a traveler, a backpacker, food lover

Jumat, 13 Juli 2007

Liburan Sekolah di Sarang Semut

Tidak ada komentar :

Borneo Tribune, Pontianak

Dua bocah menambatkan perahu di tiang kayu penyangga rumah di tepi sungai. mereka menenteng sarang semut, hasil buruan mereka di sepanjang Sungai Ambawang.

Bocah itu berambut hitam kemerah-merahan. Kulitnya gelap, mungkin karena terlalu banyak bermain di bawah terik matahari. Dengan senyum malu-malu ia menunjukkan berbongkol-bongkol sarang semut (myrmecodia) hasil perburuannya bersama Aprianus (12) temannya.
Bocah sembilan tahun tak mengenakan alas kaki. Keduanya berjalan agak bergegas di bagian sisi jalan setapak menuju jembatan yang membelah Sungai Ambawang.
Ia disapa Liber, murid kelas III SDN No. 14 Teluk Dalam, Sungai Ambawang. Dia anak bungsu dari dua bersaudara. Libur tahun ini ia isi dengan mencari sarang semut yang harganya lumayan. Siang itu
Ia tak sendiri. Aprianus, menemaninya memanjat pohon di mana sarang semut itu bertengger.
Langkah mereka terhenti saat bertemu kami. Sarang semut di letakkan di tanah.
Tentu saja ini bukan mainan, Menurut entomolog (ahli serangga), Dr Wijaya, Sarang Semut mengandung senyawa antioksidan, vitamin, dan mineral. "Pada semut, antioksidan berperan dalam pembentukan koloni, menjaga tempat telur jauh dari kuman penyakit, sama seperti pada lebah madu," ujar Wijaya. Selain itu sarang semut juga mengandung asam formiat. Dr Rosichon Ubaidillah, ahli semut Puslitbang Biologi LIPI. Rosichon yang kerap keluar-masuk hutan Wamena pernah bilang, yang berkhasiat mungkin saliva alias kelenjar liur semut, tanaman dan mikroba yang berasosiasi dengan semut. "Yang jelas semut mengandung asam formiat atau asam semut," katanya suatu ketika.
Ahli pengobatan cina, Prof Muhammad Yusuf pula beberapa kali mendengar dan melihat tumbuhan Sarang Semut. Katanya sejak 3.000 tahun silam di Cina Sarang Semut dan semut dimanfaatkan sebagai obat. "Semut dan Sarang Semut memperbaiki fungsi ginjal. Ginjal mempengaruhi banyak fungsi tubuh".
Tentu saja Liber dan Apri yang masih bocah tak pernah bertemu para pakar ini. Bahkan membaca tulisan mereka pun belum pernah. Mereka hanya tahu mengumpulkan, lantas mengiris-irisnya menjadi potongan kecil agar harganya lebih mahal saat di jual. Daunnya seperti mirip daun anggrek. Banyak akar pada bagian bawah tanaman yang menggelembung, dengan banyak lubang kecil. Dari lubang itu semut bermunculan.
Tata, ketua Ikatan Persaudaraan Mahasiswa Sungai Ambawang (IPMSA) yang sedang praktik lapangan pelatihan journalistic ‘menahan’ kedua bocah itu. Ia minta kedua bocah itu mengantar kami ke lokasi ditemukannya Sarang semut itu.
Liber dan Apri mengangguk setuju. Langkah mereka menuntun kami ke pinggir sungai, tempat perahu tertambat.
Ada tiga perahu yang tertambat di tepi sungai. Sebuah perahu besar dengan lantai kayu yang sudah tak berada di tempatnya, menyisakan sebuah mesin di bagian tengah. Perahu besar itu, tempat berpijak menuju perahu, di sampingnya. Perahu paling kecil di ujung tentu tak cukup memuat kami berempat.
Lincah sekali mereka melompat ke perahu yang berada di tengah. Perahu oleng, membuat perasaan ciut. Pilihan untuk menggunakan perahu yang sedang, disetujui, karena ada lima orang yang akan menyusuri sungai Ambawang ke lokasi sarang semut.
Aku, Tata, dan Mering, meninggalkan dusun Praya dan menyusuri sungai Ambawang. Tak ketinggalan, Liber dan Apri yang menjadi “tour guide” kami.
Tata memegang kemudi. Ia berkayuh menuju hilir. Airnya yang berwarna coklat, bergemericik saat ditampar dayung.
Celakanya, perahu sering oleng. Bocor pula! Celaka, beberapa kali aku panik. Ini pengalaman yang pertama.
Liber di depan saya, Cih! Dia tenang-tenang saja. Kadang-kadang bahkan menggeser duduknya tanpa beban. Aku tertarik melihat belakang rambutnya yang ada buntu, seperti di sengaja dibentuk oleh tukang cukur. Apri di belakang saya sibuk menimba perahu.
Liber bercerita kalau sarang semut tersebut bisa menghasilkan rupiah. “Kade’ nang basa’ lima ribu rupiah, nang karinkng dua puluh lima ribu sakelo.”
Artinya kalau yang basah lima ribu, yang kering dua puluh lima ribu perkilogram. Ia berbicara dalam bahasa Dayak Kanayatn. Karena ia memang berasal dari komunitas adat dayak Kayanatn yang banyak tinggal di kawasan Sungai Ambawang, Kabupaten Pontianak.
Liber mengaku mengetahui sarang semut bisa jadi uang dari Daniel, ayahnya. Dua minggu ayanya yang buruh pengangkut kayu memberi tahu Liber. “Ada urank nang matak’ki. Antah sae,” (Ada orang yang memberitahu. Entah siapa) ujar liber, ketika ditanya dari mana ayahnya memperoleh informasi itu.
Liber menunjuk pohon di kanan perahu. Patahan-patahan rantingnya, menunjukkan pohon tersebut bekas dinaiki. Belum sempat bertambat, Liber dan Apri melompat lincah ke akar yang menjuntai di pinggir sungai. Dalam sekejab saja, keduanya sudah sibuk memetik bongkahan sarang semut dengan sebuah galah bambu.
Setelah terkumpul banyak, mereka berhenti. “Sosokkan doho’ panjolok koa untuk ampagi,” teriak Apri. Maksudnya disembunyikan dulu galah itu untuk besok lagi. Mereka berjanji untuk kembali besok. Mereka bocah yang ceria, mengisi liburan dengan kreatif, membantu orang tua dengan mengais rezeki di sarang semut.

Tidak ada komentar :