Minggu, 17 Juli 2011
Embaloh, Sungai Kaya Bernyawa di ‘Benua’ ke-7 (2)
Bila Anda ingin melihat permata yang melimpah, datang saja ke Sungai Embaloh. Menyelamlah di jernihnya air sungai. Saat menyelam, buka mata Anda. Lihatlah bebatuan di dasar sungai. Bias sinar matahari yang masuk ke air sungai dan mengenai bebatuan, akan membuat bebatuan tampak seperti kemilau permata yang indah dan tak terhingga.
Kabut pagi masih menyelimuti Desa Benua Martinus, Sabtu (2/7). Selimut kabut yang saya sebut ‘paradiso benua ketujuh’ dikarenakan menghasilkan pemandangan indah di desa kecil sarat sejarah. Saya menginap di rumah kayu, tepat di pinggir jalan, samping lapangan sepakbola SD 02 Benua Martinus. Menurut indu’ (ibu/bibi) Clara, bangunan SD dan lapangan sepakbola itu dulunya adalah bekas landasan pesawat pasukan tentara Indonesia saat terjadinya GPRS-Paraku.
Mandi pagi di Sungai Embaloh merupakan sebuah keharusan. Maklum, saat tiba di sini, saya langsung menuju Dusun Nanga Sungai yang berada sekitar satu setengah jam berjalan kaki atau 30 menit bila menggunakan kendaraan roda dua, dari Desa Benua Martinus, untuk acara adat Mandaas (baca tulisan selanjutnya).
Menuju Sungai Embaloh dari rumah tempat menginap tidaklah memakan waktu yang lama. Sekitar 300 meter di belakang rumah. Cukup menyusuri jalan aspal dan mengambil jalan lurus berbatu di depan Koramil, melewati padang berpagar kawat duri, hingga menapak di bebatuan sungai yang memanjang di tepian sungai. Rimbunan tumbuhan di pinggir sungai, air jernih yang mengalir di bebatuan, suara kicau burung yang terbang bebas, menjadikan mandi pagi semakin semarak. Ditambah, ‘kecupan’ kecil di bagian tubuh dari keramahan ikan Sungai Embaloh.
Kayu besar yang terhanyut dari hulu sungai, tampak terdampar di atas bebatuan. Tidak hanya satu kayu, tapi, banyak. Kayu-kayu itu merupakan hasil dari abrasi yang terjadi di daerah hulu sungai, dan terbawa oleh air sungai. Hujan mengakibatkan arus sungai mengalir deras. Sedangkan komposisi tanah di pinggir Sungai Embaloh terdiri atas sedimen yang rapuh, hasil pelapukan kayu-kayu yang terdampar. Bila arus deras menghantam tanah di pinggir sungai, air menjadi berwarna kecoklatan karena bercampur lumpur. Satu daerah yang selalu berpindah akibat terjadinya abrasi adalah Dusun Nanga Sungai. Tidak ada yang mampu melawan kekuatan alam. Bahkan, aliran air sungai Embaloh yang tenang, seperti bernyawa. Secara perlahan, air sungai mengikis daratan di sepanjang aliran sungai.
Dusun Nanga Sungai yang saya datangi merupakan pemukiman baru bagi penduduknya. Sekitar 2008, satu persatu penduduk meninggalkan lokasi dusun mereka yang lama, yang berada sekitar dua kilometer di daerah hilir sungai. Menurut Baki’ (kakek, dalam bahasa Dayak Tamambaloh) Roreng (63), lokasi rumah yang ditempati masyarakat tersebut mulanya adalah pondok saat berladang. Tiang dari lantai rumah penduduk memang dibuat tinggi, sekitar 2-5 meter. Sehingga, setiap orang harus menaiki anak tangga untuk masuk ke rumah. Alasan penduduk membuat tiang tinggi tersebut adalah untuk terhindar dari banjir. “Jika air sungai meluap, bisa naik ke rumah,” ujar Baki’ Roreng.
Perpindahan penduduk Dusun Nanga Sungai itu bukan kali pertama. Berdasarkan penuturan Baki’ Leo (72), ini merupakan perpindahan yang keempat kalinya selama ia hidup. Selain disebabkan karena abrasi, perpindahan kali ini adalah anjuran pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu agar penduduk dapat bermukim di daerah pinggir jalan. Agar memudahkan transportasi masyarakat dan jaringan listrik bisa masuk. Namun, hingga saat ini belum ada satu tiang listrik pun yang tampak. Penduduk Dusun Nanga Sungai mengandalkan mesin genset untuk penerangan di kala malam. Itupun tidak semua rumah penduduk. Saya menghitung tak lebih dari 10 rumah yang memiliki mesin genset. Sedangkan di Desa Benua Martinus, nyala listrik berlaku setengah hari. Mulai pukul 17.00 WIB hingga pukul 06.00 WIB.
Bahkan, jembatan gantung penghubung antara Desa Benua Martinus dan tiga dusun lain, yakni Nanga Sungai, Pat, dan Ulak Pauk, tampak mulai rapuh. Kayu jembatan gantung terlihat mulai lapuk. Tali kawat di kiri-kanan jembatan gantung, ada yang putus. Padahal, jembatan itulah satu-satunya sarana yang memudahkan penduduk tiga dusun untuk melintasi Sungai Tamao. Menurut penduduk Dusun Nanga Sungai M. Rayung, jembatan tersebut berumur belum genap setahun. Karena pengerjaan jembatan gantung berakhir sekitar September 2010.
Berdasarkan penuturan Rayung, jembatan tersebut dibuat dengan dana bantuan pemerintah daerah. Dari pengajuan Rp. 22 juta yang diajukan, kucuran dana yang disetujui dan diberikan ke masyarakat adalah Rp. 18 juta. “Sayang, baru setahun jembatan sudah rapuh,” sesal Rayung.
Bisa dibayangkan, bila jembatan gantung tersebut rusak dan putus, akses jalan darat penduduk dari tiga dusun bisa terganggu. Bila harus menggunakan sampan melalui jalur Sungai Embaloh, butuh tenaga super ekstra untuk melawan arus sungai menuju pusat kecamatan di Desa Benua Martinus.
Apalagi bila menggunakan perahu mesin, butuh dana besar untuk membeli bahan bakar. Seliter bensin di Benua Martinus mencapai harga Rp. 9.000.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
1 komentar :
Nanga Embaloh tempatku dilahirkan ...jadi kangen mau kesana
Posting Komentar