah). Raja ini menikahi seorang putri Raja Qahar dari kerajaan Baturizal Indragiri, Sumatera, yang bernama Puteri Cermin.

Ketika mereka menikah, seorang tukang nujum meramal kehidupan mereka. Tukang nujum mengatakan, bila Panembahan Senggaok dan Puteri Cermin melahirkan seorang putri, maka kerajaan nantinya akan diperintah oleh raja yang berasal dari kerajaan lain.

Hasil pernikahan tersebut melahirkan seorang anak perempuan yang dinamai Mas Indrawati. Ketika putri mahkota beranjak dewasa, ia menikah dengan Sultan Muhammad Zainuddin dari kerajaan Matan (Ketapang).

Mas Indrawati melahirkan seorang putri yang berparas cantik. Sultan Muhammad Zainuddin menamai anaknya itu Putri Kesumba, yang akhirnya menikah dengan Opu Daeng Menambon.


Raja Seorang Pelaut

Opu Daeng Menambon bukanlah orang Kalimantan asli. Ia beserta empat orang adiknya berasal dari kerajaan Luwu di Sulawesi Selatan. Mereka terkenal sebagai pelaut yang handal dan merantau keluar dari tanah kelahirannya.

Lautan yang mereka arungi antara lain Banjarmasin, Betawi, berkeliling hingga Johor, Riau, Semenanjung Melaka. Selama mengarungi lautan, mereka banyak membantu kerajaan-kerajaan kecil yang mengalami kesulitan.

Bantuan yang mereka lakukan tersebut berbentuk membantu kerajaan kecil berperang, baik perang saudara maupun diserang oleh kerajaan lain. Seringnya mereka memenangi peperangan mengakibatkan mereka dikenal banyak orang dan kerajaan.

Merekapun sampai di daerah Kerajaan Tanjungpura (Matan), yang sedang mengalami perang saudara. Penyebab perang tersebut adalah Sultan Muhammad Zainuddin diserang oleh adik kandungnya yang bernama Pangeran Agung.

Pemberontakan dan perampasan tahta kerajaan oleh Pangeran Agung berhasil dipadamkan oleh Opu Daeng Menambon beserta adiknya. Bahkan, Opu Daeng Menambon boleh mempersunting Putri Kesumba. Mereka dikaruniai sepuluh anak, diantaranya adalah Utin Chandramidi dan Gusti Jamiril atau Panembahan Adijaya Kesuma Jaya.

Sekitar tahun 1740, Opu Daeng Menambon dan istrinya menuju ke Mempawah. Merekapun mengunjungi Senggaok dan dilakukan serah terima pemerintahan dari Pangeran Adipati kepada Opu Daeng Menambon. Pusat kerajaan dipindahkan ke Sebukit Rama (sekitar 10 kilometer dari Kota Mempawah).

Opu Daeng Menambon dikenal sebagai raja yang bijaksana. Penduduknya beragama Islam dan taat. Ia selalu bermusyawarah dengan bawahannya dalam memecahkan segala persoalan yang terjadi di kerajaannya.


Gusti Jati Pendiri Kota Mempawah

Gusti Jamiril atau Panembahan Adijaya Kesuma Jaya merupakan penerus tahta kerajaan Mempawah setelah Opu Daeng Menambon meninggal dunia pada 26 Syafar 1175 Hijriah. Masa kepemimpinan Gusti Jamiril membawa kemakmuran wilayah kerajaan yang dikuasainya.

Masa keemasan Gusti Amiril tersebut, bersamaan dengan masa penjajahan Belanda. Bahkan, kerajaan Mempawah selalu bertempur melawan Belanda. Hal itu disebabkan, raja Mempawah diisukan membenci dan akan memberontak pemerintahan Hindia Belanda.

Kabar tersebut membuat Belanda murka dan mengirimkan tentara prajurit yang bermarkas di Pontianak untuk menyerbu kerajaan Mempawah. Gusti Amiril yang mengetahui adanya penyerbuan, memutuskan memindahkan pusat pemerintahan ke Karangan.

Akibat sulitnya medan perjalanan dari Mempawah menuju Karangan, gerakan pasukan Belanda menjadi lamban dan gagal. Kebencian Panembahan Adijaya Kesuma Jaya semakin menjadi kepada Belanda.

Selama hayatnya, Gusti Jamiril berusaha untuk mengusir penjajah Belanda. Bahkan, sebelum meninggal, ia berpesan apabila meninggal dunia, dirinya tidak rela dikebumikan ke luar dari Karangan.

Jabatan raja sepeninggal Gusti Jamiril dipimpin oleh anaknya, Gusti Jati yang bergelar Sultan Muhammad Zainal Abidin. Kedudukan Gusti Jati yang berada di Mempawah, dipercaya sebagai pendiri Kota Mempawah.

Kedudukan Gusti Jati digantikan oleh adiknya yang bernama Gusti Amir dan bergelar Panembahan Adinata Karma Oemar Kamaruddin. Setelah Gusti Amir wafat, ia digantikan oleh anaknya yang bernama Panembahan Mukmin.

Namun, usai penobatan kerajaan dilakukan, Panembahan Mukmin meninggal dunia. Iapun dikenal dengan sebutan Raja Sehari. Karena putranya masih kecil dan dirasa belum mampu mengurus kerajaan, penerus kepemimpinan kerajaan diserahkan kepada adiknya, Gusti Mahmud, yang bergelar Panembahan Muda Mahmud.

Wafatnya Gusti Mahmud digantikan oleh putra Panembahan Mukmin yang bernama Panembahan Usman dan bergelar Panembahan Usman Natajaya Kesuma. Ia mangkat pada 6 Jumadil, awal 1280 Hijriah, dan dimakamkan di Pulau Pedalaman.


Perjuangan Melawan Penjajah

Selepas Panembahan Usman wafat, tampuk kepemimpinan Kerajaan Mempawah dipegang oleh putra Panembahan Muda Mahmud bernama Panembahan Ibrahim Muhammad Tsaifuddin. Masa pemerintahannya inilah, pennindasan penjahan Belanda merajalela dan mengakibatkan masyarakat menderita.

Tak tahan ditindas, masyarakat mulai mengadakan pemberontakan kepada penjajah Belanda. Terlebih, dengan diberlakukannya pembayaran pajak oleh masyarakat dengan cara pemaksaan.

Pemberontakan dilakukan oleh suku Dayak. Peperangan tersebut dikenal dengan nama perang Sangking, hingga mayarakat banyak merasa antipati dengan keberadaan Belanda di tanah kerajaan Mempawah.

Setelah Panembahan Ibrahim Muhammad Tsaifuddin wafat, pimpinan kerajaan yang semula akan diberikan kepada putranya, Gusti Muhammad Taufik. Tetapi, putranya tersebut belum dewasa, hingga kerajaan dipimpin sementara oleh Pangeran Ratu Suri, kakak dari Gusti Muhammad Taufik.

Pada 1902 masehi, Gusti Muhammad Taufik dirasakan sudah cukup umur untuk memimpin kerajaan. Iapun naik tahta dan bergelar Panembahan Muhammad Taufik Accamaddin. Ia ditawan oleh Belanda bersama raja-raja daerah lainnya serta para pemimpin pemuka masyarakat.

Lepas dari tawanan Belanda, Gusti Muhammad Taufik diculik oleh penjajah Jepang. Bersama para tokoh masyarakat yang diculik, ia dibunuh. Lokasi pembunuhan sekaligus tempat pemakaman terjadi di Mandor.

Gusti Muhammad Taufik meninggalkan empat orang anak. Yakni Pangeran Mohammad atau yang saat ini dikenal bernama Drs H Jimmi Mohammad Ibrahim, Pangeran Faitsal Taufik, Pangeran Abdullah, dan Pangeran Ratu Hajjah Thaufiqiyah Mohammad Taufik.

Pada masa itu, dibentuklah Bestuur Komisi sebagai pengganti raja yang diketuai oleh Pangeran Wiranata Kesuma (1944-1946).


Akhir Kepemimpinan Kerajaan Mempawah

Sebelum pendaratan pasukan sekutu di Kalimantan Barat, Pangeran Mohammad yang baru berumur 13 tahun pernah diangkat menjadi panembahan (tokoh) Mempawah oleh pemerintah bala tentara Jepang dalam suatu upacara di depan gedung Kerapatan.

Tokoh-tokoh masyarakat kemudian melakukan lagi upacara penobatan yang sama pada tahun 1946. Tahun ini pula Belanda (NICA) datang lagi ke Mempawah dan mencoba mengangkat raja kembali.

Karena Panembahan Pangeran Mohammad (Drs H Jimmi Mohammad Ibrahim) belum dewasa dan ingin melanjutkan sekolahnya yang baru duduk di kelas VSD (Jokio Ko Gakko), ia tidak bersedia diangkat kembali.

Pengganti Pangeran Mohammad adalah Gusti Musta’an yang menjadi raja sementara bergelar ‘wakil panembahan’ hingga tahun 1955. Meskipun sudah pernah dinobatkan secara formal menjadi Panembahan dan sudah dewasa, Pangeran Mohammad menyatakan tidak bersedia menggantikan ayahnya sebagai raja.

Penolakan tersebut dikarenakan dirinya ingin terus melanjutkan pendidikannya di perguruan tingga Gadjah Mada Yogyakarta. Keputusannya itu mengakhiri kepemimpinan kerajaan Mempawah.

Sejak berdirinya kerajaan Mempawah hingga berakhirnya masa kepemimpinan berakhir, kerajaan sudah mengalami perpindahan pusat kerajaan sebanyak lima kali. Yakni pegunungan Sadaniang, Pekana, Senggaok, Sebukit Rama, dan Mempawah.

Raja yang memimpin kerajaan Mempawah dibagi dalam dua zaman, yaitu zaman Hindu dan Islam. Zaman Hindu dipimpin oleh tiga raja, sedangkan zaman Islam dipimpin oleh 13 raja.

Raja zaman Hindu adalah Patih Gumantar, Raja Kudong, dan Panembahan Senggaok. Raja zaman Islam adalah Opu Daeng Menambon, Gusti Jamiril, Syarif Kasim, Syarif Husein, Gusti Jati, Gusti Amir, Gusti Mukmin, Gusti Mahmud, Gusti Usman, Gusti Ibrahim, Muhammad Tsafiudin, Drs Gusti H Jimmi Muhammad Ibrahim, dan Ir Mardan Adijaya M Sc P Hd.


Sumber : Mempawah Tempoe Doeloe




Rabu, 27 Februari 2008

Betang Saham, Peradaban Yang Tergerus Waktu

1 komentar :



Borneo Tribune, Ngabang
Dinding bangunan betang (Rumah Panjang) Saham kini hanya menggunakan papan biasa yang sudah terlihat kusam. Lantai terasnya pun berupa potongan-potongan kayu tua yang mulai lapuk. Saksi sejarah tersebut kini semakin renta.
Bangunan Betang Saham yang dahulunya terlihat megah (karena dibangun dengan kayu Ulin/Belian), namun kini kondisinya sungguh memprihatinkan. Seolah-olah tidak ada usaha dari pihak manapun untuk merenovasi bagunan ini.
Padahal, kalau kita lihat. Fungsi Betang merupakan sentral aktifitas suku Dayak. Dimana tatanan sosial, ekonomi, budaya dan politik, terjadi di dalam rumah panjang dengan hall (ruangan) yang luas di bagian tengahnya. Masyarakat yang tinggal di Rumah Betang masih memegang teguh adat istiadat, tradisi atau budaya, dan memegang teguh kehidupan bersama serta bergotong royong.
Berdasarkan cerita dari leluhur atau sesepuh Rumah Betang yang terletak di Desa Saham, Kecamatan Sengah Temila, Kabupaten Landak. Betang tersebut merupakan tempat tinggal masyarakat Dayak Kanayant. Betang Saham berdiri sejak 1875. Bangunan ini terdiri dari 35 pintu atau blok. Setiap pintu atau blok dihuni oleh 1 kepala keluarga dan panjangnya 180 meter.
Menurut Ibu Sofa, penghuni Betang Saham, yang ditemui di rumahnya beberapa waktu lalu. Saat ini Betang hanya berpenghuni 32 kepala keluarga. “Dua pintu kosong dan 1 pintu digunakan untuk perpustakaan,” ujarnya. Perpustakaan tersebut merupakan bantuan dari Dinas Pendidikan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Landak.
Menurut Drs. Bartho, Kepala Seksi (Kasi) Kebudayaan dan Pariwisata Pemkab Landak, perpustakaan yang ada di Betang Saham masih menempati kamar yang biasanya digunakan sebagai penginapan bagi para turis. “Sebenarnya lokasi perpustakaan tersebut sudah ditentukan di kamar paling ujung,” ujarnya.
Dalam kehidupan bermasyarakat, penghuni Betang Saham memiliki Pasirah (orang yang dituakan), yaitu pak Ngidar. Selain itu adapula Kepala Desa, Pak Jimpol, yang sudah memimpin selama 4 (empat) periode.
Mata pencaharian penghuni Betang Saham sebagian besar adalah petani. Yang mengolah lahan di sekitar Betang. Mata pencaharian lain mereka adalah sebagai penyadap karet. Bartho mengatakan masyarakat yang ada di Desa Saham sudah sejak 1980 lalu menolak masuknya perkebunan sawit di Desa mereka.

Sudah Mengajukan Renovasi
Tampilan fisik Betang Saham yang sudah terlihat dimakan usia, ternyata sudah beberapa kali diajukan untuk direnovasi. Menurut Bartho, pengajuan kepada pihak Pemkab Pontianak (Kabupaten Landak merupakan daerah pemekaran dari Kabupaten Pontianak pada 1999 lalu) tersebut mulai dilakukan pada 1983. “Terutama untuk pelataran depan,” ujarnya. Akan tetapi belum ada tanggapan sama sekali.
Pengajuan renovasi pun kembali diutarakan pada 1989 dan 1994. Namun tetap saja, ujar Bartho, tidak ada alokasi dana yang disediakan untuk membiayai renovasi Betang Saham tersebut.
Ketika pemekaran terjadi pada 1999 lalu, ujar Bartho, Pemda Landak mengutamakan pembangunan infrastruktur. “Kita (Dinas Pariwisata) memaklumi hal itu,” ujarnya. Dikarenakan infrastrutur yang ada di Landak dulunya masih belum memadai. Dimana untuk menciptakan pembangunan di suatu daerah, harus memiliki infrastruktur yang memadai dan mudah untuk dilalui sebagai jalur transportasi dan perdagangan.
Angin segar mengenai renovasi Betang Saham baru diperoleh pada 2008 ini. ‘Dinas Pariwisata Provinsi sudah mengadakan pengukuran untuk renovasi Betang,” ujar Bartho. Bersama dengan Dinas Keperbukalaan dari Jakarta.
Meskipun sudah dilakukan pengukuran, ujar Bartho, namun kita belum tahu realisasinya. “Harapan kita Betang Saham bisa bertahap di renovasi,” ujarnya. Sebagai aset daerah yang dapat menambah khasanah budaya di Kalimantan Barat.
Selain itu pula, lanjut Bartho, renovasi ini jangan hanya merupakan agenda kerja Dinas Pariwisata tingkat Provinsi saja. “Setidaknya juga dari pemerintah pusat dan pemda Landak,” ujarnya. Dengan pendanaan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) dan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara).
Sehingga kepedulian terhadap pelestarian budaya yang beragam di Indonesia, yang berada di daerah luar Jawa juga menjadi perhatian yang serius dari pemerintah pusat.

Maju Dalam Pendidikan
Meskipun masih memegang teguh pada pola tradisional dalam hal adat, masyarakat Desa Saham sangat peduli terhadap pendidikan. Hal ini ditunjukkan dengan adanya perpustakaan yang ada di Betang Saham. Menurut Bartho, mayoritas masyarakat Desa Saham mengenyam pendidikan hingga tingkat Sarjana.
Penuturan Bartho bukan hanya isapan jempol belaka. Beberapa putra terbaik yang berasal dari Desa Saham, kini sudah menempati posisi penting di tingkat pemerintahan dan juga kalangan akademisi.
Sebut saja Dr. Bahari Sinju S, yang lahir dan hidup di Betang Saham. Beliau merupakan alumnus IKIP (Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Karang Malang Yogyakarta. Saat ini beliau adalah seorang dosen di FKIP (Fakultas Ilmu Keguruan dan Pendidikan) Universitas Tanjungpura. Beliau juga sebagai peneliti Dayak Kanayant di Institute of Dayakology Research and Development (IDRD).
Keterwakilan perempuan dari Desa Saham dalam bidang Akademis dipelopori oleh Dr. Regina. Beliau saat ini juga menjadi peneliti dan tenaga pengajar di FKIP Untan.
Di tingkat Pemerintahan, salah satu putra terbaik Desa Saham saat ini menjabat sebagai Bupati di Kabupaten Landak. Beliau adalah Drs. Adrianus Asia Sidot, M.Si. Selain menjabat sebagai Bupati, beliau juga ketua Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) wilayah Kalbar. Beliau juga kandidat Doktor dari salah satu Universitas di Jakarta.
Walaupun kondisi masyarakat Desa Saham masih terbelakang dan sering dipandang sebelah mata, tetapi mereka juga memiliki putra-putri terbaik yang dapat dijadikan motivator. Dan mampu berkecimpung di ranah pendidikan dan pemerintahan. Hal ini menjadi suatu kebanggaan, dimana dari Desa terpencil. Mereka memiliki potensi yang besar dan patut diperhitungkan.

Sejarah Kabupaten Landak

1 komentar :



Borneo Tribune, Ngabang
Buah pemekaran wilayah Kabupaten Landak sebagai daerah pemekaran kedua di Kalimantan Barat, kini mulai ranum. Proses panjang yang dilalui secara bertahap. Sedikit demi sedikit mulai menunjukkan hasil. Kuku-kuku tajam pembangunan, menancap lebih dalam ke tanah Landak Edo’. Yang bergeliat untuk pencapaian pembangunan dan sumber daya manusia yang berkualitas.
Kabupaten Landak merupakan pemekaran wilayah dari Kabupaten Pontianak berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 55 tanggal 4 Oktober 1999, tentang pembentukan Kabupaten Landak dengan ibukota yang berkedudukan di Ngabang.
Berdasarkan UU tersebut, luas wilayah Kabuapten Landak adalah 9.909 kilometer per segi. Terdiri dari wilayah kerja pembantu Bupati Pontianak di Ngabang sebanyak 5 kecamatan.
Kecamatan tersebut adalah Ngabang, Air Besar, Menyuke, Sengah Temila, dan Meranti. Kemudian menjadi 10 kecamatan dengan tambahan kecamatan Sebangki, Menjalin, Kuala Behe, Mandor, dan Mempawah Hulu.
Kabupaten Landak mempunyai batas wilayah di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Bengkayang. Sebelah timur dengan Kabuapten Sanggau. Sebelah selatan dengan Kabupaten Pontianak. Sebelah barat dengan Kabupaten Pontianak.
Dengan terbentuknya Kabupaten Landak, wilayah Kabupaten Pontianak berkurang seluas wilayah Kabupaten Landak. Selain itu wilayah kerja Pembantu Bupati Pontianak wilayah Ngabang yang dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri pada 13 Maret 1985 Nomor 821.26-224 dinyatakan dihapus.

Pemekaran Daerah Dari Aspirasi Masyarakat
Pemekaran wilayah yang diajukan ke Pemerintah pusat dan disetujui pada 1999 lalu, merupakan suatu usaha masyarakat dengan perjalanan yang panjang. Aspirasi masyarakat untuk pemekaran wilayah Kabupaten Pontianak telah disuarakan sejak 1957.
Bukan tanpa alasan aspirasi tersebut disuarakan, mengingat Kabupaten Pontianak memiliki wilayah yang luas. Yaitu 18.171,20 kilometer per segi. Sebagaimana diatur dalam UU Nomor 27/1959 tentang Penetapan UU Nomor 3/1953 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan.
Karena aspirasi masyarakat tidak mendapatkan tanggapan, usulan mengenai pemekaran daerah muncul kembali pada 1970-an dan 1980-an. Akan tetapi usulan ini tetap menjadi angan-angan masyarakat saja dikarenakan tidak pernah ditanggapi oleh pemerintah tingkat atas baik pemerintah Provinsi maupun pemerintah Pusat. Usulan hanya sekedar wacana karena tidak ada ‘angin segar’ yang diberikan oleh pemerintah Pusat.
Seiring berjalannya waktu, kebutuhan untuk membantu tugas pemerintahan dirasakan oleh pemerintah Provinsi menjadi suatu hal yang sangat penting untuk dilaksanakan. Terlebih untuk pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat.
Kebutuhan ini mewujudkan terbentuknya wilayah kerja Pembantu Bupati Pontianak wilayah Ngabang dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 821.26-224 tanggal 13 Maret 1985.
Usulan pemekaran wilayah Kabupaten Pontianak disuarakan kembali pada 1992 dari DPRD Kabupaten Tingkat II Pontianak periode 1992-1997. Yang tertuang dalam rumusan keputusan DPRD Tingkat II Pontianak Nomor 01 tanggal 6 Januari 1992, tentang pernyataan pendapat mengenai pemekaran Daerah Tingkat II Pontianak.
Kali ini aspirasi masyarakat Kabupaten Pontianak mengenai usulan pemekaran wilayah mendapatkan respon Gubernur Kalimantan Barat, dengan mengeluarkan surat Nomor 135/0729/Pem.C tanggal 15 Februari 1996.
Perihal surat tersebut adalah pemekaran dan pembentukan daerah otonomi Tingkat II dalam wilayah Kabupaten Pontianak. Dimana setiap rencana pemekaran harus dilakukan dengan penelitian dan pengkajian secara mendalam.
Tentulah penelitian dan pengkajian ini dilakukan oleh para ahli yang dikumpulkan menjadi satu tim penelitian dan evaluasi pemekaran Daerah Tingkat II.
Berdasarkan surat Gubernur tersebut, Bupati Pontianak mengeluarkan surat keputusan Nomor 261/1996 tentang tim peneliti dan evaluasi pemekaran daerah. Yang dilanjutkan dengan pertimbangan Badan Pertimbangan Daerah Tingkat II Pontianak, pada 22 Oktober 1996.

Reformasi Mempercepat Proses Pemekaran
Timbulnya reformasi yang dipicu krisis multi dimensi pertengahan 1997, seperti memberi keuntungan tersendiri bagi para masyarakat yang mengajukan aspirasi pemekaran daerah. Kepercayaan masyarakat kepada pemerintah pusat yang pada waktu itu masih menggunakan sistem sentralisasi, semakin menipis.
Masyarakat yang ada di daerah merasa hasil sumber daya yang mereka miliki ‘dikeruk’ oleh pemerintah pusat untuk pembangunan sendiri. Tanpa memperhatikan pembangunan di daerah.
Akibat ketidakadilan tersebut, timbul banyak pergerakan yang dilakukan masyarakat. Teriakan mereka melalui suara mahasiswa pada waktu itu. Mengorbankan banyak jiwa dan harta. Meskipun begitu, pergerakan tak berhenti hingga tirani rezim orde baru tumbang.
Kelonggaran peraturan pemerintah yang baru terhadap pengajuan masyarakat untuk melakukan pemekaran daerah di beberapa wilayah di Indonesia, turut pula mencuatkan usulan pemekaran Kabupaten Pontianak. Usulan ini pun diproses melalui jalur politik di DPRD dan jalur eksekutif di Birokrasi pemerintah Daerah.
Kesahihan tim penelitian dan evaluasi pemekaran Kabupaten Daerah Tingkat II yang telah ditetapkan pada 1996, diperbaharui. Yang disempurnakan dengan Surat Keputusan Bupati Daerah Tingkat II Pontianak Nomor 192/1998.
Hasil kerja tim didukung oleh DPRD Kabupaten Daerah Tingkat II Pontianak dengan keputusan Nomor 8/1998.
Dengan diagendakannya pemekaran wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Pontianak menjadi Kabupaten Tingkat II Pontianak dan Kabupaten Daerah Tingkat II Landak oleh pemerintah pusat. Maka disempurnakan kembali Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Pontianak Nomor 192/1998 dengan Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Pontianak Nomor 14 tanggal 28 April 1999. Tentang Pembentukan tim Penelitian dan Evaluasi Pemekaran Daerah Tingkat II Pontianak.
Tim bertugas menyusun kerangka pikir sebagai penjabaran rumusan usulan Badan Pertimbangan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Pontianak tentang upaya meninjau kembali status dan batas daerah otonom dan administratif Daerah Tingkat II Pontianak, menjadi Pemerintah Daerah Tingkat II Pontianak dan Pemerintah Daerah Tingkat II Landak.

Kinerja Tim
Berdasarkan Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Pontianak Nomor 14/1999, pembentukan tim pun dilakukan. Susunan anggota tim terdiri atas unsur Eksekutif dan Legislatif. Tim diketuai oleh Asisten Tata Praja Sekwilda Tingkat II Pontianak, yang saat itu dijabat oleh Drs. Laurentius Bakweng.
Ketua tim Legislatif adalah Saronia Telaunbanua yang dibantu oleh 8 orang anggota. Tim Eksekutif dibagi atas tiga bidang. Yaitu bidang pemerintahan, politik serta pertahanan dan keamanan dengan 8 orang anggota. Bidang ekonomi dan pembangunan yang terdiri dari 8 orang anggota. Dan bidang sosial budaya yang terdiri dari 7 orang anggota.
Tim dibantu oleh sekretariat yang terdiri atas 4 orang anggota.
Dalam melaksanakan tugasnya, tim bertanggungjawab langsung kepada Bupati Kepala Daerah Tingkat II Pontianak yang saat itu dijabat oleh Drs. Cornelius Kimha, M.Si.
Hasil kerja tim berupa data yang dituangkan dalam buku dokumen pemekaran wilayah Kabupaten Tingkat II Pontianak. Yang menjadi bahan bagi sidang DPR RI. Bahan verifikasi lapangan dilakukan dengan kunjungan komisi IX DPR RI yang meninjau ke kota Ngabang. Untuk melihat dan mengetahui kondisi riil yang ada.
Pembahasan yang intensif antara DPR RI dengan pihak pemerintah Kabupaten Pontianak, sampai pada kesimpulan bahwa Kabupaten Pontianak layak dimekarkan.
Dukungan dan semangat masyarakat Kabupaten Landak atas terbentuknya kabupaten ini sangat tinggi. Kegembiraan itu terwujud dengan dibentuknya panitia penyambutan yang diketuai oleh Abikusno Borneo.

Pemerintahan Kabupaten Landak
Setelah Kabupaten Landak terbentuk, dilakukan peresmian dan pelantikan pejabat sementara Bupati Landak, yaitu Drs. H. Agus Salim, MM. Beliau dilantik oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden pada 12 Oktober 1999 di Jakarta.
Tidak hanya itu. Penyerahan personil, peralatan, pendanaan dan dokumen (P3D) dilakukan secara simbolis oleh Bupati Pontianak kepada pejabat Bupati Landak pada 2000. yang disaksikan oleh Gubernur Kalimantan Barat, H. Aspar aswin di Ngabang. Hal ini dilakukan demi kelancaran pelaksanaan tugas-tugas dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Pengisian keanggotaan dewan sesuai dengan UU Nomor 15/2000 tentang perubahan UU Nomor 55/1999. Bahwa keanggotaan Dewan Kabupaten Landak diisi oleh anggota Dewan hasil pemilu 1999 yang berasal dari daerah pemilihan Kabupaten Landak.
Penetapan anggota DPRD Kabupaten Landak sebanyak 35 orang berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kalimntan Barat Nomor 453 tanggal 15 Desember 2000. pelantikan dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri Mempawah pada 19 Desember 2000 di Ngabang. Ketua DPRD Kabupaten Landak pertama yaitu Drs. Yosef Kilim.
Berdasarkan sidang paripurna DPRD Kabupaten Landak pada 19 Juli 2001. Terpilih Bupati dan Wakil Bupati depentif atas nama Drs. Cornelis dan Nicodemus Nehen, S.Pd. Yang ditetapkan dengan keputusan DPRD Kabupaten Landak Nomor 19 tanggal 19 Juli 2001, tentang penetapan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Landak periode 2001-2006.
Pelantikan Drs. Cornelis dan Nicodemus Nehen, S.Pd sebagai Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Landak dilakukan oleh Gubernur Kalimantan Barat atas nama Menteri Dalam Negeri pada 6 September 2001 di Ngabang.
Masa pemerintahan Drs. Cornelis, MH menjadi Bupati Kabupaten Landak berlanjut berdasarkan hasil pemungutan suara secara langsung untuk periode 2006-2011, dengan wakil Drs. Adrianus Asia Sidot, M.Si.

Keraton Pakunegara Kesuma Peninggalan Kerajaan Tayan

1 komentar :



Borneo Tribune, Tayan
Sejarah kerajaan Islam, ternyata sangat banyak ditemui di Kalimantan Barat. Salah satunya dapat dilihat dari sisa-sisa peninggalan kerajaan yang masih tersimpan rapi di keraton Pakunegara Kesuma. Yang terletak di kampung Pedalaman, desa Pedalaman, Kecamatan Tayan Hilir, Sanggau.
Keraton Pakunegara Kesuma menghadap ke sungai Kapuas, yang memisahkan desa Pedalaman dan desa Pulau. Jalan dari Keraton menuju sungai Kapuas berupa jalan dengan lebar sekitar setengah meter dan berjarak sekitar 100 meter. Jalan tersebut bukan dari tanah, melainkan semen yang tampak masih baru.
Sisi kiri dan kanan jalan tersebut, tersimpan masing-masing 3 buah meriam, berjarak sekitar 20 meter satu dengan lainnya. Pada meriam paling ujung sebelah kanan jalan menuju sungai, tertulis 1698 pada badan meriam bagian pangkal. Di atas tahun tersebut terdapat simbol berbentuk layang-layang dengan huruf O di sisi kiri dan C di sisi kanan. Kemungkinan meriam tersebut bekas VOC yang tersisa dari masa peperangan.
Bangunan keraton di dominasi cat kuning, yang didirikan dari bahan kayu belian. Keraton hampir menyerupai betang dalam hal tinggi rumah. Atap rumah mengkerucut ke atas.
Tangga rumah menghubungkan antara badan jalan dengan pintu yang menuju ruang utama. Sebagian pintu dan jendela keraton berupa bingkai kaca. Satu kaca terlihat pecah pada bagian kiri paling bawah.
Ruang tamu terlihat sangat luas. Seperangkat bangku dari bahan kayu, diletakkan di sisi kiri ruang tamu, dekat jendela. Dua buah kaca peninggalan kerajaan menempel di sisi kiri dan kanan pintu yang menghubungkan ruang tamu dengan ruangan bagian dalam. Kaca tersebut berdekatan dengan tanduk kerbau dan tempat lilin yang berada di bagian dalam.
Di atas pintu penghubung tersebut, tergantung gambar Gusti Djafar (Raja Tayan ke-12) yang menjadi salah satu korban di Mandor.
Penghubung antara ruang tamu dan ruang utama, berupa sebuah ruangan dalam ukuran kecil. Di sisi kiri dan kanan ruangan ini ada dua pintu kamar. Begitu pula pintu untuk menuju ruang utama, ada di tepi paling kiri dan kanan. Dengan meriam kecil yang berada di sisi kedua pintu tersebut.
Ruang utama berupa ruangan yang sangat luas. Tempat sentral bagi singasana kerajaan berada satu garis lurus dengan pintu keraton yang menghadap ke sungai. Ruangan khusus tersebut dihiasi dengan motif pada sisi luarnya. Kaca nako tiga warna, berada di kedua sisi. Pagar kecil seperti menjadi pembatas untuk ruangan tersebut dengan kamar yang ada di tiap sisinya. Isi ruangan tersebut saat ini hanya sebuah tempat tidur raja yang tinggal rangkanya saja. Ruangan tersebut juga digunakan sebagai tempat pelaminan dan upacara adat berlangsung.
Sebuah tangga menghubungkan lantai atas dan bawah. Lantai atas berfungsi sebagai ruang kamar bagi keluarga Raja, yang masih digunakan hingga raja ke-12.
Menurut Gusti Dadang Kabri (43), anak dari Gusti Ismail (Raja Tayan ke-13), keraton Pakunegara Kesuma memiliki luas lokasi 2 hektar. Lokasi tersebut termasuk untuk sebuah masjid yang berdiri tak jauh dari keraton, di sisi kanan jalan.
Kamar yang ada di keraton saat ini berjumlah 3 ruangan. Yang dihuni oleh 2 kepala keluarga (KK), masih kerabat raja sendiri. “25 tahun lalu masih banyak keluarga yang tinggal di keraton,” ujar Gusti Dadang. Sebanyak 8 KK yang ada saat itu, akan tetapi secara perlahan mereka membangun rumah sendiri dan ada yang berpindah ke Pontianak dan Sanggau.
Gusti Dadang mengatakan bahwa fisik bangunan yang ada hingga saat ini tidak pernah dirubah. “Dari dulu sampai sekarang, keraton ini ya seperti ini,” ujar Gusti Dadang. Sebagian lantai keraton yang terbuat dari kayu belian bahkan sudah kelihatan berlubang.

Peninggalan Keraton
Sebuah ruang kamar dengan tirai kuning dijadikan tempat untuk menyimpan benda-benda peninggalan Keraton Pakunegara Kesuma. Ruang yang berukuran sekitar 4x4 meter tersebut hanya berisi sebuah lemari kayu yang sudah tua.
Di atas lemari tersebut ada sebuah lemari kecil yang ditutup dengan kain kuning. Menurut Gusti Dadang, isi lemari tersebut adalah laras senapang yang dkeramatkan. Gusti Dadang pun komat-kamit sebentar, membacakan sesuatu secara perlahan. Tirai pun dibuka secara perlahan dan membuka laras yang masih dibungkus dengan kain kuning pula. Secara perlahan Gusti Dadang mengambil laras tersebut. “Jangan disentuh,” ujar Gusti Dadang yang tampak memegang beban sangat berat ketika mengangkat laras senapang tersebut.
Benda tersebut merupakan peninggalan sejarah yang diberikan Gusti Mohammad Ali (Raja ke-10). Menurut Gusti Dadang, berdasarkan cerita yang didengarnya. Laras sepang tersebut sudah berada di keraton sejak 1683.
Benda peninggalan keraton lainnya berupa koin dan uang kertas, perisai perang dari tembaga, bokor dan tempat menyimpan peralatan untuk menyirih, kopiah, keramik antik, gong, kain penutup keranda untuk raja yang mangkat, alat mendulang emas, dan baju raja.
Gusti Dadang memberitahu bahwa laras sepang tersebut ada sepasang. Menurutnya, laras yang besar menunjukkan laras senapang laki-laki yang bernama Raden Jimadin. Sedangkan yang kecil merupakan laras senapang perempuan yang bernama Raden Ayu.
Kedua laras senapang tersebut selalu dimandikan setiap 1 Muharam. “Masyarakat biasanya mengambil air bekas memandikan laras senapang tersebut,” ujar Gusti Dadang. Air yang diambil digunakan untuk menyiram tanaman agar subur, siram benih, dan ada yang digunakan sebagai minuman.
Masyarakat sekitar juga ada yang percaya bahwa air bekas pemandian tersebut dapat pula menjadi obat untuk penyakit cacar, diare, dan lainnya.
Cara memandikan laras senapang tersebut, ujar Gusti Dadang, dengan memasukkan air dari mulut laras. Sebuah lubang kecil di bagian pangkalnya merupakan tempat keluarnya air bekas memandikan laras.
Menurut Gusti Dadang, air yang keluar dari lubang kecil tersebut akan berhenti dengan sendirinya sebagai tanda acara mandi sudah selesai. “Padahal air untuk memandikan dimasukkan terus,” ujar Gusti Dadang.
Cerita penemuan kedua laras senapang tersebut pun tak kalah misterusnya. Sebuah penemuan peninggalan sejarah yang cukup unik. Gusti Dadang menceritakan bila kedua laras tersebut ditemukan oleh seorang nelayan ketika sedang memancing.
Laras tersebut ditemukan di kampung Labai dalam posisi timbul dipermukaan sungai dalam jumlah yang banyak. “Akan tetapi hanya bisa diambil dengan cara dipancing,” ujar Gusti Dadang. Hasil pancingan yang diperoleh pun hanya dua buah.
Malam hari setelah mendapatkan laras tersebut. Nelayan tersebut pun mendapatkan mimpi, dimana ada orang tua yang ingin agar laras tersebut dibawa ke keraton. Nelayan tersebut pun membawa laras senapang ke keraton.
Gusti Dadang memberitahu bahwa upacara 1 Muharam yang dilakukan oleh leluhur pada dulunya dengan mengelilingi kota Tayan. “Menggunakan bandong membawa laras tersebut,” ujar Gusti Dadang. Setelah itu diadakan perang ketupat.

Raja Penerus
Gusti Dadang dan Gusti Baliah, merupakan anak dari Gusti Ismail. Tampuk kepemimpinan seharusnya secara otomatis menjadi hak salah satu diantara mereka. Akan tetapi, dengan rendah hati mereka berujar bahwa Indonesia merupakan negara kesatuan dan kerajaan Tayan berada di dalamnya. “Gelar merupakan garis yang bisa berlaku ketika Indonesia belum merdeka,” ujar Gusti Dadang.
Ketika ditanya apakah ada proses pemilihan yang dilangsungkan untuk memilih raja, Gusti Baliah tersenyum kecil. “Mungkin masih 20 puluh tahun ke depan,” ujarnya. menurutnya tidak mudah mencari figur yang diinginkan untuk menjadi seorang raja.
Proses pemilihan pun tidak hanya dilakukan oleh satu keluarga saja. “Perlu rapat keluarga besar,” ujar Gusti Baliah. Rapat ini untuk menentukan calon dan menentukan raja sesuai dengan figur yang diinginkan.
Gusti Barliah memberitahu bila keluarga besar dikumpulkan, tidak hanya dari Tayan saja. Akan tetapi harus dirunut lagi garis keturunan yang masih ada.
Keinginan Gusti Barliah saat ini pun tidak muluk-muluk. Menurutnya, negara kita merupakan negara yang merdeka. “Kita hanya perlu menunggu dan menjaga budaya serta peninggalannya,” ujar Gusti Barliah.

Meriam Karbit di Malam Takbiran

Tidak ada komentar :


Borneo Tribune, Pontianak
Menyemarakkan malam kemenangan setelah menjalani puasa selama sebulan penuh, di lakukan oleh masyarakat Pontianak dengan berbagai cara. Salah satunya adalah dengan dentuman keras meriam karbit yang kebanyakan dilakukan oleh masyarakat yang berada di pinggir sungai Kapuas.
Ridwansyah, warga Banjar Serasan, Pontianak. Bersama beberapa warga lain tampak sibuk pada Selasa (09/10), menjelang terbenamnya mentari. Hanya mengenakan celana pendek tanpa baju, Ridwansyah secara gotong-royong bersama 3 orang warga. Membuat sebuah panggung berukuran 6x4 meter, di atas air.
Panggung tersebut akan digunakan warga untuk menempatkan meriam karbit yang akan digunakan pada malam takbiran. Menurut Ridwansyah, mereka akan mengangkat gelondongan kayu yang akan digunakan sebagai meriam. Yang sudah digunakan pada tahun sebelumnya.
Gelondongan kayu besar tersebut, ujar Ridwansyah, dipendam ke dalam lumpur setelah digunakan. “Bila terkena hujan dan panas, akan cepat lapuk,” ujar Ridwansyah. Sehingga setelah meriam karbit yang menjadi tradisi tahunan tersebut dimainkan. Harus segera dipendam.
Tak jauh di tempat mereka bekerja, 12 gelondongan kayu yang digunakan sebagai meriam. Tersusun rapi berjejer di atas panggung, tepat di bibir sungai.
Beberapa kayu besar tersebut di poles cat biru dan dililit rotan. Tak jauh dari pangkal kayu, dibentuk sebuah lubang kecil yang digunakan untuk tempat menyulutkan api.
Menurut Ridwansyah, kayu yang digunakan sebagai meriam karbit tersebut adalah kayu cempedak air. “Sebenarnya kayu ini tidak terlalu bagus untuk meriam,” ujar Ridwansyah. Karena kayu tersebut berjenis lempung.
Kayu yang baik digunakan sebagai meriam karbit, ujar Ridwansyah, adalah kayu dengan komponen padat dan keras. “Bunyi yang dihasilkan keras dan nyaring,” ujar Ridwansyah. Selain itu kayu yang berjenis keras dapat digunakan untuk meriam dengan jangka waktu yang lama.
Untuk menghasilkan bunyi dentuman yang keras. Terlebih dahulu di masukkan karbit yang dicampur dengan air ke dalam kayu yang sudah dibolongkan pada bagian tengahnya. “Saat karbit dimasukkan. Lubang kecil yang berada di bawah kayu tersebut disumbat,” ujar Ridwansyah. Kemudian dibiarkan beberapa saat. Setelah itu, sumbatan tersebut dibuka untuk membuang airnya.
Ridwansyah mengaku bahwa meriam tersebut akan dimainkan oleh warga pada malam takbiran. “Dengan cara disulut dengan api,” ujar Ridwansyah. Meriam tersebut dimainkan oleh anak-anak maupun orang dewasa.
Dana untuk membeli karbit sebagai bahan utama, ujar Ridwansyah, diperoleh dari hasil swadaya masyarakat. Selain itu, meletakkan gelondongan kayu besar di bibir sungai juga dilakukan oleh warga secara bersama-sama.
Pada malam takbiran, meriam karbit yang dimainkan oleh warga akan dilakukan secara berbalas-balasan. “Warga seberang (sungai-ed) juga sudah menyiapkan meriam karbit,” ujar Ridwansyah seraya menunjuk ke beberapa tempat di seberang yang terlihat gelondongan kayu besar berjejer rapi di bibir sungai.
Malam takbiran akan bertambah meriah dengan dentuman meriam yang saling bersahutan. Nyala obor yang diletakkan pada tiang pancang di bibir sungai sebagai penerang, juga akan memberi kesan tersendiri di malam takbiran.
Selain itu, pekikan takbir ‘Allahu..Akbar..’ tanda kemenangan juga akan membahana. Menyambut datangnya hari nan fitri.