arthurisme

a traveler, a backpacker, food lover

Selasa, 17 Mei 2011

Naik Dango Suku Dayak Kanayant Saat Panen Usai

Tidak ada komentar :

Bunyi gong yang ditabuh terdengar dari speaker di sisi kiri dan kanan betang (rumah panjang) Suku Dayak yang berada di atas bukit Desa Sadaniang, Kecamatan Sadaniang, Kabupaten Pontianak, Rabu (4/5/2011). Dari bawah panggung betang bagian kanan, keluar para penari yang mengenakan baju adat Suku Dayak lengkap dengan atributnya, mengikuti irama gong.
Tanpa alas kaki, penari menggoyangkan tubuhnya dengan indah. Dua tangan direntangkan, kemudian jemarinya bergerak memutar dengan lentik. Seorang penari pria di barisan depan rombongan penari, mengayunkan Mandau ke depan. Dengan mata menatap tajam, tiba-tiba ia meloncat dan berteriak “huih” dengan nyaring.

Tarian yang disuguhkan oleh rombongan penari dari 23 Kecamatan di wilayah Kabupaten Pontianak, menjadi daya tarik pengunjung upacara adat Naik Dango ke-26 itu. Mata mereka tak melepaskan sedikitpun gerakan para penari. Sesekali, pengunjung bertepuk tangan dan bergumam “wow” dengan pelan.
Adanya Naik Dango, membuat Desa Sadaniang yang semula sepi menjadi ramai. Meski berjarak sekitar 87 kilometer dari Pontianak, acara Naik Dango tersebut mampu menyedot ramai pengunjung yang berasal dari kampung atau kecamatan lain. Panas terik tak menyurutkan langkah pengunjung menapaki jalan tanah merah untuk ikut serta dalam prosesi adat Naik Dango yang sudah menjadi agenda tahunan.
Naik Dango sendiri merupakan upacara adat yang dilakukan oleh Suku Dayak Kanayant yang ada di Kalimantan Barat. Upacara adat ini adalah ucapan syukur kepada Sang Pencipta, atas berkat melimpah yang diberikan. Hasil panen tersebut biasanya disimpan di dango (lumbung) padi, yang sebelumnya didoakan oleh panyangahant (juru doa).
Biasanya, usai menyimpan padi dalam dango yang merupakan padi pilihan untuk dipersiapkan sebagai bibit, suku Dayak akan berpesta. Pesta ini dinamakan makant nasi barahu (makan nasi baru). Setiap rumah akan menyuguhkan makanan hasil panen untuk setiap tamu yang datang. Ini merupakan wujud rasa syukur atas panen dan berbagi rezeki untuk dinikmati bersama.
Biasanya, naik dango dilaksanakan setiap 27 April. Pelaksanaannya tidak hanya dilakukan oleh masyarakat Suku Dayak yang ada di kampung-kampung. Namun juga mereka yang ada di kota dengan jadwal yang berbeda. Penduduk Kota Pontianak dari Suku Dayak melaksanakan naik dango berupa Pekan Gawai. Acara ini dilaksanakan mulai tanggal 18 - 25 Mei 2011. Silakan untuk datang dan menyaksikan sendiri acara adat ini di Betang Jl. Sutoyo Pontianak. Karena, Suku Dayak yang hadir sebagai peserta berasal dari semua kabupaten yang ada di Kalimantan Barat.

Minggu, 08 Mei 2011

Entikong, Nol Kilometer yang Diam

Tidak ada komentar :
Masih terbersit dalam ingatan saya tentang ucapan pemandu yang menemani rombongan jurnalis di Kalimantan Barat, yang dipilih untuk meliput Keluarga Berencana di Kuching, Sarawak, Malaysia, pada 7 Juni 2007, lalu. Ketika itu, bis berhenti di depan sebuah warung di pinggir jalan Entikong, sekitar 50 meter dari border (pintu) pos lintas batas Indonesia-Malaysia, pukul 04.27 WIB.


Sambil menikmati sebatang rokok untuk menunggu pintu border yang dibuka pada pukul 05.00 WIB, raungan mesin genset dari belakang warung menjadi musik penghibur. Mata saya berkeliling memperhatikan sekitar. Banyak bangunan dari kayu yang terlihat baru berdempetan tak beraturan. Ruly, pemandu rombongan, yang menjadi teman ngobrol sambil mengepulkan asap di luar bis, berkata :

"Ini masih Indonesia. Kalau sudah masuk Malaysia, seperti ruang utama dan dapur," katanya, memberikan pengandaian.

Saya ketika itu masih belum tahu arti pengandaian tersebut. Ucapan itu hanya saya jawab dengan tawa kecil. Tidak ada gambaran sedikitpun tentang daerah Entikong yang berjarak sekitar 350 km dari Pontianak. Sebagai jurnalis baru yang ditugaskan dari kantor untuk ikut rombongan jurnalis dari semua media lokal ketika itu (saya terjun ke dunia jurnalis pertama kali pada Mei 2007), perjalanan tersebut merupakan perjalanan serba pertama bagi saya. Pertama kali melihat langsung daerah perbatasan dan pertama kali menginjakkan kaki ke Negara tetangga.

Tepat pukul 05.00 WIB, orang-orang yang menunggu di dekat border tampak bergerak. Pagar besi yang masih tertutup saat kami tiba, telah terbuka. Daun pagar bergerak perlahan ke arah dalam, ditarik petugas untuk memberikan jalan lebar kepada orang yang akan melakukan pengecekan paspor di kantor imigrasi Indonesia-Malaysia. Beberapa orang terlihat tak sabar dan saling dorong.

Saat urusan pengecekan paspor selesai, bis pariwisata yang mengangkut kami merayap pelan di jalanan Tebedu yang sudah termasuk dalam kawasan Malaysia. Perjalanan tanpa hambatan yang menggilas aspal licin. Sangat berbeda sekali dengan jalan aspal yang disusuri bis rombongan sekitar 7 jam dari Pontianak-Entikong. Penuh lobang di mana-mana. Saya jadi teringat ucapan Ruly tentang 'ruang utama dan dapur'. Saya mengangguk-angukkan kepala mengamini pengandaian tersebut.

Daerah perbatasan seperti tidak ditemukan pada peta Indonesia di meja kerja para wakil rakyat dan pemerintah. Kebutuhan dasar seperti listrik dan jalan yang baik kondisinya, masih belum dinikmati sepenuhnya oleh masyarakat di daerah perbatasan. Listrik yang selalu byar pet setiap saat, seolah hidup segan mati tak mau. Menurut Alex, seorang teman waktu sekolah menengah pertama yang menetap di Entikong, raungan genset menjadi music yang seolah tak pernah berhenti.

Pada 24 Oktober 2008, saya kembali mengunjungi Entikong. Ketika itu, saya mengunjungi pasar tradisional dan rumah susun sederhana untuk di sewa (Rusunawa). Permasalahan listrik yang saya jumpai ketika itu, masih seperti lagu setahun yang sudah lewat. Pedagang di pasar tradisional hanya bisa mendengarkan radio untuk mengusir kejenuhan mereka. Suplai listrik tak ubah seperti jelangkung yang nyala tak diundang, padam seenaknya. Sehingga, televisi tak bisa menjalankan tugasnya. Lebih parah di Rusunawa. Rumah yang diperuntukkan bagi para pekerja dan masyarakat berpenghasilan rendah di Entikong, tampak gelap gulita. Bangunan twin block yang diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 9 Juli 2007, tak berpenghuni. Cat hijau pada dindingnya terlihat sudah pudar. Bangunan tingkat lima yang tiap blok berjumlah 48 pintu dengan kamar tipe 21, tinggallah bangunan kosong bernilai Rp 9,63 Milyar.

Jikapun rumah warga sudah tersambung jaringan listrik, harus rela berbagi dengan warga lain yang kurang beruntung mendapatkan sambungan listrik dari PLN. Saya bertemu Alex pada 5 September 2010 lalu, saat melakukan perjalanan sebagai backpacer ke Brunei Darussalam-Kota Kinabalu-Kuching, dan sudah tidak berkecimpung lagi di dunia jurnalis.

Ia bercerita, listrik masih menjadi barang eksklusif di Entikong. Penerangan di rumahnya di kala malam diperoleh dari hasil 'nyantol' listrik tetangga. Tidak tanggung-tanggung, Alex menjadi orang ke-enam yang numpang kabel listrik di rumah tetangga. Jika siang hari, rumahnya bergantung sepenuhnya pada penerangan sinar matahari.

Tampaknya, perubahan pembangunan dan kebutuhan dasar masyarakat di Entikong tidak pernah beranjak dari titik nol. Seperti tulisan nol kilometer pada patok batas yang terbuat dari semen, yang menjadi pembatas antar Negara di daerah perbatasan. Nol kilometer yang tak bergerak ke mana-mana. Nol kilometer yang hanya bisa memandang perkembangan zaman dengan diamnya. Nol kilometer yang terbungkam, dan dihuni oleh para anak bangsa di beranda rumah kita.