Sabtu, 02 Februari 2013
Cheap Traveling Ke Kebun Durian
Ibarat pepatah banyak jalan menuju Roma, banyak cara pula untuk melakukan traveling saat kondisi bokek. Meski tak bisa ‘cuci mata’ melihat keindahan kota lain atau menyusuri jalan mancanegara, setidaknya bisa memandang dan menghirup aroma segar tumbuhan hijau. Yeah, cheap traveling ala saya adalah dengan bermalam di pondok kebun durian kakek, di bukit Pak Ona.
Perjalanan menuju bukit dilakukan setelah maghrib. Berbekal senter sebagai penerang untuk menembus malam, langkah kaki menapak laju jalanan menanjak menuju bukit, dari kampung Pak Ona. Om Jamin, tante Lia, saya, dan sepupu bernama Joe, tak banyak bicara. Jarak pandang yang terbatas dan jalan yang curam, harus mendapat perhatian penuh. Salah menjejakkan kaki, bisa berguling sampai ke bawah. Sangat berisiko. Lagi pula, tanaman hutan yang cukup tinggi dan sisa batang pohon besar yang tumbang melintang di jalan, bertebaran sepanjang perjalanan.
Tak banyak yang bisa dilihat dalam perjalanan malam. Hanya bunyi hewan hutan seperti jangkrik dan kodok yang menjadi musik alam menemani langkah kaki. Sesekali, aroma buah hutan seperti asam dan Cempedak yang berbau harum, terhidu indera penciuman. Jalur hiking melelahkan menuju pondok durian berakhir sekitar 3 jam perjalanan, saat aroma buah Durian mendominasi penciuman. Pondok yang dibangun dari kayu dan bambu, terlihat dalam bias keremangan lampu senter.
Pondok sederhana itu menjadi tempat berteduh sambil menunggu buah Durian yang jatuh dari pohonnya. Atap dan dinding pondok dibuat menggunakan helaian daun hutan yang dianyam menyilang. Tungku api untuk memasak dan menghangatkan badan, dibuat dari susunan batu. Usai rehat sejenak, om Jamin memasak air untuk membuat kopi.
Sambil menunggu air mendidih, Joe berjalan sekitar pohon durian untuk mencari buah yang jatuh. Beruntung, ada 6 buah yang ia temukan dan menjadi santapan kami. Menurut om Jamin, ada sekitar 20 pohon durian yang ada di situ. Namun, hanya 4 pohon saja yang masih banyak buahnya. Pohon lain sudah habis buahnya sekitar November 2012 lalu.
Air mendidih dan seduhan kopi tersaji di pondok. Perpaduan antara kopi dan buah durian, menjadi santapan klop mengusir dingin. Om Jamin bercerita, hanya pohon durian milik kakek yang tersisa di bukit itu. Sedangkan milik penduduk lain, sudah ditebang untuk dijual dan dijadikan bahan bangunan, saat penebangan marak diawal tahun 2000-an. Kata menyesal memang selalu datang terlambat. Saat durian sedang musim, penduduk yang dahulu menebang pohon duriannya tidak bisa merasakan nikmatnya buah tersebut.
Beberapa kali terdengar bunyi durian jatuh disela-sela om Jamin bercerita. Bunyi tersebut sangat khas. Terutama bunyi gesekan buah dengan dedaunan sebelum membentur tanah. Joe bergegas menghampiri asal bunyi gedebuk, saat buah durian ‘mencium’ tanah. Tangannya menjinjing buah durian, saat kembali ke pondok.
Saat jam menunjukkan pukul 24.00 malam, om Jamin menyuruh kami tidur. Penerang hanya berupa lampu minyak tanah dari bekas botol minuman. Dingin ditemani bunyi hewan hutan malam dan buah durian yang jatuh, menjadi musik pengiring beristirahat.
Pohon Besar Rindang dan Sumber Air
Udara yang teramat dingin membuat saya terjaga dari tidur di pagi hari. Matahari masih belum menampakkan wujudnya di langit yang bersih. Namun, pemandangan indah berupa pepohonan besar yang rindang dan tinggi sangat memesona. Suatu kekayaan tak ternilai harganya untuk hutan tropis yang ada di bumi Borneo. Ternyata, om Jamin sudah terjaga lebih dulu. Ia langsung memasak air untuk membuat kopi.
Usai menghabiskan kopi di gelas, ia mengajak saya menuju sumber air yang ada di bukit itu. Ajakan yang tidak saya tolak untuk melihat-lihat keindahan hutan. Sambil membawa jeriken kecil, kami menyusuri jalan hutan yang menurun. Sekitar 20 menit perjalanan, lokasi sumber air sudah kami datangi. Sumber air itu tak mengalir banyak dan ditampung menggunaan sebilah bambu yang dibolongi bagian tengah ruasnya. Selain untuk diambil airnya untuk minum, mandi juga dilakukan di situ. Usai bersih-bersih dan menampung air, kami kembali berjalan menuju pondok.
Saat melewati pohon durian, kami mengawasi sekitar untuk melihat buah yang jatuh saat terlelap tidur. Ternyata, banyak juga buah yang tergolek di antara semak. Ketika dikumpulkan, sekitar 30 buah durian yang kami temukan. Sebagai orang yang sangat gemar buah durian, beberapa diantaranya menjadi santapan saya. Daging buah durian terasa lebih manis dan nikmat saat baru jatuh. Sambil menyantap durian, Tante Lia menjadi koki dengan mengolah mi instan yang dicampur kacang panjang dan wortel. Hanya berbumbu garam dan cabai, masakan ala kadarnya itu menjadi teman nasi yang sangat nikmat.
Sesi foto-foto di sekitar pondok menjadi agenda kami setelah sarapan. Sedangkan om Jamin sibuk menyusun buah durian yang tersisa di dalam tangkin (anyaman bambu atau rotan yang digunakan untuk wadah menyimpan barang). Ia turun pulang duluan sambil membawa buah durian, yang kami susul saat matahari sudah tinggi.
Ternyata, traveling ke pondok durian sangat menyenangkan. Hanya bermodal dana sedikit, bisa untuk menikmati pesona pepohonan tinggi dan menghirup segar udara hutan tropis Borneo. Tertarik untuk mencoba? Ayo ikut saya saat musim buah durian berikutnya.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar