arthurisme

a traveler, a backpacker, food lover

Selasa, 23 Agustus 2011

Bubur Pedas, Kuliner Asli Sambas Jadi Ikon Kuliner Sarawak

Tidak ada komentar :
Kabupaten Sambas di Kalimantan Barat memiliki makanan khas yang disebut bubur pedas. Meski nama makanan khas tersebut berbanderol kata “pedas” yang akan membuat pencinta kuliner yang tidak suka rasa pedas bergidik ngeri, saat disuguhkan pasti akan minta tambah lagi. Karena, bubur pedas adalah bubur yang terbuat dari campuran sayur mayur dan saat diolah tidak ada dicampurkan bahan cabai sedikitpun.

Sayuran yang digunakan sebagai bahan untuk membuat bubur pedas adalah sayuran tradisional. Seperti pakis, daun lengkuas, dan sebagainya. Campuran aneka sayuran ke dalam beras yang disangrai ini sangatlah harum dan menggugah selera. Apalagi bila ditambahkan dengan ikan teri dan kacang tanah yang digoreng. Semakin ‘nendang’ rasanya. Masyarakat Kalimantan Barat khususnya Sambas, pastilah bangga memiliki makanan khas ini. Karena, mudah membuatnya dan memiliki kandungan gizi cukup yang menyehatkan.


Namun, ada berita mengejutkan. Berdasarkan berita yang saya baca di satu koran lokal, Selasa (23/8), yang melansir berita Utusan Malaysia Jumat (19/8), bubur pedas menjadi ikon wisata kuliner Sarawak. Isi berita tersebut adalah digelarnya festival produk makanan lokal di Sarawak selama bulan Ramadan, di Kampung Melayu Pangkalan Bau. Menurut Menteri Muda Alam Sekitar Negeri Sarawak, Datuk Peter Nansian Ngusie, festival tersebut adalah komitmen pihak pemerintah Sarawak, Malaysia, untuk mempromosikan bubur pedas sebagai ikon wisata kuliner . Tampaknya, bubur pedas menjadi daftar berikutnya yang akan segera diklaim Negara tetangga sebagai makanan khas mereka.

Salahkah Negara tetangga kita tersebut bila mengakui bubur pedas sebagai ikon kuliner wisata mereka? Secara ego saya mengatakan salah besar. Namun, bila melihat kembali bagaimana kepedulian kita terhadap budaya dan kuliner yang dimiliki, saya tidak bisa berkata apa-apa. Lidah kita saat ini teramat bangga akan kuliner kebarat-baratan. Sehingga, melupakan rasa bangga akan nikmatnya kuliner yang ada dari negeri sendiri.

Contohnya selama bulan Ramadan ini iklan televisi selalu menampilkan tempat dan aneka makanan ‘luar’ yang menggiurkan untuk acara buka puasa bersama. Tidak ada saya menyaksikan produk iklan untuk mengajak masyarakat untuk berbuka puasa sekeluarga di rumah dengan kuliner asli Indonesia. Nah, apakah kita baru berteriak lagi saat budaya dan kuliner kita satu persatu ‘dicuri’ padahal kita sendiri kurang menghargai budaya dan kuliner Indonesia yang ada?

AYO KITA SEGERA INTROSPEKSI DIRI. JANGAN SAMPAI BARU BERTERIAK SAAT BUDAYA DAN KULINER KITA SUDAH DICURI!

Sabtu, 20 Agustus 2011

Nasionalisme Ala Dusun Nanga Sungai

Tidak ada komentar :

Perjalanan darat selama 22 jam menggunakan kendaraan travel dari Pontianak menuju daerah hulu Kalimantan Barat, Selasa (28/6), sangatlah melelahkan. Lobang menjadi penghias jalan sepanjang ± 800 kilometer. Namun, bukan menjadi penghalang bagi saya untuk mengunjungi sebuah dusun bernama Nanga Sungai, Desa Saujung Giling Manik, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Kebetulan, kedatangan saya untuk menghadiri acara adat Mandaas, yakni acara adat melayat yang dilakukan oleh suku Dayak Tamambaloh.
Perjalanan tersebut merupakan pengalaman pertama saya menuju dusun yang berada di ujung Desa Benua Martinus. Dusun sepi dengan penerangan listrik yang berasal dari mesin genset. Sekitar 60 kepala keluarga menempati dusun tersebut, dengan mata pencaharian masyarakat sehari-sehari sebagai petani dan nelayan sungai.
Kehidupan masyarakat Dusun Nanga Sungai hampir sama seperti masyarakat pada umumnya. Pagi hingga siang hari, mereka menghabiskan waktu di sawah atau ladang. Pulang dari lahan pertanian, mereka akan mencari ikan dengan cara di pukat sembari menyusuri sungai Embaloh untuk kembali ke rumah.

Ada yang menarik di dusun ini. Meski berada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, ternyata suku Dayak Tamambaloh yang menetap di Dusun Nanga Sungai memiliki bendera sendiri. Bukan merah putih, namun bendera dengan aneka warna. Seperti kuning, merah, putih, hitam, dan hijau. Bentuk bendera tersebut pun unik, memanjang dengan ujung berbentuk segitiga penuh untaian kain seperti untaian janur kelapa.

Menurut tetua warga bernama Baki’ Tali (kakek Tali), 72 tahun, bendera tersebut merupakan bendera adat yang selalu digunakan oleh penduduk dari suku Dayak Tamambaloh sewaktu menggelar acara adat, dan sudah digunakan sejak dahulu kala. Bendera tersebut berbentuk motif dayak di tengahnya, membentuk gambar hewan, buah, atau tumbuhan. Suatu bentuk penghormatan manusia terhadap lingkungan sekitarnya.

Pemilihan warna yang digunakan untuk bendera tersebut bukanlah asal comot saja. Kuning menggambarkan kemakmuran akan hasil pertanian. Merah sebagai lambang keberanian. Putih sebagai lambing ketulusan dan keputusan bulat yang tidak bisa dilanggar. Hitam sebagai lambang perjuangan bersama-sama hingga titik darah penghabisan. Hijau sebagai wujud kehidupan yang seimbang dengan alam.

Baki’ Leo (69) mengatakan ada dua bendera yang dimiliki oleh suku Dayak Tamambaloh. Yakni, Tambe Laki (bendera laki-laki) dan Tambe Bainge (bendera perempuan). Perbedaan antara bendera ini adalah, Tambe Laki memiliki ukuran lebih panjang dibandingkan Tambe Bainge.

Bila mereka memiliki bendera sendiri, bagaimanakah sikap mereka terhadap bendera merah putih? Lunturkah rasa nasionalisme mereka akan Indonesia?

Ternyata, mereka masih mengedepankan rasa cinta tanah air. Meski sudah memiliki bendera yang mereka gunakan secara turun temurun sebelum masa kemerdekaan, suku Dayak Tamambaloh di Dusun Nanga Sungai tetap menghormati bendera merah putih. Hal itu saya saksikan saat melihat upacara adat Perahu Tambe (perahu hias), yakni upacara adat pernikahan di saat mempelai pria beserta keluarga di hulu Sungai Embaloh menggunakan perahu yang dihias menuju rumah mempelai wanita di hilir sungai. Bendera merah putih tetap berkibar paling tinggi dibandingkan Tambe Laki dan Tambe Bainge.

Bahkan, dalam perjalanan saya menuju Desa Lanjak, daerah dekat perbatasan Indonesia-Malaysia, Minggu (3/7). Dari bak belakang mobil yang saya tumpangi, dengan penuh haru saya melihat kibaran merah putih yang sudah tercabik di ujungnya, tetap berada di ujung tiang di beranda Betang (rumah panjang) yang berjarak sekitar 300 meter dari jalan raya, meski bukan tanggal 17 Agustus.