Rabu, 27 Februari 2008
Betang Saham, Peradaban Yang Tergerus Waktu
Borneo Tribune, Ngabang
Dinding bangunan betang (Rumah Panjang) Saham kini hanya menggunakan papan biasa yang sudah terlihat kusam. Lantai terasnya pun berupa potongan-potongan kayu tua yang mulai lapuk. Saksi sejarah tersebut kini semakin renta.
Bangunan Betang Saham yang dahulunya terlihat megah (karena dibangun dengan kayu Ulin/Belian), namun kini kondisinya sungguh memprihatinkan. Seolah-olah tidak ada usaha dari pihak manapun untuk merenovasi bagunan ini.
Padahal, kalau kita lihat. Fungsi Betang merupakan sentral aktifitas suku Dayak. Dimana tatanan sosial, ekonomi, budaya dan politik, terjadi di dalam rumah panjang dengan hall (ruangan) yang luas di bagian tengahnya. Masyarakat yang tinggal di Rumah Betang masih memegang teguh adat istiadat, tradisi atau budaya, dan memegang teguh kehidupan bersama serta bergotong royong.
Berdasarkan cerita dari leluhur atau sesepuh Rumah Betang yang terletak di Desa Saham, Kecamatan Sengah Temila, Kabupaten Landak. Betang tersebut merupakan tempat tinggal masyarakat Dayak Kanayant. Betang Saham berdiri sejak 1875. Bangunan ini terdiri dari 35 pintu atau blok. Setiap pintu atau blok dihuni oleh 1 kepala keluarga dan panjangnya 180 meter.
Menurut Ibu Sofa, penghuni Betang Saham, yang ditemui di rumahnya beberapa waktu lalu. Saat ini Betang hanya berpenghuni 32 kepala keluarga. “Dua pintu kosong dan 1 pintu digunakan untuk perpustakaan,” ujarnya. Perpustakaan tersebut merupakan bantuan dari Dinas Pendidikan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Landak.
Menurut Drs. Bartho, Kepala Seksi (Kasi) Kebudayaan dan Pariwisata Pemkab Landak, perpustakaan yang ada di Betang Saham masih menempati kamar yang biasanya digunakan sebagai penginapan bagi para turis. “Sebenarnya lokasi perpustakaan tersebut sudah ditentukan di kamar paling ujung,” ujarnya.
Dalam kehidupan bermasyarakat, penghuni Betang Saham memiliki Pasirah (orang yang dituakan), yaitu pak Ngidar. Selain itu adapula Kepala Desa, Pak Jimpol, yang sudah memimpin selama 4 (empat) periode.
Mata pencaharian penghuni Betang Saham sebagian besar adalah petani. Yang mengolah lahan di sekitar Betang. Mata pencaharian lain mereka adalah sebagai penyadap karet. Bartho mengatakan masyarakat yang ada di Desa Saham sudah sejak 1980 lalu menolak masuknya perkebunan sawit di Desa mereka.
Sudah Mengajukan Renovasi
Tampilan fisik Betang Saham yang sudah terlihat dimakan usia, ternyata sudah beberapa kali diajukan untuk direnovasi. Menurut Bartho, pengajuan kepada pihak Pemkab Pontianak (Kabupaten Landak merupakan daerah pemekaran dari Kabupaten Pontianak pada 1999 lalu) tersebut mulai dilakukan pada 1983. “Terutama untuk pelataran depan,” ujarnya. Akan tetapi belum ada tanggapan sama sekali.
Pengajuan renovasi pun kembali diutarakan pada 1989 dan 1994. Namun tetap saja, ujar Bartho, tidak ada alokasi dana yang disediakan untuk membiayai renovasi Betang Saham tersebut.
Ketika pemekaran terjadi pada 1999 lalu, ujar Bartho, Pemda Landak mengutamakan pembangunan infrastruktur. “Kita (Dinas Pariwisata) memaklumi hal itu,” ujarnya. Dikarenakan infrastrutur yang ada di Landak dulunya masih belum memadai. Dimana untuk menciptakan pembangunan di suatu daerah, harus memiliki infrastruktur yang memadai dan mudah untuk dilalui sebagai jalur transportasi dan perdagangan.
Angin segar mengenai renovasi Betang Saham baru diperoleh pada 2008 ini. ‘Dinas Pariwisata Provinsi sudah mengadakan pengukuran untuk renovasi Betang,” ujar Bartho. Bersama dengan Dinas Keperbukalaan dari Jakarta.
Meskipun sudah dilakukan pengukuran, ujar Bartho, namun kita belum tahu realisasinya. “Harapan kita Betang Saham bisa bertahap di renovasi,” ujarnya. Sebagai aset daerah yang dapat menambah khasanah budaya di Kalimantan Barat.
Selain itu pula, lanjut Bartho, renovasi ini jangan hanya merupakan agenda kerja Dinas Pariwisata tingkat Provinsi saja. “Setidaknya juga dari pemerintah pusat dan pemda Landak,” ujarnya. Dengan pendanaan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) dan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara).
Sehingga kepedulian terhadap pelestarian budaya yang beragam di Indonesia, yang berada di daerah luar Jawa juga menjadi perhatian yang serius dari pemerintah pusat.
Maju Dalam Pendidikan
Meskipun masih memegang teguh pada pola tradisional dalam hal adat, masyarakat Desa Saham sangat peduli terhadap pendidikan. Hal ini ditunjukkan dengan adanya perpustakaan yang ada di Betang Saham. Menurut Bartho, mayoritas masyarakat Desa Saham mengenyam pendidikan hingga tingkat Sarjana.
Penuturan Bartho bukan hanya isapan jempol belaka. Beberapa putra terbaik yang berasal dari Desa Saham, kini sudah menempati posisi penting di tingkat pemerintahan dan juga kalangan akademisi.
Sebut saja Dr. Bahari Sinju S, yang lahir dan hidup di Betang Saham. Beliau merupakan alumnus IKIP (Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Karang Malang Yogyakarta. Saat ini beliau adalah seorang dosen di FKIP (Fakultas Ilmu Keguruan dan Pendidikan) Universitas Tanjungpura. Beliau juga sebagai peneliti Dayak Kanayant di Institute of Dayakology Research and Development (IDRD).
Keterwakilan perempuan dari Desa Saham dalam bidang Akademis dipelopori oleh Dr. Regina. Beliau saat ini juga menjadi peneliti dan tenaga pengajar di FKIP Untan.
Di tingkat Pemerintahan, salah satu putra terbaik Desa Saham saat ini menjabat sebagai Bupati di Kabupaten Landak. Beliau adalah Drs. Adrianus Asia Sidot, M.Si. Selain menjabat sebagai Bupati, beliau juga ketua Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) wilayah Kalbar. Beliau juga kandidat Doktor dari salah satu Universitas di Jakarta.
Walaupun kondisi masyarakat Desa Saham masih terbelakang dan sering dipandang sebelah mata, tetapi mereka juga memiliki putra-putri terbaik yang dapat dijadikan motivator. Dan mampu berkecimpung di ranah pendidikan dan pemerintahan. Hal ini menjadi suatu kebanggaan, dimana dari Desa terpencil. Mereka memiliki potensi yang besar dan patut diperhitungkan.
Sejarah Kabupaten Landak
Borneo Tribune, Ngabang
Buah pemekaran wilayah Kabupaten Landak sebagai daerah pemekaran kedua di Kalimantan Barat, kini mulai ranum. Proses panjang yang dilalui secara bertahap. Sedikit demi sedikit mulai menunjukkan hasil. Kuku-kuku tajam pembangunan, menancap lebih dalam ke tanah Landak Edo’. Yang bergeliat untuk pencapaian pembangunan dan sumber daya manusia yang berkualitas.
Kabupaten Landak merupakan pemekaran wilayah dari Kabupaten Pontianak berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 55 tanggal 4 Oktober 1999, tentang pembentukan Kabupaten Landak dengan ibukota yang berkedudukan di Ngabang.
Berdasarkan UU tersebut, luas wilayah Kabuapten Landak adalah 9.909 kilometer per segi. Terdiri dari wilayah kerja pembantu Bupati Pontianak di Ngabang sebanyak 5 kecamatan.
Kecamatan tersebut adalah Ngabang, Air Besar, Menyuke, Sengah Temila, dan Meranti. Kemudian menjadi 10 kecamatan dengan tambahan kecamatan Sebangki, Menjalin, Kuala Behe, Mandor, dan Mempawah Hulu.
Kabupaten Landak mempunyai batas wilayah di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Bengkayang. Sebelah timur dengan Kabuapten Sanggau. Sebelah selatan dengan Kabupaten Pontianak. Sebelah barat dengan Kabupaten Pontianak.
Dengan terbentuknya Kabupaten Landak, wilayah Kabupaten Pontianak berkurang seluas wilayah Kabupaten Landak. Selain itu wilayah kerja Pembantu Bupati Pontianak wilayah Ngabang yang dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri pada 13 Maret 1985 Nomor 821.26-224 dinyatakan dihapus.
Pemekaran Daerah Dari Aspirasi Masyarakat
Pemekaran wilayah yang diajukan ke Pemerintah pusat dan disetujui pada 1999 lalu, merupakan suatu usaha masyarakat dengan perjalanan yang panjang. Aspirasi masyarakat untuk pemekaran wilayah Kabupaten Pontianak telah disuarakan sejak 1957.
Bukan tanpa alasan aspirasi tersebut disuarakan, mengingat Kabupaten Pontianak memiliki wilayah yang luas. Yaitu 18.171,20 kilometer per segi. Sebagaimana diatur dalam UU Nomor 27/1959 tentang Penetapan UU Nomor 3/1953 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan.
Karena aspirasi masyarakat tidak mendapatkan tanggapan, usulan mengenai pemekaran daerah muncul kembali pada 1970-an dan 1980-an. Akan tetapi usulan ini tetap menjadi angan-angan masyarakat saja dikarenakan tidak pernah ditanggapi oleh pemerintah tingkat atas baik pemerintah Provinsi maupun pemerintah Pusat. Usulan hanya sekedar wacana karena tidak ada ‘angin segar’ yang diberikan oleh pemerintah Pusat.
Seiring berjalannya waktu, kebutuhan untuk membantu tugas pemerintahan dirasakan oleh pemerintah Provinsi menjadi suatu hal yang sangat penting untuk dilaksanakan. Terlebih untuk pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat.
Kebutuhan ini mewujudkan terbentuknya wilayah kerja Pembantu Bupati Pontianak wilayah Ngabang dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 821.26-224 tanggal 13 Maret 1985.
Usulan pemekaran wilayah Kabupaten Pontianak disuarakan kembali pada 1992 dari DPRD Kabupaten Tingkat II Pontianak periode 1992-1997. Yang tertuang dalam rumusan keputusan DPRD Tingkat II Pontianak Nomor 01 tanggal 6 Januari 1992, tentang pernyataan pendapat mengenai pemekaran Daerah Tingkat II Pontianak.
Kali ini aspirasi masyarakat Kabupaten Pontianak mengenai usulan pemekaran wilayah mendapatkan respon Gubernur Kalimantan Barat, dengan mengeluarkan surat Nomor 135/0729/Pem.C tanggal 15 Februari 1996.
Perihal surat tersebut adalah pemekaran dan pembentukan daerah otonomi Tingkat II dalam wilayah Kabupaten Pontianak. Dimana setiap rencana pemekaran harus dilakukan dengan penelitian dan pengkajian secara mendalam.
Tentulah penelitian dan pengkajian ini dilakukan oleh para ahli yang dikumpulkan menjadi satu tim penelitian dan evaluasi pemekaran Daerah Tingkat II.
Berdasarkan surat Gubernur tersebut, Bupati Pontianak mengeluarkan surat keputusan Nomor 261/1996 tentang tim peneliti dan evaluasi pemekaran daerah. Yang dilanjutkan dengan pertimbangan Badan Pertimbangan Daerah Tingkat II Pontianak, pada 22 Oktober 1996.
Reformasi Mempercepat Proses Pemekaran
Timbulnya reformasi yang dipicu krisis multi dimensi pertengahan 1997, seperti memberi keuntungan tersendiri bagi para masyarakat yang mengajukan aspirasi pemekaran daerah. Kepercayaan masyarakat kepada pemerintah pusat yang pada waktu itu masih menggunakan sistem sentralisasi, semakin menipis.
Masyarakat yang ada di daerah merasa hasil sumber daya yang mereka miliki ‘dikeruk’ oleh pemerintah pusat untuk pembangunan sendiri. Tanpa memperhatikan pembangunan di daerah.
Akibat ketidakadilan tersebut, timbul banyak pergerakan yang dilakukan masyarakat. Teriakan mereka melalui suara mahasiswa pada waktu itu. Mengorbankan banyak jiwa dan harta. Meskipun begitu, pergerakan tak berhenti hingga tirani rezim orde baru tumbang.
Kelonggaran peraturan pemerintah yang baru terhadap pengajuan masyarakat untuk melakukan pemekaran daerah di beberapa wilayah di Indonesia, turut pula mencuatkan usulan pemekaran Kabupaten Pontianak. Usulan ini pun diproses melalui jalur politik di DPRD dan jalur eksekutif di Birokrasi pemerintah Daerah.
Kesahihan tim penelitian dan evaluasi pemekaran Kabupaten Daerah Tingkat II yang telah ditetapkan pada 1996, diperbaharui. Yang disempurnakan dengan Surat Keputusan Bupati Daerah Tingkat II Pontianak Nomor 192/1998.
Hasil kerja tim didukung oleh DPRD Kabupaten Daerah Tingkat II Pontianak dengan keputusan Nomor 8/1998.
Dengan diagendakannya pemekaran wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Pontianak menjadi Kabupaten Tingkat II Pontianak dan Kabupaten Daerah Tingkat II Landak oleh pemerintah pusat. Maka disempurnakan kembali Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Pontianak Nomor 192/1998 dengan Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Pontianak Nomor 14 tanggal 28 April 1999. Tentang Pembentukan tim Penelitian dan Evaluasi Pemekaran Daerah Tingkat II Pontianak.
Tim bertugas menyusun kerangka pikir sebagai penjabaran rumusan usulan Badan Pertimbangan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Pontianak tentang upaya meninjau kembali status dan batas daerah otonom dan administratif Daerah Tingkat II Pontianak, menjadi Pemerintah Daerah Tingkat II Pontianak dan Pemerintah Daerah Tingkat II Landak.
Kinerja Tim
Berdasarkan Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Pontianak Nomor 14/1999, pembentukan tim pun dilakukan. Susunan anggota tim terdiri atas unsur Eksekutif dan Legislatif. Tim diketuai oleh Asisten Tata Praja Sekwilda Tingkat II Pontianak, yang saat itu dijabat oleh Drs. Laurentius Bakweng.
Ketua tim Legislatif adalah Saronia Telaunbanua yang dibantu oleh 8 orang anggota. Tim Eksekutif dibagi atas tiga bidang. Yaitu bidang pemerintahan, politik serta pertahanan dan keamanan dengan 8 orang anggota. Bidang ekonomi dan pembangunan yang terdiri dari 8 orang anggota. Dan bidang sosial budaya yang terdiri dari 7 orang anggota.
Tim dibantu oleh sekretariat yang terdiri atas 4 orang anggota.
Dalam melaksanakan tugasnya, tim bertanggungjawab langsung kepada Bupati Kepala Daerah Tingkat II Pontianak yang saat itu dijabat oleh Drs. Cornelius Kimha, M.Si.
Hasil kerja tim berupa data yang dituangkan dalam buku dokumen pemekaran wilayah Kabupaten Tingkat II Pontianak. Yang menjadi bahan bagi sidang DPR RI. Bahan verifikasi lapangan dilakukan dengan kunjungan komisi IX DPR RI yang meninjau ke kota Ngabang. Untuk melihat dan mengetahui kondisi riil yang ada.
Pembahasan yang intensif antara DPR RI dengan pihak pemerintah Kabupaten Pontianak, sampai pada kesimpulan bahwa Kabupaten Pontianak layak dimekarkan.
Dukungan dan semangat masyarakat Kabupaten Landak atas terbentuknya kabupaten ini sangat tinggi. Kegembiraan itu terwujud dengan dibentuknya panitia penyambutan yang diketuai oleh Abikusno Borneo.
Pemerintahan Kabupaten Landak
Setelah Kabupaten Landak terbentuk, dilakukan peresmian dan pelantikan pejabat sementara Bupati Landak, yaitu Drs. H. Agus Salim, MM. Beliau dilantik oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden pada 12 Oktober 1999 di Jakarta.
Tidak hanya itu. Penyerahan personil, peralatan, pendanaan dan dokumen (P3D) dilakukan secara simbolis oleh Bupati Pontianak kepada pejabat Bupati Landak pada 2000. yang disaksikan oleh Gubernur Kalimantan Barat, H. Aspar aswin di Ngabang. Hal ini dilakukan demi kelancaran pelaksanaan tugas-tugas dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Pengisian keanggotaan dewan sesuai dengan UU Nomor 15/2000 tentang perubahan UU Nomor 55/1999. Bahwa keanggotaan Dewan Kabupaten Landak diisi oleh anggota Dewan hasil pemilu 1999 yang berasal dari daerah pemilihan Kabupaten Landak.
Penetapan anggota DPRD Kabupaten Landak sebanyak 35 orang berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kalimntan Barat Nomor 453 tanggal 15 Desember 2000. pelantikan dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri Mempawah pada 19 Desember 2000 di Ngabang. Ketua DPRD Kabupaten Landak pertama yaitu Drs. Yosef Kilim.
Berdasarkan sidang paripurna DPRD Kabupaten Landak pada 19 Juli 2001. Terpilih Bupati dan Wakil Bupati depentif atas nama Drs. Cornelis dan Nicodemus Nehen, S.Pd. Yang ditetapkan dengan keputusan DPRD Kabupaten Landak Nomor 19 tanggal 19 Juli 2001, tentang penetapan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Landak periode 2001-2006.
Pelantikan Drs. Cornelis dan Nicodemus Nehen, S.Pd sebagai Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Landak dilakukan oleh Gubernur Kalimantan Barat atas nama Menteri Dalam Negeri pada 6 September 2001 di Ngabang.
Masa pemerintahan Drs. Cornelis, MH menjadi Bupati Kabupaten Landak berlanjut berdasarkan hasil pemungutan suara secara langsung untuk periode 2006-2011, dengan wakil Drs. Adrianus Asia Sidot, M.Si.
Keraton Pakunegara Kesuma Peninggalan Kerajaan Tayan
Borneo Tribune, Tayan
Sejarah kerajaan Islam, ternyata sangat banyak ditemui di Kalimantan Barat. Salah satunya dapat dilihat dari sisa-sisa peninggalan kerajaan yang masih tersimpan rapi di keraton Pakunegara Kesuma. Yang terletak di kampung Pedalaman, desa Pedalaman, Kecamatan Tayan Hilir, Sanggau.
Keraton Pakunegara Kesuma menghadap ke sungai Kapuas, yang memisahkan desa Pedalaman dan desa Pulau. Jalan dari Keraton menuju sungai Kapuas berupa jalan dengan lebar sekitar setengah meter dan berjarak sekitar 100 meter. Jalan tersebut bukan dari tanah, melainkan semen yang tampak masih baru.
Sisi kiri dan kanan jalan tersebut, tersimpan masing-masing 3 buah meriam, berjarak sekitar 20 meter satu dengan lainnya. Pada meriam paling ujung sebelah kanan jalan menuju sungai, tertulis 1698 pada badan meriam bagian pangkal. Di atas tahun tersebut terdapat simbol berbentuk layang-layang dengan huruf O di sisi kiri dan C di sisi kanan. Kemungkinan meriam tersebut bekas VOC yang tersisa dari masa peperangan.
Bangunan keraton di dominasi cat kuning, yang didirikan dari bahan kayu belian. Keraton hampir menyerupai betang dalam hal tinggi rumah. Atap rumah mengkerucut ke atas.
Tangga rumah menghubungkan antara badan jalan dengan pintu yang menuju ruang utama. Sebagian pintu dan jendela keraton berupa bingkai kaca. Satu kaca terlihat pecah pada bagian kiri paling bawah.
Ruang tamu terlihat sangat luas. Seperangkat bangku dari bahan kayu, diletakkan di sisi kiri ruang tamu, dekat jendela. Dua buah kaca peninggalan kerajaan menempel di sisi kiri dan kanan pintu yang menghubungkan ruang tamu dengan ruangan bagian dalam. Kaca tersebut berdekatan dengan tanduk kerbau dan tempat lilin yang berada di bagian dalam.
Di atas pintu penghubung tersebut, tergantung gambar Gusti Djafar (Raja Tayan ke-12) yang menjadi salah satu korban di Mandor.
Penghubung antara ruang tamu dan ruang utama, berupa sebuah ruangan dalam ukuran kecil. Di sisi kiri dan kanan ruangan ini ada dua pintu kamar. Begitu pula pintu untuk menuju ruang utama, ada di tepi paling kiri dan kanan. Dengan meriam kecil yang berada di sisi kedua pintu tersebut.
Ruang utama berupa ruangan yang sangat luas. Tempat sentral bagi singasana kerajaan berada satu garis lurus dengan pintu keraton yang menghadap ke sungai. Ruangan khusus tersebut dihiasi dengan motif pada sisi luarnya. Kaca nako tiga warna, berada di kedua sisi. Pagar kecil seperti menjadi pembatas untuk ruangan tersebut dengan kamar yang ada di tiap sisinya. Isi ruangan tersebut saat ini hanya sebuah tempat tidur raja yang tinggal rangkanya saja. Ruangan tersebut juga digunakan sebagai tempat pelaminan dan upacara adat berlangsung.
Sebuah tangga menghubungkan lantai atas dan bawah. Lantai atas berfungsi sebagai ruang kamar bagi keluarga Raja, yang masih digunakan hingga raja ke-12.
Menurut Gusti Dadang Kabri (43), anak dari Gusti Ismail (Raja Tayan ke-13), keraton Pakunegara Kesuma memiliki luas lokasi 2 hektar. Lokasi tersebut termasuk untuk sebuah masjid yang berdiri tak jauh dari keraton, di sisi kanan jalan.
Kamar yang ada di keraton saat ini berjumlah 3 ruangan. Yang dihuni oleh 2 kepala keluarga (KK), masih kerabat raja sendiri. “25 tahun lalu masih banyak keluarga yang tinggal di keraton,” ujar Gusti Dadang. Sebanyak 8 KK yang ada saat itu, akan tetapi secara perlahan mereka membangun rumah sendiri dan ada yang berpindah ke Pontianak dan Sanggau.
Gusti Dadang mengatakan bahwa fisik bangunan yang ada hingga saat ini tidak pernah dirubah. “Dari dulu sampai sekarang, keraton ini ya seperti ini,” ujar Gusti Dadang. Sebagian lantai keraton yang terbuat dari kayu belian bahkan sudah kelihatan berlubang.
Peninggalan Keraton
Sebuah ruang kamar dengan tirai kuning dijadikan tempat untuk menyimpan benda-benda peninggalan Keraton Pakunegara Kesuma. Ruang yang berukuran sekitar 4x4 meter tersebut hanya berisi sebuah lemari kayu yang sudah tua.
Di atas lemari tersebut ada sebuah lemari kecil yang ditutup dengan kain kuning. Menurut Gusti Dadang, isi lemari tersebut adalah laras senapang yang dkeramatkan. Gusti Dadang pun komat-kamit sebentar, membacakan sesuatu secara perlahan. Tirai pun dibuka secara perlahan dan membuka laras yang masih dibungkus dengan kain kuning pula. Secara perlahan Gusti Dadang mengambil laras tersebut. “Jangan disentuh,” ujar Gusti Dadang yang tampak memegang beban sangat berat ketika mengangkat laras senapang tersebut.
Benda tersebut merupakan peninggalan sejarah yang diberikan Gusti Mohammad Ali (Raja ke-10). Menurut Gusti Dadang, berdasarkan cerita yang didengarnya. Laras sepang tersebut sudah berada di keraton sejak 1683.
Benda peninggalan keraton lainnya berupa koin dan uang kertas, perisai perang dari tembaga, bokor dan tempat menyimpan peralatan untuk menyirih, kopiah, keramik antik, gong, kain penutup keranda untuk raja yang mangkat, alat mendulang emas, dan baju raja.
Gusti Dadang memberitahu bahwa laras sepang tersebut ada sepasang. Menurutnya, laras yang besar menunjukkan laras senapang laki-laki yang bernama Raden Jimadin. Sedangkan yang kecil merupakan laras senapang perempuan yang bernama Raden Ayu.
Kedua laras senapang tersebut selalu dimandikan setiap 1 Muharam. “Masyarakat biasanya mengambil air bekas memandikan laras senapang tersebut,” ujar Gusti Dadang. Air yang diambil digunakan untuk menyiram tanaman agar subur, siram benih, dan ada yang digunakan sebagai minuman.
Masyarakat sekitar juga ada yang percaya bahwa air bekas pemandian tersebut dapat pula menjadi obat untuk penyakit cacar, diare, dan lainnya.
Cara memandikan laras senapang tersebut, ujar Gusti Dadang, dengan memasukkan air dari mulut laras. Sebuah lubang kecil di bagian pangkalnya merupakan tempat keluarnya air bekas memandikan laras.
Menurut Gusti Dadang, air yang keluar dari lubang kecil tersebut akan berhenti dengan sendirinya sebagai tanda acara mandi sudah selesai. “Padahal air untuk memandikan dimasukkan terus,” ujar Gusti Dadang.
Cerita penemuan kedua laras senapang tersebut pun tak kalah misterusnya. Sebuah penemuan peninggalan sejarah yang cukup unik. Gusti Dadang menceritakan bila kedua laras tersebut ditemukan oleh seorang nelayan ketika sedang memancing.
Laras tersebut ditemukan di kampung Labai dalam posisi timbul dipermukaan sungai dalam jumlah yang banyak. “Akan tetapi hanya bisa diambil dengan cara dipancing,” ujar Gusti Dadang. Hasil pancingan yang diperoleh pun hanya dua buah.
Malam hari setelah mendapatkan laras tersebut. Nelayan tersebut pun mendapatkan mimpi, dimana ada orang tua yang ingin agar laras tersebut dibawa ke keraton. Nelayan tersebut pun membawa laras senapang ke keraton.
Gusti Dadang memberitahu bahwa upacara 1 Muharam yang dilakukan oleh leluhur pada dulunya dengan mengelilingi kota Tayan. “Menggunakan bandong membawa laras tersebut,” ujar Gusti Dadang. Setelah itu diadakan perang ketupat.
Raja Penerus
Gusti Dadang dan Gusti Baliah, merupakan anak dari Gusti Ismail. Tampuk kepemimpinan seharusnya secara otomatis menjadi hak salah satu diantara mereka. Akan tetapi, dengan rendah hati mereka berujar bahwa Indonesia merupakan negara kesatuan dan kerajaan Tayan berada di dalamnya. “Gelar merupakan garis yang bisa berlaku ketika Indonesia belum merdeka,” ujar Gusti Dadang.
Ketika ditanya apakah ada proses pemilihan yang dilangsungkan untuk memilih raja, Gusti Baliah tersenyum kecil. “Mungkin masih 20 puluh tahun ke depan,” ujarnya. menurutnya tidak mudah mencari figur yang diinginkan untuk menjadi seorang raja.
Proses pemilihan pun tidak hanya dilakukan oleh satu keluarga saja. “Perlu rapat keluarga besar,” ujar Gusti Baliah. Rapat ini untuk menentukan calon dan menentukan raja sesuai dengan figur yang diinginkan.
Gusti Barliah memberitahu bila keluarga besar dikumpulkan, tidak hanya dari Tayan saja. Akan tetapi harus dirunut lagi garis keturunan yang masih ada.
Keinginan Gusti Barliah saat ini pun tidak muluk-muluk. Menurutnya, negara kita merupakan negara yang merdeka. “Kita hanya perlu menunggu dan menjaga budaya serta peninggalannya,” ujar Gusti Barliah.
Meriam Karbit di Malam Takbiran
Borneo Tribune, Pontianak
Menyemarakkan malam kemenangan setelah menjalani puasa selama sebulan penuh, di lakukan oleh masyarakat Pontianak dengan berbagai cara. Salah satunya adalah dengan dentuman keras meriam karbit yang kebanyakan dilakukan oleh masyarakat yang berada di pinggir sungai Kapuas.
Ridwansyah, warga Banjar Serasan, Pontianak. Bersama beberapa warga lain tampak sibuk pada Selasa (09/10), menjelang terbenamnya mentari. Hanya mengenakan celana pendek tanpa baju, Ridwansyah secara gotong-royong bersama 3 orang warga. Membuat sebuah panggung berukuran 6x4 meter, di atas air.
Panggung tersebut akan digunakan warga untuk menempatkan meriam karbit yang akan digunakan pada malam takbiran. Menurut Ridwansyah, mereka akan mengangkat gelondongan kayu yang akan digunakan sebagai meriam. Yang sudah digunakan pada tahun sebelumnya.
Gelondongan kayu besar tersebut, ujar Ridwansyah, dipendam ke dalam lumpur setelah digunakan. “Bila terkena hujan dan panas, akan cepat lapuk,” ujar Ridwansyah. Sehingga setelah meriam karbit yang menjadi tradisi tahunan tersebut dimainkan. Harus segera dipendam.
Tak jauh di tempat mereka bekerja, 12 gelondongan kayu yang digunakan sebagai meriam. Tersusun rapi berjejer di atas panggung, tepat di bibir sungai.
Beberapa kayu besar tersebut di poles cat biru dan dililit rotan. Tak jauh dari pangkal kayu, dibentuk sebuah lubang kecil yang digunakan untuk tempat menyulutkan api.
Menurut Ridwansyah, kayu yang digunakan sebagai meriam karbit tersebut adalah kayu cempedak air. “Sebenarnya kayu ini tidak terlalu bagus untuk meriam,” ujar Ridwansyah. Karena kayu tersebut berjenis lempung.
Kayu yang baik digunakan sebagai meriam karbit, ujar Ridwansyah, adalah kayu dengan komponen padat dan keras. “Bunyi yang dihasilkan keras dan nyaring,” ujar Ridwansyah. Selain itu kayu yang berjenis keras dapat digunakan untuk meriam dengan jangka waktu yang lama.
Untuk menghasilkan bunyi dentuman yang keras. Terlebih dahulu di masukkan karbit yang dicampur dengan air ke dalam kayu yang sudah dibolongkan pada bagian tengahnya. “Saat karbit dimasukkan. Lubang kecil yang berada di bawah kayu tersebut disumbat,” ujar Ridwansyah. Kemudian dibiarkan beberapa saat. Setelah itu, sumbatan tersebut dibuka untuk membuang airnya.
Ridwansyah mengaku bahwa meriam tersebut akan dimainkan oleh warga pada malam takbiran. “Dengan cara disulut dengan api,” ujar Ridwansyah. Meriam tersebut dimainkan oleh anak-anak maupun orang dewasa.
Dana untuk membeli karbit sebagai bahan utama, ujar Ridwansyah, diperoleh dari hasil swadaya masyarakat. Selain itu, meletakkan gelondongan kayu besar di bibir sungai juga dilakukan oleh warga secara bersama-sama.
Pada malam takbiran, meriam karbit yang dimainkan oleh warga akan dilakukan secara berbalas-balasan. “Warga seberang (sungai-ed) juga sudah menyiapkan meriam karbit,” ujar Ridwansyah seraya menunjuk ke beberapa tempat di seberang yang terlihat gelondongan kayu besar berjejer rapi di bibir sungai.
Malam takbiran akan bertambah meriah dengan dentuman meriam yang saling bersahutan. Nyala obor yang diletakkan pada tiang pancang di bibir sungai sebagai penerang, juga akan memberi kesan tersendiri di malam takbiran.
Selain itu, pekikan takbir ‘Allahu..Akbar..’ tanda kemenangan juga akan membahana. Menyambut datangnya hari nan fitri.
Langganan:
Postingan
(
Atom
)