arthurisme

a traveler, a backpacker, food lover

Senin, 11 Februari 2013

Surga Tersembunyi Bernama Riam Berawatn

1 komentar :


Curahan air deras meluncur di antara bebatuan alam membentuk dua cabang. Bertinggi sekitar 75 meter, air terjun yang jatuh sangat indah dan membuat takjub semua mata yang melihat. Pesona alami Riam Berawatn ibarat surga yang tersembunyi di tepi lahan sawit yang terus menggerus. Pasrah sendirian mempertahankan hijau pepohonan, air yang jernih, dan pesona hutan tropis di tanah Borneo.


Kisah perjalanan menuju Riam Berawatn diawali dengan kejutan-kejutan. Dimulai dengan pesan singkat adik tingkat waktu kuliah di fakultas biologi (sekarang teknobiologi) UAJY, Rudith, yang menanyakan alamat rumah di Toho, Kalimantan Barat. Awalnya saya mengira si wedhus, panggilan akrab saya pada bocah satu itu, akan mengirimkan surat undangan pernikahan. Mengingat, si wedhus merupakan penduduk asli kota pelajar, Jogjakarta. Pesan balasan saya sertakan alamat rumah lengkap, pada Rabu (16/01, 2013) lalu.

Namun, kecurigaan saya meruncing bahwa si wedhus sedang berada di Kalbar, saat pesan balasan dari itu bocah menanyakan apakah saya ada di rumah sekitar pukul 20.00 WIB. Kecurigaan yang terbukti benar ketika Rudith mengirimkan pesan : “aku sudah di depan pemotongan ayam, dekat jembatan”.

Ternyata, si wedhus sudah dua hari berada di Kalbar. Ia bersama seorang rekan bernama Aji yang bekerja untuk satu yayasan sosial yang berpusat di Jogjakarta, dan lokasi berkaryanya berada di Karangan, kecamatan urutan ketiga di ujung kampung saya. Bidang sosial yang mereka kerjakan terfokuskan pada edukasi untuk siswa sekolah dasar dan pemberdayaan masyarakat. Kontrak kerja widhus di yayasan tersebut hingga Juni 2013. Finally, pertemuan itu berbuntut pada kata sepakat berupa adventure ke Bengkayang dan memberikan kejutan kecil untuk teman kuliah bernama Rio, yang berkerja di sana. Yeah, adventure itu akan dilakukan pekan depan, saat mereka libur.

Motorcycle Adventure

Perjalanan pun dimulai Sabtu (26/1, 2013), sore. Rencana awal akan berangkat pagi dari Toho menuju Karangan. Namun, batal karena si bungsu ada keperluan mendadak ke Pontianak, dan melaju pakai motor pagi-pagi buta. Apa mau dikata, berbalas pesan singkat di telepon genggam pun sambung menyambung menanya kabar : “jadi ndak?”. Hingga pukul 15.00 WIB, si bungsu belum juga memberi kabar akan pulang. Keputusan akhir adalah menggunakan jet cooled menuju Karangan.

Merayap pelan dengan pasti, jet cooled menjadi pahlawan kesorean yang mengantar saya berpindah tempat dari Toho ke Karangan. Tiba di rumah kontrakan Rudith dan Aji di simpang Bongol, hanya singgah tak lama. Manusia berdua itu sudah lama menanti dan langsung packing pakaian ke dalam backpack. Selanjutnya, meluncur ke pasar untuk menjemput satu rekan team mereka bernama Ella di rumah samping gereja Katolik Karangan.

Cewek satu itu mengira batal berangkat. Ia ternyata sudah leyeh-leyeh manis di tempat tidur, di rumah tantenya itu. Sukses terbangun dengan mata yang masih sipit, basa-basi sebentar dengan tantenya, perjalanan dilanjutkan kembali. Tapi, jet cooled harus dititipkan dan berganti dengan motor bebek Ella yang siap melaju, membelah jalan menjelang malam yang ditempuh sekitar 2 jam.

Empat personil dengan posisi Aji-Ella dan Rudith-Saya, menyusuri kelokan demi kelokan jalan yang kebanyakan didominasi pemandangan pepohonan hutan. Sepanjang perjalanan, saya mengabari Rio melalui pesan singkat bahwa sudah dalam perjalanan menuju Bengkayang. Tentunya, tanpa memberitahu bahwa ada Rudith and team yang turut serta.

Surprise

Gelap menjadi penanda malam yang tak bisa dielak saat memasuki Kota Bengkayang. Lokasi janji temu dengan Rio disepakati di warung kopi samping toko seluler, jalan keluar pasar tengah. Kami sengaja memperlambat pertemuan dengan mengisi kampung tengah terlebih dahulu, dan membiarkan Rio menunggu sejenak.

Lokasi kuliner berada di warung makan chinesse food, ruko nomor dua setelah tikungan pertama sebelah kiri dari jembatan pasar. Pilihan diamini bersama setelah kami tidak menemukan warung makan chinesse food lain yang buka, selain warung makan padang. Nasi goreng dan nasi cap cay menjadi menu makan malam kami di warung itu. Sambil menunggu makanan, ternyata Rio mengirim pesan pada Rudith yang mengabari jika saya berkunjung ke Bengkayang, dan dirinya sedang menunggu di warung kopi. Pesan singkat yang awalnya bermaksud sombong bakal reunian kecil. Padahal, Rio belum tahu kalau sedang dikerjai.

Makanan tersaji tak begitu lama. Rasa masakan lumayan enak, namun tidak begitu delicious. Daging dalam makanan masih terasa alot dan sulit dikunyah. Berhubung lapar, cara langsung telan menjadi solusi utama dari pada harus di buang. Karena, harga seporsi makanan lumayan mahal. Berkisar 17 – 19 ribu perak, belum termasuk harga segelas es teh.



Beres membayar makanan, kami langsung menuju lokasi pertemuan dengan Rio. Dan…., hula….saat motor kami sudah sampai di depan warung kopi, Rio cuma bisa bengong kaget sambil berkata : “Lha, kan barusan aku sms situ (Rudith). Kok bisa ada di sini? Aku kira situ di Jogja. Bajingan!” huahahaha….puas banget berhasil mengejutkan manusia satu itu!!!!

Acara dilanjutkan ngupi-ngupi di pinggir jalan sembari kembali mengungkit cerita konyol masa kuliah. Tentunya, sambil nelpon beberapa teman akrab dengan maksud untuk membuat mereka iri akan pertemuan kami. Malam semakin larut, kopi habis, speak-speak sudah berujung pada kesepakatan untuk adventure bareng menuju Riam Berawatn pada Minggu (27/1, 2013). Air terjun yang belum pernah kami semua kunjungi sebelumnya. Acara perpisahan dilakukan dengan acungan jari tengah karena Rio harus pulang ke rumah tunangannya di Sentagi, sedangkan kami harus melipir tak jauh ke jalan arah Singkawang, ke rumah nenek di Desa Ketiat, Sungai Raya.

Tanah Merah Hingga Hiking Route

What is the real adventure? Bagi saya adalah saat kita belum mengetahui lokasi yang dituju, seperti apa medannya, seberapa jauhnya, jalanan rusak, dan sport jantung. Namun, hasil akhir adalah surga! Adventure Riam Berawatn pun dimulai. Berbekal sedikit informasi mengenai lokasi, saya menjadi penunjuk jalan. Terus terang, saya juga buta tentang riam itu. Keinginan besar untuk melihat secara langsung keindahan Riam Berawatn bermula dari postingan foto di fesbuk dari akun teman. Keelokan riam membuat saya terus mengompori anggota team adventure itu untuk maju terus pantang mundur. Meski buta lokasi, setidaknya masih bisa bertanya pada penduduk agar menghindari akibat dari peribahasa “Malu bertanya sesat di jalan”.

Motor dipacu kencang dari Bengkayang menuju arah Seluas. Menurut penduduk setempat yang kami tanyai, simpang lokasi Riam masih berjarak sekitar 10 kilometer dari pasar Sanggau Ledo. Tepat di pinggir jalan sebelah kanan, ada papan nama dari besi sebagai penanda jalan masuk menuju riam.

Jalanan aspal mulus berubah menjadi batu kasar yang melapisi jalan tanah. Pemandangan di tepi jalan berupa kebun masyarakat yang sangat subur dan hijau. Pegunungan yang berjejer juga menjadi pelengkap pesona keindahan sepanjang perjalanan. Sempurna!


Merasa sudah jauh berjalan namun belum juga ada tanda-tanda keberadaan Riam, kami berhenti di satu rumah penduduk untuk bertanya. Hasilnya? Perjalanan masih jauh. Sekitar 7 kilometer perjalanan lagi yang harus ditempuh. Bonus kagetnya adalah : jalan berupa tanah merah dan menembus lokasi kebun sawit. Setelah itu, musti jalan kaki mengikuti hiking route. What the eF?

Tekad sudah bulat. Semua sepakat untuk terus melanjutkan perjalanan. Lagi pula, nanggung jika harus mundur. Sudah terlanjur menceburkan diri melewati jalanan berbatu. Setelah mengisi bensin di kios kampung terdekat yang diberi bonus ‘peta buta’ dari si penjual, kuda besi meraung di jalan berupa tanah merah.


The real motorcycle adventure dimulai ketika harus melewati dua jembatan kayu yang sedikit membuat ngeri. Plus, beberapa jalan yang becek dan membuat motor amblas. Plus lagi kiri kanan tanaman sawit yang membuat ‘peta buta’ oleh-oleh dari penjual bensin terlihat tidak berguna sama sekali. Tidak ada petunjuk apapun selain tanaman sawit. Beuh!

Beruntung, ada seorang penduduk yang mengendarai motor dan berpapasan di jalan, yang kami mohon berhenti sebentar untuk bertanya. Penduduk yang ternyata bernama Pak Kompot itu dengan murah hati memberitahu letak air terjun dan bersedia mengantarkan kami hingga lokasi pemberhentian menyimpan motor, yang selanjutnya harus berjalan kaki.


Jalur hiking itu berupa jalan setapak yang biasanya dilalui oleh penduduk setempat untuk berkebun atau berladang. Bermodalkan insting adventure dan mana duli, kami menapaki jalan setelah mengucapkan terima kasih pada Pak Kompot. Metode mematahkan batang tanaman perdu di setiap lintasan, dilakukan sebagai penanda jalan agar tidak tersesat. Hutan, padang ilalang, hingga mentok di jurang dengan bunyi debur air memberi sinyal bahwa air terjun sudah dekat.

Pepohonan tinggi dan masih terjaga dengan baik membuat perjalanan kami sangat teduh. Meski nafas mulai tersengal-sengal, tak membuat langkah kaki terhenti. Jalan menunjukkan rute berkelok dan menurun diantara bebatuan besar yang ditumbuhi pohon rimbun. Hingga, tampak aliran air jernih berkilau tertimpa sinar matahari. Sangat indah!


Kata “amazing” terucap guna mengagumi pemandangan menakjubkan di depan mata. Walau lelah, pesona air terjun Riam Berawatn mampu menghapus itu semua. Tidak ada sampah di situ yang menandakan bahwa lokasi air terjun sangat jarang dikunjungi oleh orang-orang dari luar daerah. Kami merasa sangat beruntung bisa melihat secara langsung pesona indah ciptaan sang Kuasa. Suatu adventure yang berujung surga!

Sabtu, 02 Februari 2013

Cheap Traveling Ke Kebun Durian

Tidak ada komentar :


Ibarat pepatah banyak jalan menuju Roma, banyak cara pula untuk melakukan traveling saat kondisi bokek. Meski tak bisa ‘cuci mata’ melihat keindahan kota lain atau menyusuri jalan mancanegara, setidaknya bisa memandang dan menghirup aroma segar tumbuhan hijau. Yeah, cheap traveling ala saya adalah dengan bermalam di pondok kebun durian kakek, di bukit Pak Ona.


Perjalanan menuju bukit dilakukan setelah maghrib. Berbekal senter sebagai penerang untuk menembus malam, langkah kaki menapak laju jalanan menanjak menuju bukit, dari kampung Pak Ona. Om Jamin, tante Lia, saya, dan sepupu bernama Joe, tak banyak bicara. Jarak pandang yang terbatas dan jalan yang curam, harus mendapat perhatian penuh. Salah menjejakkan kaki, bisa berguling sampai ke bawah. Sangat berisiko. Lagi pula, tanaman hutan yang cukup tinggi dan sisa batang pohon besar yang tumbang melintang di jalan, bertebaran sepanjang perjalanan.

Tak banyak yang bisa dilihat dalam perjalanan malam. Hanya bunyi hewan hutan seperti jangkrik dan kodok yang menjadi musik alam menemani langkah kaki. Sesekali, aroma buah hutan seperti asam dan Cempedak yang berbau harum, terhidu indera penciuman. Jalur hiking melelahkan menuju pondok durian berakhir sekitar 3 jam perjalanan, saat aroma buah Durian mendominasi penciuman. Pondok yang dibangun dari kayu dan bambu, terlihat dalam bias keremangan lampu senter.


Pondok sederhana itu menjadi tempat berteduh sambil menunggu buah Durian yang jatuh dari pohonnya. Atap dan dinding pondok dibuat menggunakan helaian daun hutan yang dianyam menyilang. Tungku api untuk memasak dan menghangatkan badan, dibuat dari susunan batu. Usai rehat sejenak, om Jamin memasak air untuk membuat kopi.

Sambil menunggu air mendidih, Joe berjalan sekitar pohon durian untuk mencari buah yang jatuh. Beruntung, ada 6 buah yang ia temukan dan menjadi santapan kami. Menurut om Jamin, ada sekitar 20 pohon durian yang ada di situ. Namun, hanya 4 pohon saja yang masih banyak buahnya. Pohon lain sudah habis buahnya sekitar November 2012 lalu.


Air mendidih dan seduhan kopi tersaji di pondok. Perpaduan antara kopi dan buah durian, menjadi santapan klop mengusir dingin. Om Jamin bercerita, hanya pohon durian milik kakek yang tersisa di bukit itu. Sedangkan milik penduduk lain, sudah ditebang untuk dijual dan dijadikan bahan bangunan, saat penebangan marak diawal tahun 2000-an. Kata menyesal memang selalu datang terlambat. Saat durian sedang musim, penduduk yang dahulu menebang pohon duriannya tidak bisa merasakan nikmatnya buah tersebut.

Beberapa kali terdengar bunyi durian jatuh disela-sela om Jamin bercerita. Bunyi tersebut sangat khas. Terutama bunyi gesekan buah dengan dedaunan sebelum membentur tanah. Joe bergegas menghampiri asal bunyi gedebuk, saat buah durian ‘mencium’ tanah. Tangannya menjinjing buah durian, saat kembali ke pondok.

Saat jam menunjukkan pukul 24.00 malam, om Jamin menyuruh kami tidur. Penerang hanya berupa lampu minyak tanah dari bekas botol minuman. Dingin ditemani bunyi hewan hutan malam dan buah durian yang jatuh, menjadi musik pengiring beristirahat.

Pohon Besar Rindang dan Sumber Air

Udara yang teramat dingin membuat saya terjaga dari tidur di pagi hari. Matahari masih belum menampakkan wujudnya di langit yang bersih. Namun, pemandangan indah berupa pepohonan besar yang rindang dan tinggi sangat memesona. Suatu kekayaan tak ternilai harganya untuk hutan tropis yang ada di bumi Borneo. Ternyata, om Jamin sudah terjaga lebih dulu. Ia langsung memasak air untuk membuat kopi.


Usai menghabiskan kopi di gelas, ia mengajak saya menuju sumber air yang ada di bukit itu. Ajakan yang tidak saya tolak untuk melihat-lihat keindahan hutan. Sambil membawa jeriken kecil, kami menyusuri jalan hutan yang menurun. Sekitar 20 menit perjalanan, lokasi sumber air sudah kami datangi. Sumber air itu tak mengalir banyak dan ditampung menggunaan sebilah bambu yang dibolongi bagian tengah ruasnya. Selain untuk diambil airnya untuk minum, mandi juga dilakukan di situ. Usai bersih-bersih dan menampung air, kami kembali berjalan menuju pondok.


Saat melewati pohon durian, kami mengawasi sekitar untuk melihat buah yang jatuh saat terlelap tidur. Ternyata, banyak juga buah yang tergolek di antara semak. Ketika dikumpulkan, sekitar 30 buah durian yang kami temukan. Sebagai orang yang sangat gemar buah durian, beberapa diantaranya menjadi santapan saya. Daging buah durian terasa lebih manis dan nikmat saat baru jatuh. Sambil menyantap durian, Tante Lia menjadi koki dengan mengolah mi instan yang dicampur kacang panjang dan wortel. Hanya berbumbu garam dan cabai, masakan ala kadarnya itu menjadi teman nasi yang sangat nikmat.


Sesi foto-foto di sekitar pondok menjadi agenda kami setelah sarapan. Sedangkan om Jamin sibuk menyusun buah durian yang tersisa di dalam tangkin (anyaman bambu atau rotan yang digunakan untuk wadah menyimpan barang). Ia turun pulang duluan sambil membawa buah durian, yang kami susul saat matahari sudah tinggi.


Ternyata, traveling ke pondok durian sangat menyenangkan. Hanya bermodal dana sedikit, bisa untuk menikmati pesona pepohonan tinggi dan menghirup segar udara hutan tropis Borneo. Tertarik untuk mencoba? Ayo ikut saya saat musim buah durian berikutnya.